Sabtu, 04 Februari 2012

Para Majnun

Alangkah terbelalak mata Pamuji ketika berada di warnet malam itu. Ia terperangah seolah tak percaya. Sejumlah foto bugil yang ada di hadapannya tak lain adalah foto Mbak Ayu, kakak perempuannya sendiri. Deretan foto itu berjudul Aksi Gila Mahasiswi Bandung. Tak salah lagi. Itu foto Mbak Ayu. Dalam keadaan bugil. Ya, bugil sama sekali. Posenya menantang. Awalnya Pamuji bergidik ngeri. Lama-lama ia jijik juga. Buru-buru ia tinggalkan warnet. Padahal sejak sejam yang lalu ia asyik menikmati foto dan video syur yang dengan mudah didapatkannya.

Pikiran Pamuji berkecamuk. Ia benar-benar tak menyangka foto Mbak Ayu ada di deretan foto-foto tak senonoh itu. Pamuji mencoba berpikir positif kalau foto itu hanya hasil rekayasa. Diedit dengan piranti lunak yang kian canggih. Tapi foto-foto itu terlampau banyak dan terkesan alami. Hampir mustahil jika foto yang ia saksikan tadi merupakan hasil editan.

Untuk sekedar menenangkan diri Pamuji menyambangi warung kopi langganannya. Ia sulut sebatang rokok kretek. Hendak ia terbangkan rasa gundahnya bersama kepulan asap rokok beraroma khas itu. Kopi yang ia pesan sebentar akan tandas.

“Jauh-jauh disekolahkan ke Bandung ternyata Mbak Ayu jadi seperti itu. Kasihan ibu,” gumamnya dalam hati.

Pamuji lantas merogoh sakunya. Mencari hape. Ia ingin menghubungi Mbak Ayu. Mencari satu kepastian. Kalau memang benar itu fotonya, bakal ia damprat habis-habisan kakak perempuan satu-satunya itu. Dasar anak tak tahu diuntung, geramnya.

Sial! Nomor Mbak Ayu tak bisa dihubungi. Sedang di luar service area, kata operator. Aku harus bagaimana ini?! Pamuji bingung. Apakah aku segera saja memberitahu ibu? Namun, siap kah ibu mendengar kabar menyesakkan ini? Toh Pamuji sendiri sebenarnya belum sepunuhnya yakin itu foto Mbak Ayu. Pun begitu naluri sebagai saudara kandung mengatakan itu benar foto kakak perempuannya yang kini sedang kuliah di Bandung.

Pamuji mengenang Mbak Ayu sebagai seorang kakak yang baik hati dan ramah. Meski mereka sering bertengkar untuk urusan-urusan sepele, berebut remote televisi misalnya, namun mereka punya memori indah masa kecil dulu. Pernah suatu kali, ketika sama-sama masih duduk di bangku sekolah dasar. Ban sepeda Mbak Ayu bocor, uang sakunya habis sama sekali. Mbak Ayu terpaksa menunggu Pamuji yang belum keluar kelas. Berharap adiknya yang terpaut satu tahun dengannya itu membawa uang saku lebih yang bisa digunakannya untuk menambal ban. Naas. Uang saku Pamuji juga habis tak bersisa.

Hari sudah semakin petang. Tak ambil pusing Pamuji memboncengkan Mbak Ayu sampai rumah. Sepedanya yang bocor dititipkan sekolah. Jarak rumah dengan sekolah sekitar lima kilometer. Malangnya, sepanjang perjalanan pulang hujan deras mengguyur. Mereka basah kuyup.

Pamuji jatuh sakit. Kecapean mengayuh sepeda yang berat lantaran Mbak Ayu ada di boncengan, ditambah dengan guyuran hujan sepanjang perjalanan. Badannya di serang demam. Ketika datang malam, Mbak Ayu masuk kamar Pamuji. Membawakan bakso urat kesukaan Pamuji. Dua mangkok sekaligus.

“Ini aku beli pakai uang hadiah lomba menyanyi di sekolah kemarin hari. Dimakan ya baksonya. Terima kasih tadi sudah mau memboncengku Semoga lekas sembuh,” ujar Mbak Ayu saat itu dengan penuh sayang. Pamuji hanya membalas dengan senyuman.

Ajaib. Pamuji sembuh esok paginya. Dan langsung masuk sekolah lagi.

Mengingat itu, dada Pamuji seperti dihantam palu godam. Getir. Terlebih setelah tadi menyaksikan foto-foto itu. Ah, betapa segala sesuatunya bisa berubah dengan cepatnya. Sekejam itukah kota besar nun jauh disana sehingga bisa merubah Mbak Ayu yang polos jadi sebegitu liar?

Untuk kesekian kali Pamuji coba menghubungi Mbak Ayu. Kali ini berhasil.

“Halo, Mbak Ayu, gimana kabarnya, Mbak?” sapa Pamuji basa-basi.

“Baik, Ji. Ada apa ya? Tumben banget kamu nelpon.”

“Anu, Mbak, aku cuma pengen tanya. Tadi waktu aku buka situs-situs begituan, aku lihat ada foto-foto Mbak Ayu. Benar tho itu foto Mbak Ayu?” Pamuji bertanya langsung namun dengan intonasi penuh kehati-hatian.

“Wah, ndak mungkin tho yo, Ji. Masak mbakmu ini berani seperti itu. Lagian kamu ini sukanya kok buka-buka situs kayak gitu tho!”

“Tapi foto-foto itu persis banget sama Mbak Ayu. Banyak lagi fotonya. Aku adikmu lho, Mbak. Naluriku mengatakan itu foto-foto Mbak Ayu. Itu foto Mbak Ayu bener kan?”

“Naluri kok dipercaya! Kamu itu masih kecil, Ji. Belum tahu urusan orang-orang dewasa.”

“Jadi betul itu foto Mbak Ayu?”

“Di sini itu hidup serba mahal, Ji. Uang saku dari ibu ndak bakalan cukup. Sudah, nanti aku kirim wesel ke kamu. Asal kamu ndak usah banyak cingcong, apalagi cerita sama ibu. Kamu butuh berapa? Seratus? Dua ratus?”

“Mbak Ayu…”

“Udah lah, Ji. Itu kan cuma foto tho? Yang penting aku di sini sehat wal afiat, hidup kecukupan, ndak nyusahin bapak ibu. Udah, ndak usah dipikirin. Aku mandi dulu ya. Salam buat orang rumah.”

Telepon diputus. Pamuji masih belum hilang rasa kagetnya. Jadi benar itu foto-foto Mbak Ayu. Dengan ringannya Mbak Ayu berucap seperti itu. Ealah, Mbak…kesambet setan mana kamu ini! Pamuji hanya bisa pasrah. Ia akan segera mengadukan hal ini kepada ibu. Biar Mbak Ayu ditegur. Kalau perlu distop kuliahnya di Bandung itu.

Lepas maghrib, ibu sedang duduk nonton sinetron. Ini memang jadi kegiatan rutinnya. Sekedar melepas penat sepulang kerja di kantor kabupaten.

“Bu, Pamuji pengen bicara sama ibu.”

“Ada apa, Ji?”

“Begini, Bu. Sebelumnya maaf kalau cerita ini mengagetkan ibu. Em… Pamuji lihat foto-foto bugil Mbak Ayu di internet,” pelan-pelan Pamuji berkata-kata.

“Masak tho, Ji? Ndak mungkin. Lha wong Mbak Ayu itu perempuan baik-baik lho. Ibu ndak percaya, Ji.”

“Tapi ada buktinya, Bu.”

“Mbak Ayu itu orangnya santun, Ji. Kamu tahu sendiri kan sedari kecil dia selalu nurut bapak ibu.”

Aku bingung sendiri. Ibu santai sekali menanggapi hal besar ini. Seperti tak terjadi apa-apa.

“Besok Pamuji bawakan buktinya, Bu. Itu benar Mbak Ayu,”tukasku meyakinkan.

“Ya sudah, biar ibu lihat sendiri foto-foto Mbak Ayu yang kamu bilang bugil itu.”

Pamuji berlalu dengan perasaan gamang. Ada apa dengan ibu sehingga bisa tenang sekali mendengar kabar ini? Reaksi ibu terlampau datar untuk ukuran berita seheboh ini.

Keesokan harinya, sepulang mengikuti kegiatan ekstrakulikuler Pamuji segera pergi ke warnet. Akan ia download foto-foto Mbak Ayu itu dan segera ia tunjukkan kepada ibunya. Biar ibu percaya. Supaya beliau lekas mengambil tindakan.

Manakala ia membuka situs yang sama dengan yang kemarin dia akses, Pamuji mendapati sebuah video yang baru saja di-upload. Terletak di bagian teratas situs porno kondang. Judulnya menantang. Ibu-Ibu PNS Berulah. Pamuji merasa ada yang janggal dengan video itu. Ia seperti mendapat dorongan untuk menyaksikan itu video.

Perlu sejumlah waktu untuk mendownload. Selang sepuluh menit, Pamuji memutar video itu. Tanpa aba-aba perutnya terasa mual dan ingin muntah. Salah satu dari tiga ibu dalam video itu adalah ibunya! Pamuji tahu benar perawakan ibunya seperti apa.

Lama-lama kepalanya seperti berputar. Apa-apaan ini! Dalam video itu digambarkan adegan tiga ibu berseragam PNS tampak mengobrol santai di depan webcam. Logat bicara mereka digenit-genitkan. Beberapa menit setelahnya, entah dengan alasan apa, tiga ibu itu melucuti pakaian seragam dinas mereka satu-persatu. Lantas mereka pamerkan organ vital mereka yang semestinya terlindung.

Pamuji tidak kuat. Ia copy foto-foto Mbak Ayu dan video ibunya. Lekas-lekas ia pulang. Ingin ditemui sang ibu yang tidak ia mengerti jalan pikirannya itu.

“Bu, aku menemukan video tidak senonoh ibu di internet. Apa maksud semua ini, Bu? Di mana letak kehormatan?” Bertanya Pamuji dengan memutar video itu di komputer rumah. Dipertontonkan depan ibunya.

“Kau belum mengerti makna kepuasan batin, Nak. Tidak perlu kau risaukan masalah video itu. Juga tentang foto-foto Mbak Ayu,”jawab ibu Pamuji tenang.

Arrrggh!!! Ini gila! Sangat-sangat gila. Ibu dan kakaknya sudah tak lagi bisa dimengerti lagi jalan pikirannya. Kacau balau otak mereka.

Runyam. Pamuji seolah hilang pegangan. Tak ada sandaran lain bagi Pamuji selain ayahnya yang sedang bekerja di Jakarta. Pulang seminggu sekali tiap akhir pekan.

“Pak, ada yang ingin Pamuji ceritakan kepada bapak soal ibu dan Mbak Ayu,” kata Pamuji sesaat setelah ayahnya datang dari Jakarta siang tadi.

“Cerita apa, Ji? Oya, sebelum kamu cerita bapak ingin menawarimu bisnis bagus. Bapak cerita dulu ya, keburu lupa nanti.”

“Bisnis apa, Pak?” aku balik bertanya.

Bapak tersenyum penuh arti.

“Begini, kamu pinter nulis kan? Bisa bikin cerita-cerita mesum? Cerita-cerita porno itu lho. Di Jakarta Bapak kelola website seperti itu sekarang. Yah, sekadar bisnis sampingan saja. Bagaimana? Satu cerita dihargai lima puluh ribu. Lumayan kan?”

Pamuji kehilangan kata-kata. Kepalanya mau pecah. Ini keluarga sudah tidak waras semua! Ia berlari keluar. Mengahampiri deras hujan siang itu. Biar luruh semua luka bersama guyuran air dari langit. Menggema di telinganya sebuah petuah. Amenangi zaman edan. Ewuh iyo ing pambudi. Melu edan nora tahan. Yen tan melu boya kaduman melik.

Ponorogo, Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar