Selasa, 07 Februari 2012

Catatan Usang dari Gudang Tua

Yudha baru saja pindah rumah. Di pinggiran ibu kota ia mendapat rumah kontrakan yang telah tidak ditempati. Meski tampak begitu kotor dan tak terurus, Yudha menyenangi pepohonan rindang di halaman rumah yang terbilang luas itu. Harga sewanya juga murah untuk ukuran kota besar. Hari pertama datang ke rumah barunya, Yudha bersama istri dan anak lelakinya yang masih SD membersihkan bagian dalam rumah. Baru ketika hari telah senja mereka membersihkan gudang yang terletak di samping rumah. Lantaran jarang tersentuh alat-alat kebersihan gudang itu jadi terlihat begitu kusam dan tua.

Acara bersih-bersih gudang hampir selesai ketika Yudha menemukan sebuah kotak besi ukuran sedang. Letaknya di bawah kursi goyang kusam, di samping akuarium yang kusam pula. Sebuah gembok kecil yang mengunci kotak itu menjadikannya makin misterius di mata Yudha. Anehnya dalam sekali tarik gembok itu terbuka. Tak perlu kunci. Yudha berdebar hatinya. Kira-kira apa isi kotak itu? Oh, ternyata hanya bebrapa lembar kertas lusuh dan empat buku berbahasa Inggris. Dari judulnya, Yudha menduga dua buku itu adalah buku tentang politik. Yudha lantas memungut kertas-kertas lusuh itu.

Kursi goyang dibersihkan dan Yudha duduk di sana sambil membaca catatan itu. Istri dan anaknya telah lebih dulu masuk rumah meninggalkannya sendiri. Begini isi catatan usang di gudang tua itu:  

Apa cita-citamu kalau sudah besar nanti? Begitulah waktu kecil saya sering ditanya. Dengan lantang saya menjawab: jadi presiden! Saya memang selalu terpukau setiap kali melihat pidato presiden di televisi. Maka, ketika kecil saya gemar naik meja dan berpidato sekenanya, seolah-olah saya seorang presiden. Entah apa yang ada dibenak saya sehingga saya begitu ingin jadi presiden. Mungkin bagi saya seorang presiden itu adalah pemimpin yang gagah karena berpidato di mimbar yang bagus. Terhormat sebab dijaga puluhan paspampres kemana saja pergi. Atau seseorang yang banyak uangnya lantaran selalu pakai baju bagus.
Menjadi presiden tampaknya bukan sekedar cita-cita biasa buat Saya. Sejak SD says selalu ingin tampil terdepan. Oleh karenanya, sejak kelas empat sampai kelas enam Saya selalu jadi ketua kelas dan ketua kelompok Pramuka. Tidak heran jika kemudian ketika SMP dan SMA saya terpilih sebagai ketua OSIS. Sebenarnya saya bukan orang cerdas. Hanya saja badan saya tegap dan berani bicara di depan orang banyak.

Roda nasib saya terus berputar ke arah keberuntungan. Ketika menjadi mahasiswa, saya berkenalan dengan politik. Dari sana saya belajar membangun jaringan dan memperbanyak relasi. Sehingga mulus saja jalan saya saat mencalonkan diri sebagai Presiden BEM. Pesaing saya yang masih ingusan itu hanya dapat mendengus kesal dan mengumpat-umpat ketika melihat perolehan suaranya yang kalah jauh dengan suara saya.
Rasa kehilangan tiba-tiba saja menyergap saya. Orang tua saya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan kereta ketika saya baru saja lulus kuliah. Saya sangat terpukul. Tapi tak lama, sebab saya terhibur oleh warisan. Lantaran saya anak tunggal, saya mewarisi sebagian besar kekayaan orang tua saya.

Tidak berselang jauh dari kematian orang tua, saya mengiyakan tawaran paman saya untuk menjadi calon legislatif DPRD. Mumpung paman baru saja memperoleh kursi dewan yang konon sangat empuk. Uang saya ditambah hutang sana-sini bisa dibilang cukup untuk menjadi seorang anggota legislatif. Pengalaman saya tak terlalu minim untuk bersaing dengan politisi senior yang lebih dulu lalu lalang di dunia perpolitikan.
 Dewi Fortuna seperti tak mau jauh-jauh dari saya. Syukuran besar-besaran saya gelar di rumah dua hari dua malam setelah terpilihnya Saya sebagai anggota legislatif. Tiga ekor kambing jantan pilihan disembelih sebagai hidangan bagi para tamu undangan. Tak ketinggalan pegelaran wayang kulit semalam suntuk dipertunjukkan di halaman rumah saya.

**

Saya merasa ada yang kurang lengkap dalam hidup. Saya belum memiliki istri. Anggota dewan jika tak menggandeng seorang pasangan terasa belum lengkap. Demi memenuhi tuntutan itu saya menikahi seorang penyanyi dangdut yang biasa mengiringi kampanye-kampanye saya tempo hari. Si penyanyi dangdut jelas tak menolak pinangan saya. Siapa yang tak mau jadi istri anggota dewan yang masih muda dan parlente macam saya ini?

Di tengah kebahagian hidup seperti ini, Saya masih menyimpan cita-cita masa kecil saya, yaitu menjadi presiden. Dengan semangat ingin jadi presiden saya semakin aktif di partai tempat saya bernaung selama ini. Loyalitas saya terhadap partai mengantarkan saya memegang tampuk kepemimpinan partai tersebut di tingkat daerah. Semakin mencuatkan nama saya di tingkat daerah.

Saat akan digelar pemilihan bupati di kota saya, para sesepuh partai mendorong saya untuk mengajukan diri. Lantaran partai saya termasuk yang terbesar, saya tak menemui kesulitan berarti untuk mendapatkan kursi orang nomor satu di kota itu. Kini, panggilan saya adalah Pak Bupati. Semua orang menghormati saya. Tentu saja saya harus segera mencari cara untuk mengembalikan modal. Terus terang, untuk bisa menjadi bupati saya dan partai saya mengeluarkan uang yang luar biasa banyak. Saat itu uang mengucur bak pancuran air. Uang seperti tak bernomor seri. Lahan basah saya adalah orang-orang yang berambisi jadi PNS. Tes CPNS hanya formalitas. Diterima tidaknya mereka tergantung ‘sumbangan’ yang diberikan kepada ‘badan penerimaan PNS’ yang tak lain perpanjangan tangan saya.

**

Belum lama ini saya merambah dunia bisnis. Saya pilih usaha garmen. Perlahan tapi pasti, tiga pabrik garmen saya telah berdiri di tiga kota. Melihat peluang bagus di bisnis perumahan real estate, saya turut ambil bagian. Diam-diam saya memang sedang membangun kerajaan bisnis. Tampaknya bakat lain saya selain jadi politikus adalah jadi pengusaha.

 Tak kurang suatu apa saya kini. Istri saya yang penyanyi dangdut itu juga sudah melahirkan dua orang anak yang kini makin telihat cantik dan tampan, cerdas serta berwibawa. Karir politik saya terus menanjak, sementara itu kerajaan bisnis saya kian menggurita. Tak ayal, partai saya berani menunjuk saya sebagai calon gubernur pada pemilihan gubernur tahun ini. Saya sering mengunjungi orang pintar untuk meminta wejangan. Tak ketinggalan proyek-proyek basah di daerah saya sabet seluruhnya.

**

Langkah saya cukup berat untuk menjadi gubernur. Saya perlu bekerja sama dengan rekan-rekan sesame pengusaha guna memuluskan jalan saya. Termasuk dengan bandar judi terbesar di daerah itu. Bos-bos rumah bordil juga saya sambangi untuk diajak bergabung di barisan saya. Saya sadar betul bahwa saya harus berlaku ‘cerdik’ jika ingin jadi pemenang dalam pemilihan gubernur kali ini. Penantang saya adalah jenderal purnawirawan senior yang jago berpolitik serta kaya bukan main. Relasinya di pusat juga tidak sedikit. Maka, pada hari H pemungutan suara, serangan fajar saya lancarkan lewat pembagian paket sembako. Tak ketinggalan tim sukses saya  mencurangi kertas suara dengan menyontrengnya terlebih dahulu. Tentu semua saya kerjakan serpi dan sebersih mungkin.  Walhasil, menurut quick count sebuah lembaga survey ternama saya unggul dalam perolehan suara. Ketika KPU mengumumkan hasil resmi perolehan suara resmi saya ditetapkan sebagai pemenang. Pesaing saya tidak terima. Ke Mahkamah Konstitusi ia ajukan banding. Pihak saya dilaporkan telah banyak melakukan kecurangan. Sayang, ia kalah di Mahkamah Konstitusi. Saya resmi jadi gubernur.   

Masa kepemimpinan saya boleh dibilang tak begitu baik. Pertumbuhan ekonomi sangat lamban. Saya diuntungkan dengan kekayaan provinsi yang melimpah. Jika ada keberhasilan yang dicapai, itu sebenarnya bukan kerja saya, melainkan kerja orang-orang di sekitar saya.

Manakala masa kepemimpinan saya hampir habis saya beranikan maju sebagai calon presiden. Enam partai besar telah menyatakan diri siap mengusung saya. Mendengar itu saya semakin percaya diri. Saya juga yakin tim yang telah saya bentuk akan berhasil membangun pencitraan positif mengenai saya. Hasil survei yang akan menunjukkan tingginya tingkat elektabilitas saya juga dengan gampang bisa dibeli.

Pertarungan menuju kursi presiden sungguh tidak mudah. Aral melintang bisa berwujud apa saja. Bisa sesuatu yang masuk akal atau yang tidak masuk akal. Saya melewati semua dengan ketegaran dan ketabahan tingkat tinggi. Track record saya yang pernah duduk sebagai bupati dan gubernur tentu cukup meyakinkan. Sehingga tak perlu putaran kedua atau ketiga saya langsung terpilih sebagai presiden.

Inilah catatan perjalanan hidup saya. Dari seseorang yang bukan siapa-siapa menjadi orang nomor satu di negeri ini. Saya tulis catatan singkat ini agar anak cucu serta keturunan saya tahu siapa kakek atau buyutnya di masa lalu. Semoga catatan ini membuat mereka bangga dan bisa selalu menjaga nama baik keluarga.
Wassalam.

**

Selesai membaca catatan itu kontan Yudha tertawa terbahak-bahak. Betapa beruntungnya  aku bisa menempati rumah bekas presiden, candanya dalam hati. Catatan yang menurutnya sangat datar cara bertuturnya itu cukup menghiburnya hari ini. Bisa sedikit menghapus rasa capainya setelah seharian bersih-bersih rumah barunya. Namun, tak pelak, catatan ini mengusik rasa penasarannya. Siapa ya penulis catatan ini? Apakah ia yang dulu pernah tinggal di rumah ini? Di mana ia sekarang?

Usai mandi dan sholat maghrib Yudha menuju warung kopi tak jauh dari rumahnya. Beberapa orang yang tampaknya warga setempat sedang kongkow di warung kopi itu.

“Waduh, ada warga baru nih.”

“Hehehe, iya, Pak. Pengen ngobrol-ngobrol nih sekalian kenalan.”

Obrolan hangat pun terjadi antara Yudha dengan beberapa warga di warung kopi.

“Oh iya, Pak. Saya mau tanya, sebelum saya yang menempati rumah saya itu siapa ya?”

“Sebelum Mas Yudha kalau tidak salah namanya Pak Wisnu, dia makelar mobil, Mas. Setelah sukses dia pindah ke apartemen.”
 
“Kalau orang yang dulu pernah aktif di politik ada tidak ya?”

“Oh…ada, ada, namanya Pak Ade. Tapi dia cuma calon legislatif yang tidak jadi kok, Mas. Kasihan Pak Ade itu, karena sudah habis-habisan mencalonkan diri jadi anggota dewan dan ternyata tidak jadi dia gila. Pernah lari-lari ke luar rumah cuma pakai celana dalam doang.” 

“Masya Allah, kasihan betul ya. Memang Pak Ade sekarang di mana, Pak?”

“Dia sudah meninggal, Mas. Di rumah itu meninggalnya. Badannya kurus banget pas meninggal. Ekonominya compang-camping. Mana istrinya sedang hamil tua lagi.”

Deg! Mendadak Yudha merinding. Yudha menduga penulis catatan itu tak lain adalah Pak Ade. Tragis benar jalan hidup Pak Ade, obsesinya di dunia politik tak menemu keberuntungan, pikir Yudha. Catatan itu barangkali ditulis Pak Ade di tengah rasa kecewanya. Sudah tentu dalam keadaan sarafnya yang sedang terganggu.

Untunglah Yudha tidak bertanya lebih lanjut tentang anak yang dikandung istri Pak Ade. Jika ia telusuri, ia akan dapati anak yang dikandung istri Pak Ade sebenarnya adalah dirinya! Yudha yang sejak bayi hingga remaja tinggal di panti asuhan selalu gagal menemukan siapa orang tuanya hingga kini. Maka, kahadiran Yudha di rumah barunya itu boleh disebut sebagai sebuah perpulangan. Pulang ke asal muasal dirinya.
Yudha telah menemukan jejak ayahnya. Lewat catatan usang dari gudang tua.

Ciputat, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar