Selasa, 07 Februari 2012

Dalam Hujan

Ini merupakan hujan paling deras di bulan ini yang pernah kujumpai di tengah siang. Padahal kami sekeluarga hendak bersantap siang di warung sate. Ayah menjanjikan ini sudah sejak lama. Siang di hari Minggu ini ia luang. Takut tak punya kesempatan di hari lain yang sibuk. Kami nekat menerjang hujan. Mungkin ayah tidak memiliki waktu luang lagi untuk pergi makan siang bersama keluarga. Aku maklum dan menerima. Ayah memang pekerja keras.

Di pelataran parkir warung sate yang luas itu ada beberapa tukang ojek payung. Menawarkan bantuan pada para pelanggan yang akan masuk warung sate. Lantaran lupa tidak membawa payung, ayah memanggil salah seorang tukang ojek payung. Mendekat ke arah kami tukang ojek payung usia belia. Kutaksir dia umur 15 tahun. Kulitnya hitam. Keriting rambutnya.

Pertama kali masuk warung sate adalah ibu dan adik perempuanku. Baru kemudian aku. Lantas disusul ayah yang terakhir. Tukang ojek payung itu rela berbasah-basah demi kami. Sementara hujang makin menderas. Kali ini ditingkahi angin kencang pula. Tukang ojek payung tampak begitu menikmati pekerjaannya. Seolah ia memang terlahir ke dunia ini dengan takdir sebagai tukang ojek payung. Dan tukang ojek payung adalah perkerjaan mulia.

“Siapa namamu?” Mendadak saja aku bertanya kepada tukang ojek payung itu tepat setelah ia mengantarkanku ke depan warung sate. Sebuah pertanyaan yang seperti tak kupikirkan sebelumnya. Terlontar begitu saja dengan didorong rasa yang entah, semacam rasa empati.

“Namaku Yogi, Mas,” ujarnya dengan senyuman di bibirnya, “ada yang bisa saya bantu, Mas?” tanya Yogi lebih lanjut.

“Oh, tidak. Lanjutkan lagi ngojek payungnya. Itu ada pelanggan yang baru datang. Temui mereka.”
Yogi mengangguk dan kemudian segara berlalu. Aku sejenak terpaku. Tapi segera tersadar oleh wangi aroma sate kambing yang menggelitik penciuman.

Percayalah, tidak ada yang lebih nyaman selain menikmati seporsi sate kambing ditemani segelas teh tubruk panas di tengah hari hujan. Berkali-kali ayah memuji sate kambing yang tidak terlalu alot dan bumbunya begitu merasuk. Sedang ibu membanggakan diri lantaran telah merekomendasikan warung sate ini.

Di tengah hangat obrolan keluarga, mataku menatap ke luar warung sate. Kulihat di sana tiga tukang ojek payung sedang bercanda, mungkin sambil menunggu pelanggan. Satu di antara mereka adalah Yogi. Mereka lalu sama-sama mengeluarkan uang dari saku celana dan kemudian menghitungnya. Salah seorang terlihat kecewa karena mungkin baru dapat sedikit. Yogi coba menenangkan dia yang kecewa. Mereka lantas tertawa bersama, begitu lepas.

Ah, berapa ya pengasilan mereka sehari? Sepadankah dengan tenaga yang mereka keluarkan untuk berlarian dan berbasah-basahan? Kalau tidak turun hujan terus mereka kerja apa? Di mana pula orang tua mereka kok anak-anak harus ikut banting tulang? Pertanyaan-pertanyan itu menyesaki pikiranku.

Ternyata aku tidak bisa merenung lebih lama lagi karena ibu sudah menuju kasir. Iseng aku bertanya pada ibu, habis berapa untuk makan siang ini? Ibu bilang hampir seratus ribu. Alamak, untuk sekali makan saja abis seratus ribu! Entah mengapa aku tiba-tiba melirik Yogi. Dia sudah makan atau belum ya? Tanyaku dalam hati. Sudahlah, tidak usah sok peka sosial begitu, sanggah sudut hatiku yang lain.

Yogi menghampiri kami lagi, mengantarkan kami satu persatu ke mobil. Ayah mengangsurkan selembar uang sepulu ribu. Yogi menerimanya dengan seulas senyum. Tulus.

Sampai mobil mulai meninggalkan halaman parkir warung sate aku masih memandangi Yogi dari jendela mobil.

***

Tadi pagi ibu mendapat telepon dari seorang saudara jauh yang mengatakan bahwa saudara jauh kami itu ingin bertandang ke rumah kami untuk sebuah keperluan. Ibu memberi tahu sebaiknya datang malam hari. Paling tidak sehabis maghrib. Pasalnya ayah dan ibu baru pulang dari kerja pukul lima sore. Saudara jauh kami paham dan mengiyakan.

Sebagaimana malam-malam sebelumnya, malam ini hujan seperti ditumpakan dari langit. Deras tanpa ampun. Kami sekeluarga baru selesai makan malam ketika terdengar ketukan di pintu depan. Itu pasti saudara jauh yang tadi pagi menelepon, ujar ibu seraya membawa piring-piring kotor ke dapur.

Sementara ayah dan ibu bersiap menemui tamu yang sudah dipersilakan masuk oleh adik perempuanku, aku masuk kamar untuk belajar. Dari dalam kamar lamat-lamat kudengar percakapan di ruang tamu. Seharusnya percakapan terdengar jelas lantaran kamarku terletak di samping ruang tamu, namun suara hujan yang terlampau deras membuat percakapan tidak jelas terdengar.

Meski begitu aku masih bisa menangkap bagaimana terkejutnya ibu melihat dua orang tamu yang  basah kuyup. Lalu ayah menawarkan baju salin supaya kedua tamu itu tidak masuk angin. Tak lama teh panas terhidang dan ibu mempersilakan tamu untuk menikmatinya. Pengusir dingin dan pencegah masuk angin, kata ayah sambil tersenyum.

 Aku mempertajam pendengaran manakala percakapan mengarah pada permasalahan anak asuh. Sedikit samar kudengar, saudara jauh, yang kutahu bernama Pak Didiet, meminta tolong untuk menitip seorang anak, untuk dijadikan anak asuh orang tuaku. Pak Didiet menganggap bahwa keluarga kami masih mampu untuk menampung satu anak lagi sekaligus membiayai sekolahnya. Dan anak yang dimaksud adalah seorang anak yang kini sedang duduk di sampingnya.

Tentu saja aku penasaran seperti apa rupa anak itu. Karena kalau orang tuaku mengizinkan ia akan menjadi warga baru di rumah kami. Respon orang tua kami ternyata sangat baik. Ibu menjelaskan bahwa sesama saudara, sejauh apapun itu tali persaudaraannya, wajib saling menolong. Ibu terkenang ketika ia menjadi yatim piatu, ibu diasuh paman dan bibinya yang hidup pas-pasan. Maka, tidak menjadi soal jika ada seorang anak yang ingin turut tinggal di rumah ini dan dibiayai sekolahnya.

Rasa penasaranku semakin memuncak. Aku mengintip dari pintu kamar yang sedikit terkuak. Tampak di mataku calon anak asuh itu. Kulitnya hitam. Keriting rambutnya, Wajah itu sudah tidak asing. Tidak salah lagi, dialah Yogi! Segera aku menghambur ke ruang tamu.

“Yogi ya?!” Tanyaku dengan mata berbinar.

“Iya, Mas,” malu-malu ia menjawab.

Kontan ayah, ibu, dan Pak Didiet kaget. Hampir bersamaan mereka bertanya.

“Kalian sudah saling mengenal sebelumnya?”

“Ayah dan ibu tidak ingat dengan tukang ojek payung di warung sate itu? Aku waktu itu sempat berkenalan dengannya, namanya Yogi, ya ini orangnya.” Aku tersenyum lebar.

“Wah, kok bisa kebetulan begini ya,” tukas ayah sambil tersenyum.

“Iya, seperti di sinetron-sinetron saja,” imbuh ibu. Seketika kami tertawa bersama.

 Pak Didiet mengambil ancang-ancang untuk berbicara, ia sepertinya perlu menerangkan latar belakang Yogi.

“Jadi begini, Yogi ini setelah lulus SMP memang dilepas sama orang tuanya. Dan Yogi memilih kerja di kota ini, kerja apa saja. Nah, ketika di desa saya ketemu dengan orang tua Yogi saya beri tahu kalau di kota ini ada saudara jauh kita yang mungkin bisa membantu menyekolahkan Yogi. Orang tuanya malah memasrahkan semua kepada saya untuk bilang sama Mas dan Mbak.”

“Oh, sudah benar itu. Tidak baik anak seusia Yogi disuruh bekerja. Usia seumuran Yogi ini usia sekolah. Ya sudah, sekolah di sini saja. Sebentar lagi tahun ajaran baru. Nanti daftar di SMA dekat-dekat sini saja, sekolah yang bagus,” Ayah yang tak suka berbelit-belit segera mengambil keputusan cepat. Ayah selalu tak mau berpikir lama-lama, katanya itu cermin orang lamban, sama dengan pemerintah kita. Tapi ayah bukan orang yang sembrono dan teledor. Meski berpikir cepat, keputusan yang diambil bukan asal-asalan.
Maka, sejak saat itu kami punya anggota keluarga baru. Aku senang dengan kehadiranya. Terjawab sudah kenapa di warung sate waktu itu Yogi menjelma sosok yang ‘istimewa’ bagiku.

***

Yogi bukan pemberat. Dia justru sangat bisa menempatkan diri. Selepas sholat subuh dia akan segera menyapu halaman depan dan belakang. Kemudian mencuci mobil ayah. Baru setelah itu dia bersiap untuk berangkat sekolah. Siapa saja suka dengan Yogi. Dia ramah dan cekatan.

 Sampai saat paling gelap itu datang. Ayah kehilangan uang tiga juta yang disimpan di lemari bajunya! Setelah benar-benar dicari uang tidak ketemu. Ayah langsung menyambangi orang pintar. Menurut orang pintar itu pencuri uang itu adalah orang selain anggota keluarga inti di rumah kami. Jelas itu mengarah ke Yogi. Ayah meledak amarahnya.

“Dasar anak tidak tahu terima kasih! Kamu mau belajar jadi maling ya?! Ha!” Tanpa tadeng aling-aling ayah menampar Yogi.

“Ampun, Pak. Saya tidak mencuri. Saya buka maling.” Yogi membela diri seraya meringis kesakitan menahan pukulan. Ibu, aku dan adikku hanya diam seribu bahasa. Kulirik ibu yang menitikkan air mata. Jika ayah sudah marah tak satupun berani meredakan. Ayah paling tidak suka dengan pencuri. Oleh karena itu amarahnya kini seolah tanpa kontrol.

Apa yang terjadi berikutnya sudah tertebak, Yogi diusir, sebagai pesakitan. Saat keluar dari rumah hujan turun tidak begitu deras. Tapi halilintar menyambar-nyambar.

***

Hubungan keluarga kami memburuk dengan Pak Didiet, orang yang membawa Yogi pada keluarga kami. Meski Pak Didiet sudah meminta maaf sedemikian rupa tapi ayah tetap mengeras. Namun, terus terang, atas kasus ini aku tidak begitu saja membenarkan ayah. Pertama, bagaimana bisa ayah langsung percaya begitu saja pada orang pintar. Kedua, ayah tidak bisa menunjukkan bukti bahwa Yogi pelakunya, lalu dengan gegabah mengusirnya. Padahal kurang seminggu lagi, Yogi akan mengikuti ujian nasional. Aku justru kasihan dengan Yogi dalam kasus ini. Dunia kadang penuh ketidak adilan.

Hari berikutnya aku menyempatkan diri untuk mengunjungi warung sate tempat pertama kali aku dan Yogi bertemu. Berharap bisa kujumpai dia di sana. Ternyata nihil. Lalu setiap hujan turun dan aku menyaksikan tukang ojek payung aku selalu terkenang Yogi dan berharap seorang di antara mereka adalah Yogi. Tidak ada, tidak ada Yogi di sana. Dia mungkin sudah menghilang terbawa angin. Oh, malang betul nasibmu kawan.

***

Seisi rumah kami berduka. Seminggu setelah pengusiran Yogi ayah terserang demam tinggi! Setiap malam ia mengigau. “Cari Yogi! Di mana Yogi? Cari Yogi!” Suara ayah saat itu lebih memilukan dari apapun. Ayah jadi begitu sejak pengakuan adik perempuanku. Bahwa sejujurnya dialah yang mengambil uang tiga juta itu, untuk membayar hutang kepada temannya. Adik perempuanku dengan teledor telah menghilangkan Blackberry milik temannya.

Aku tidak kuat lagi melihat pemandangan ini. Ayah yang menggigil dalam demam dan menceracau memanggil Yogi dalam igau. Sedang adikku menangis tak habis-habis. Adapun ibu tidak mau makan dan tatapan matanya kosong.

Duhai, harus kemana aku mencari Yogi? Sepertinya aku harus menyelinap ke dalam hujan. Karena sejatinya Yogi adalah lelaki yang mengembara dari hujan ke hujan. Dari dingin satu ke dingin yang lain. Dari duka satu ke duka yang lain. Ah!

Ciputat, 2009-2011