Selasa, 07 Februari 2012

Dalam Hujan

Ini merupakan hujan paling deras di bulan ini yang pernah kujumpai di tengah siang. Padahal kami sekeluarga hendak bersantap siang di warung sate. Ayah menjanjikan ini sudah sejak lama. Siang di hari Minggu ini ia luang. Takut tak punya kesempatan di hari lain yang sibuk. Kami nekat menerjang hujan. Mungkin ayah tidak memiliki waktu luang lagi untuk pergi makan siang bersama keluarga. Aku maklum dan menerima. Ayah memang pekerja keras.

Di pelataran parkir warung sate yang luas itu ada beberapa tukang ojek payung. Menawarkan bantuan pada para pelanggan yang akan masuk warung sate. Lantaran lupa tidak membawa payung, ayah memanggil salah seorang tukang ojek payung. Mendekat ke arah kami tukang ojek payung usia belia. Kutaksir dia umur 15 tahun. Kulitnya hitam. Keriting rambutnya.

Pertama kali masuk warung sate adalah ibu dan adik perempuanku. Baru kemudian aku. Lantas disusul ayah yang terakhir. Tukang ojek payung itu rela berbasah-basah demi kami. Sementara hujang makin menderas. Kali ini ditingkahi angin kencang pula. Tukang ojek payung tampak begitu menikmati pekerjaannya. Seolah ia memang terlahir ke dunia ini dengan takdir sebagai tukang ojek payung. Dan tukang ojek payung adalah perkerjaan mulia.

“Siapa namamu?” Mendadak saja aku bertanya kepada tukang ojek payung itu tepat setelah ia mengantarkanku ke depan warung sate. Sebuah pertanyaan yang seperti tak kupikirkan sebelumnya. Terlontar begitu saja dengan didorong rasa yang entah, semacam rasa empati.

“Namaku Yogi, Mas,” ujarnya dengan senyuman di bibirnya, “ada yang bisa saya bantu, Mas?” tanya Yogi lebih lanjut.

“Oh, tidak. Lanjutkan lagi ngojek payungnya. Itu ada pelanggan yang baru datang. Temui mereka.”
Yogi mengangguk dan kemudian segara berlalu. Aku sejenak terpaku. Tapi segera tersadar oleh wangi aroma sate kambing yang menggelitik penciuman.

Percayalah, tidak ada yang lebih nyaman selain menikmati seporsi sate kambing ditemani segelas teh tubruk panas di tengah hari hujan. Berkali-kali ayah memuji sate kambing yang tidak terlalu alot dan bumbunya begitu merasuk. Sedang ibu membanggakan diri lantaran telah merekomendasikan warung sate ini.

Di tengah hangat obrolan keluarga, mataku menatap ke luar warung sate. Kulihat di sana tiga tukang ojek payung sedang bercanda, mungkin sambil menunggu pelanggan. Satu di antara mereka adalah Yogi. Mereka lalu sama-sama mengeluarkan uang dari saku celana dan kemudian menghitungnya. Salah seorang terlihat kecewa karena mungkin baru dapat sedikit. Yogi coba menenangkan dia yang kecewa. Mereka lantas tertawa bersama, begitu lepas.

Ah, berapa ya pengasilan mereka sehari? Sepadankah dengan tenaga yang mereka keluarkan untuk berlarian dan berbasah-basahan? Kalau tidak turun hujan terus mereka kerja apa? Di mana pula orang tua mereka kok anak-anak harus ikut banting tulang? Pertanyaan-pertanyan itu menyesaki pikiranku.

Ternyata aku tidak bisa merenung lebih lama lagi karena ibu sudah menuju kasir. Iseng aku bertanya pada ibu, habis berapa untuk makan siang ini? Ibu bilang hampir seratus ribu. Alamak, untuk sekali makan saja abis seratus ribu! Entah mengapa aku tiba-tiba melirik Yogi. Dia sudah makan atau belum ya? Tanyaku dalam hati. Sudahlah, tidak usah sok peka sosial begitu, sanggah sudut hatiku yang lain.

Yogi menghampiri kami lagi, mengantarkan kami satu persatu ke mobil. Ayah mengangsurkan selembar uang sepulu ribu. Yogi menerimanya dengan seulas senyum. Tulus.

Sampai mobil mulai meninggalkan halaman parkir warung sate aku masih memandangi Yogi dari jendela mobil.

***

Tadi pagi ibu mendapat telepon dari seorang saudara jauh yang mengatakan bahwa saudara jauh kami itu ingin bertandang ke rumah kami untuk sebuah keperluan. Ibu memberi tahu sebaiknya datang malam hari. Paling tidak sehabis maghrib. Pasalnya ayah dan ibu baru pulang dari kerja pukul lima sore. Saudara jauh kami paham dan mengiyakan.

Sebagaimana malam-malam sebelumnya, malam ini hujan seperti ditumpakan dari langit. Deras tanpa ampun. Kami sekeluarga baru selesai makan malam ketika terdengar ketukan di pintu depan. Itu pasti saudara jauh yang tadi pagi menelepon, ujar ibu seraya membawa piring-piring kotor ke dapur.

Sementara ayah dan ibu bersiap menemui tamu yang sudah dipersilakan masuk oleh adik perempuanku, aku masuk kamar untuk belajar. Dari dalam kamar lamat-lamat kudengar percakapan di ruang tamu. Seharusnya percakapan terdengar jelas lantaran kamarku terletak di samping ruang tamu, namun suara hujan yang terlampau deras membuat percakapan tidak jelas terdengar.

Meski begitu aku masih bisa menangkap bagaimana terkejutnya ibu melihat dua orang tamu yang  basah kuyup. Lalu ayah menawarkan baju salin supaya kedua tamu itu tidak masuk angin. Tak lama teh panas terhidang dan ibu mempersilakan tamu untuk menikmatinya. Pengusir dingin dan pencegah masuk angin, kata ayah sambil tersenyum.

 Aku mempertajam pendengaran manakala percakapan mengarah pada permasalahan anak asuh. Sedikit samar kudengar, saudara jauh, yang kutahu bernama Pak Didiet, meminta tolong untuk menitip seorang anak, untuk dijadikan anak asuh orang tuaku. Pak Didiet menganggap bahwa keluarga kami masih mampu untuk menampung satu anak lagi sekaligus membiayai sekolahnya. Dan anak yang dimaksud adalah seorang anak yang kini sedang duduk di sampingnya.

Tentu saja aku penasaran seperti apa rupa anak itu. Karena kalau orang tuaku mengizinkan ia akan menjadi warga baru di rumah kami. Respon orang tua kami ternyata sangat baik. Ibu menjelaskan bahwa sesama saudara, sejauh apapun itu tali persaudaraannya, wajib saling menolong. Ibu terkenang ketika ia menjadi yatim piatu, ibu diasuh paman dan bibinya yang hidup pas-pasan. Maka, tidak menjadi soal jika ada seorang anak yang ingin turut tinggal di rumah ini dan dibiayai sekolahnya.

Rasa penasaranku semakin memuncak. Aku mengintip dari pintu kamar yang sedikit terkuak. Tampak di mataku calon anak asuh itu. Kulitnya hitam. Keriting rambutnya, Wajah itu sudah tidak asing. Tidak salah lagi, dialah Yogi! Segera aku menghambur ke ruang tamu.

“Yogi ya?!” Tanyaku dengan mata berbinar.

“Iya, Mas,” malu-malu ia menjawab.

Kontan ayah, ibu, dan Pak Didiet kaget. Hampir bersamaan mereka bertanya.

“Kalian sudah saling mengenal sebelumnya?”

“Ayah dan ibu tidak ingat dengan tukang ojek payung di warung sate itu? Aku waktu itu sempat berkenalan dengannya, namanya Yogi, ya ini orangnya.” Aku tersenyum lebar.

“Wah, kok bisa kebetulan begini ya,” tukas ayah sambil tersenyum.

“Iya, seperti di sinetron-sinetron saja,” imbuh ibu. Seketika kami tertawa bersama.

 Pak Didiet mengambil ancang-ancang untuk berbicara, ia sepertinya perlu menerangkan latar belakang Yogi.

“Jadi begini, Yogi ini setelah lulus SMP memang dilepas sama orang tuanya. Dan Yogi memilih kerja di kota ini, kerja apa saja. Nah, ketika di desa saya ketemu dengan orang tua Yogi saya beri tahu kalau di kota ini ada saudara jauh kita yang mungkin bisa membantu menyekolahkan Yogi. Orang tuanya malah memasrahkan semua kepada saya untuk bilang sama Mas dan Mbak.”

“Oh, sudah benar itu. Tidak baik anak seusia Yogi disuruh bekerja. Usia seumuran Yogi ini usia sekolah. Ya sudah, sekolah di sini saja. Sebentar lagi tahun ajaran baru. Nanti daftar di SMA dekat-dekat sini saja, sekolah yang bagus,” Ayah yang tak suka berbelit-belit segera mengambil keputusan cepat. Ayah selalu tak mau berpikir lama-lama, katanya itu cermin orang lamban, sama dengan pemerintah kita. Tapi ayah bukan orang yang sembrono dan teledor. Meski berpikir cepat, keputusan yang diambil bukan asal-asalan.
Maka, sejak saat itu kami punya anggota keluarga baru. Aku senang dengan kehadiranya. Terjawab sudah kenapa di warung sate waktu itu Yogi menjelma sosok yang ‘istimewa’ bagiku.

***

Yogi bukan pemberat. Dia justru sangat bisa menempatkan diri. Selepas sholat subuh dia akan segera menyapu halaman depan dan belakang. Kemudian mencuci mobil ayah. Baru setelah itu dia bersiap untuk berangkat sekolah. Siapa saja suka dengan Yogi. Dia ramah dan cekatan.

 Sampai saat paling gelap itu datang. Ayah kehilangan uang tiga juta yang disimpan di lemari bajunya! Setelah benar-benar dicari uang tidak ketemu. Ayah langsung menyambangi orang pintar. Menurut orang pintar itu pencuri uang itu adalah orang selain anggota keluarga inti di rumah kami. Jelas itu mengarah ke Yogi. Ayah meledak amarahnya.

“Dasar anak tidak tahu terima kasih! Kamu mau belajar jadi maling ya?! Ha!” Tanpa tadeng aling-aling ayah menampar Yogi.

“Ampun, Pak. Saya tidak mencuri. Saya buka maling.” Yogi membela diri seraya meringis kesakitan menahan pukulan. Ibu, aku dan adikku hanya diam seribu bahasa. Kulirik ibu yang menitikkan air mata. Jika ayah sudah marah tak satupun berani meredakan. Ayah paling tidak suka dengan pencuri. Oleh karena itu amarahnya kini seolah tanpa kontrol.

Apa yang terjadi berikutnya sudah tertebak, Yogi diusir, sebagai pesakitan. Saat keluar dari rumah hujan turun tidak begitu deras. Tapi halilintar menyambar-nyambar.

***

Hubungan keluarga kami memburuk dengan Pak Didiet, orang yang membawa Yogi pada keluarga kami. Meski Pak Didiet sudah meminta maaf sedemikian rupa tapi ayah tetap mengeras. Namun, terus terang, atas kasus ini aku tidak begitu saja membenarkan ayah. Pertama, bagaimana bisa ayah langsung percaya begitu saja pada orang pintar. Kedua, ayah tidak bisa menunjukkan bukti bahwa Yogi pelakunya, lalu dengan gegabah mengusirnya. Padahal kurang seminggu lagi, Yogi akan mengikuti ujian nasional. Aku justru kasihan dengan Yogi dalam kasus ini. Dunia kadang penuh ketidak adilan.

Hari berikutnya aku menyempatkan diri untuk mengunjungi warung sate tempat pertama kali aku dan Yogi bertemu. Berharap bisa kujumpai dia di sana. Ternyata nihil. Lalu setiap hujan turun dan aku menyaksikan tukang ojek payung aku selalu terkenang Yogi dan berharap seorang di antara mereka adalah Yogi. Tidak ada, tidak ada Yogi di sana. Dia mungkin sudah menghilang terbawa angin. Oh, malang betul nasibmu kawan.

***

Seisi rumah kami berduka. Seminggu setelah pengusiran Yogi ayah terserang demam tinggi! Setiap malam ia mengigau. “Cari Yogi! Di mana Yogi? Cari Yogi!” Suara ayah saat itu lebih memilukan dari apapun. Ayah jadi begitu sejak pengakuan adik perempuanku. Bahwa sejujurnya dialah yang mengambil uang tiga juta itu, untuk membayar hutang kepada temannya. Adik perempuanku dengan teledor telah menghilangkan Blackberry milik temannya.

Aku tidak kuat lagi melihat pemandangan ini. Ayah yang menggigil dalam demam dan menceracau memanggil Yogi dalam igau. Sedang adikku menangis tak habis-habis. Adapun ibu tidak mau makan dan tatapan matanya kosong.

Duhai, harus kemana aku mencari Yogi? Sepertinya aku harus menyelinap ke dalam hujan. Karena sejatinya Yogi adalah lelaki yang mengembara dari hujan ke hujan. Dari dingin satu ke dingin yang lain. Dari duka satu ke duka yang lain. Ah!

Ciputat, 2009-2011

Sebuah Bar

Aku, Kamu dan Dia masih mabuk. Berjalan sempoyongan dan menceracau tak jelas. Menenggak air zaman yang bernanah bertabur darah kering sampai buncit perut. Kota ini telah mengajarkan kita bagaimana menyeka luka dengan sapu tangan penuh ingus. Serta menghentikan deras aliran air seni dari telinga lewat sundutan rokok. Sebelum habis waktu, buka warteg kecil jadi pilihan akhir untuk kita merampas jengah dan memapah nafas.

Aku memang tidak datang lebih dulu ke kota ini dari Kamu dan Dia. Maka, terima kasihku untuk Kamu yang memberi tahuku cara tersenyum. Juga kepada Dia yang mengajariku cara masak sambal goreng yang digemari pelanggan. Namun maaf, jika lebaran kemarin Aku baru bisa membelikan Kamu kain sarung merah hati dan jilbab putih tulang untuk Dia. Mulutku berbuih-buih dan bau anyir sepulang sholat ied. Maka, sesaat aku jadi buta warna.

Malam gerimis begini warteg sepi. Aku dan Kamu menikmati sayup-sayup konser dangdut dari kampung seberang. Sesekali Kamu juga cekikikan mendengar erangan Mpok Leha dan deru nafas Bang Juki dari kamar kost samping yang barangkali sedang menunaikan hajat. Sementara Dia tertidur pulas setelah dari pagi hingga siang melayani perut-perut kelaparan sendirian. Dari tempatmu duduk, Kamu menatap Dia yang pulas, dengan tatapan yang berbeda.

Kamu tiba-tiba membuatku terperanjat. Kamu bilang telah jatuh hati kepada Dia. Padahal kita telah sepakat bahwa kita bertiga telah menjadi saudara, meski tak sedarah sepersusuan. Ini cinta terlarang, ini cinta yang salah! Aku menghardik Kamu yang lantas mengerenyitkan dahi dan tersenyum seolah membodohkanku. Tuhan tak pernah menciptakan cinta terlarang, kata Kamu sok tahu. Kamu lantas bercerita tentang romantisnya pasar di kala subuh, cantiknya Dia saat memotong sayur-sayuran dan banyak cerita yang membuat Aku mual. Diam-diam aku mulai mencampurkan sebotol Topi Miring dengan ganja Aceh dalam dadaku.


Inilah ketidakadilan. Mentang-mentang Kamu dan Dia telah menolongku, lantas kalian bisa dengan tanpa dosa menghirup candu bersama di depanku. Kalian diam saja saat tak ada lagi suara orang mencacah sayuran dan menggoreng ikan di dapur. Kalian termangu bisu padahal pelanggan setia kita berubah jadi lalat-lalat hijau dan laba-laba tua. Baiklah, aku telah punya satu rencana besar untuk membangunkan kalian dari tidur panjang berlendir ini. Kubelikan lima botol anggur lengkap dengan shisha Kairo kegemaran kalian. Tatkala mata itu tak sanggup lagi mengerjap dan hanya melihat satu dua pendar cahaya, warteg busuk ini akan kubakar, kubakar, kubakar!

Namun kebakaran terlalu mencolok. Binasa mereka harus berakhir rapi dan wangi. Seperti melati tujuh tangkai yang dipetik pukul empat pagi. Lalu bagaimana caranya? Aku berpikir keras. Ya, satu ide gemilang datang. Pertama aku akan mengadu domba mereka terlebih dulu. Aku akan bilang ke Dia kalau Kamu kemarin sedang bercumbu bersama Rusmini, pembantu Pak Rajiman, di perempatan jalan saat malam sudah begitu larut. Kepada Kamu aku akan bilang, Dia menggandeng tangan Agus, tukang bakso yang selalu necis, waktu sama-sama jalan ke pasar. Jika ini berhasil, niscaya aku akan semakin mudah membuat mereka lenyap.

Tai kucing! Botol bir mengayun keras mengahantam pelipisku. Tidak satu, tapi dua botol, dari dua orang berbeda. Aku jadi tak bisa melanjutkan cerpen ini. Huruf-huruf di keyboard mendadak buram. Sial! Ternyata dari tadi Kamu dan Dia membaca cerpen ini dari belakang. Mataku mengeriyip, lidahku mendesis perih, mencoba mencari pisau lipat yang kusimpan dalam laci. Setelah berhasil kugenggam aku membabi buta menyerang Kamu dan Dia. Tapi tak pernah tepat sasaran. Kamu dan Dia tersenyum mengejek, lalu tertawa, tertawa terbahak, tergelak.

Ponorogo-Jakarta, 2009

Jogja Jakarta

Di stasiun, di mana kereta datang dan pergi. Aku berusaha menyibak apa yang disembunyikan di balik sayu matanya. Ya, sebentuk rasa takut kehilangan dan enggan berpisah terbaca jelas di pelupuk mata yang mulai berkaca-kaca itu. Sedari tadi duduknya juga tak tenang. Berkali-kali dia menengok ke kiri dan ke kanan, entah apa yang dicarinya. Dan kereta dari barat pun merapat, para penumpang berhamburan. Kucoba memecah diam.

" Kau sudah mantap pergi ke Jogja kan, Dik?" tanyaku.

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Mas, sudah yakin mau ke Jakarta? Mas, benar-benar tidak ingin memenuhi wasiat bapak ibu kita?" dia justru balik
bertanya.

"Dik...bukannya begitu, tapi aku tahu jalan mana yang harus kutempuh. Jalan terbaik untukku, untuk kita. Biarkan aku menyusuri lorong-lorong Jakarta dan aku akan merelekanmu meninggalkan kota ini, menuju Jogja."

Senyap. Detik-detik merayap. Sunyi. Diam menyelinap lagi-lagi.

"Tapi kulihat kau masih risau tampaknya. Kau ragu?" keningku berkerut, pertanyaanku dijawabnya dengan gelengan kepala.

"Aku takut, Mas," suaranya parau, tatap matanya kosong.

"Kamu takut Jogja?"

"Bukan, aku takut tak bisa bertemu lagi dengan Mas. Setelah wafatnya bapak dan ibu, siapa lagi yang kupunya di dunia ini selain Mas. Aku juga takut, jika-jika Mas tak lagi bisa melihat purnama. Bukankah Fitha teman Mas yang di Jakarta itu pernah bercerita demikian? Gedung-gedung telah menutup langit, katanya. Jika tidak bisa melihat purnama lagi, Mas pasti akan melupakanku. Aku masih ingat, setiap malam bulan purnama kita sering duduk di atas batu besar tepi sungai sambil menatap bulan. Mas, selalu bilang bahwa aku adalah purnama itu. Yang hanya akan hilang jika pagi menjelang," ujarnya seraya terisak.

Kuseka air matanya yang merintik bagai gerimis sore hari. Disandarkannya kepalanya di bahuku. Kami larut dalam maha duka yang belum pernah kami alami sebelumnya.

"Sudahlah Dik, tak ada yang perlu kau risaukan. Aku janji, namamu tak akan pernah lekang dari setiap doa yang kurentang. Toh lebaran tahun depan, kita masih bisa pulang ke desa. Menjenguk tempat dimana angin dan embun senantiasa menjaga hari-hari kita. Nanti kita memetik mawar lagi di hutan belakang rumah seperti hari kemarin. Atau mungkin kau ingin mencari ikan sepat kesukaanmu di sungai ujung desa seperti waktu
kita kecil dulu? Tapi pastinya, kita akan pergi ke kaki bukit tempat kita biasa menangkap capung untuk nyekar di makam Bapak dan Ibu kita. Aku akan menyimpan semua kenangan, Dik," sungguh-sungguh aku berujar.

Tangisnya semakin sesenggukan. Pelukannya semakin dirapatkan. Aku membelai rambutnya seolah menyalurkan kekuatan. Kita memang sering tak berdaya ketika harus bertemu dengan perpisahan!

"Mas, mengapa kau tak ikut aku saja ke Jogja? Kau tega membiarkanku berkawan sunyi?"

"Dik, kau sendiri tahu, Lik Satrio selamanya tak akan pernah menerimaku. Terlebih setelah kejadian yang menimpa Marino anak sulungnya itu. Dia selalu menuduh akulah penyebab segalanya. Tinggallah barang beberapa tahun dengan keluarga Lik Satrio. Mereka masih mau menerimamu dan kau harus terus melanjutkan sekolah. Kelak jika aku sudah jadi orang aku akan membawamu kembali ke desa. Kita akan memulai segalanya dari awal lagi. Saat ini kita tak ubahnya sedang mengumpulkan melati-melati kecil yang akan kita rangkai dan kita kalungkan di leher kita esok hari.
Percayalah!"

Lantas kami tenggelam dalam diam. Tapi tangisnya belum sepenuhnya diam. Peluit kereta yang baru saja datang menjerit-jerit. Hatinya tak kalah menjerit.

"Itu keretamu datang, naiklah. Sebentar lagi keretaku juga akan segera datang. Hapus dulu air matamu."

"Mas...kita akan pergi...kita akan berpisah..." ia seolah tak percaya.

"Iya, dan kita akan kembali, kita akan bersama-sama lagi," tukasku mantap.

Kereta bertolak sudah. Langit tiba-tiba hilang cerah. Seorang pengamen datang menghampiriku. Petikan gitarnya mengiringi lagu Permintaan Hati milik Letto yang dinyanyikannya dengan segenap perasaan. Aku turut menggumamkan lagu ini bersamanya, lagu yang mungkin juga sedang disenandungkan Dik Ning dalam kereta.

Solo, 31 Januari 2008

Kereta Penghujung Juni

Apa yang dapat diharap dari keterlambatan?

Dalam derap yang batuk-batuk, bus tua ini mengakrabi rambat detik-detik, jalanan sekarat dan debu racun warna sunyi. Di dalamnya sepasang kekasih. Ya, sepasang kekasih yang meremas tiket kereta dan merapal pinta. Semoga Tuhan sedang ingin bercanda siang itu. Memainkan jarum jam untuk mengorek-orek telinga. Beku waktu! Atau mungkin untuk menggelitik lubang hidung hingga bersinnya mampu menyibak karnaval mobil, bajaj, motor, gerobak, serta macam aral. Laju kencang seorang. Sayang, Tuhan sedang asyik main catur! Hmmmf! Sepasang kekasih masih merapal pinta, meremas tiket kereta.

Tersadar mereka bahwa waktu enggan diskusi. Malas melambat. Alroji berwarta tentang hitungan-hitungan yang putar angka. Roda-roda hilang ruang nafas. Tubercholosis abadi. Sepasang kekasih didekap serengkuh sedih. Rintih tersekat di pelupuk lelah. Sudahlah! Atas alasan apa sesal dibenam dalam? Pegang ini tangan dan ranumkan senyum. Biar aku memberimu tebakan. Meski kedengaran kekanakan, kuyakin kau terkecoh. Tanyaku: satu kali satu. Jawabmu: satu. Tanyaku: ini namanya? (menunjuk kuku). Jawabmu: kuku. Tanyaku: sapi minum? Jawabmu: susu. Ha-ha-ha. Derai tawaku menyelinap di lengking klakson. Tampangmu lucu, bertanya-tanya, apa yang salah? Mas, sapi ya minum air, masak minum susu? Memerah.

Ini kali drama dikawal peluh. Di Senen, segala-segala acuh. Sepasang kekasih. Jinjing tas besar, koper besar, hati belum besar. Lalu sangsi, inikah Jakarta? Peluit ditiup-tiup Tuhan, mengawasi lari sprint sepasang kekasih menyebrang ke stasiun. Simpul, inilah mula, lusa-lusa ada lebih maha. Bentur nestapa. Debur lara. Ala Jakarta. Purna. Awan di timur melukis mendung bentuk kereta beru berangkat dengan dua bangku kosong tersisa. Bangku milik sepasang kekasih. Lelah meremas tiket kereta, lupa lirik rapal pinta. Adakah yang akan membawa pulang rindu ini, sementara sore dan saku telah segersang ini?

Sepasang kekasih musti pulang. Handai tolan dikampung menanti busung serta tepuk dada mereka. Para penjinak Ibu Kota. Menggarami harap bermusim-musim. Namun menyerah pada buru nafas. Hitam tidak. Putih bukan. Apapun, sepasang kekasih telah ditunggu. Calo-calo telah dengan sengaja pula dibariskan depan loket, jelang bertolak kereta. Guru matematika mereka seolah hanya mengajarkan perkalian. Bolos pelajaran PMP. Sepasang kekasih terpelajar adanya. Dari TK hingga SMA belajar giat taat ibu bapak. Dihafalkan nomor kursi di tiket calo. Lima menit lagi roda kereta beradu rel tak berujung. Sepasang kekasih beli tiket berdiri.

Oh, mataku mulai tak kuasa didesak bau pengap kereta, keluh orang-orang tua, tangis bayi, teriak parau para asongan. Berkaca-kaca. Gemuruh. Kecamuk. Tanganmu mengusap kepalaku. Padahal kau sendiri tahu, air mataku hanya mampu dicegah dengan pelukmu. Kasihan aku melihat kucur peluhmu yang lupa belum kau usap. Masai rambut gondrong itu –berapa kali aku memintamu potong rambut?- ingin sekali kusisir dengan jemariku. Wahai! Kami anak rantau belum mengenal nikmat leseh di lantai kereta. Menggelar koran bekas serupa gelandangan. Sebentuk belantara yang tak tercantum di peta! Dan tak kan pernah tercantum.


Jika ada yang tersisa di hati sepasang kekasih adalah perih menyelimut sekujur. Kamu merasa begitu berdosa. Aku tahu itu. Tak bisa menjagaku di kota ini dengan sebaik penjagaan. Mengatur perpulangan tak becus. Manajemen waktu buruk. Tak henti, hatimu mengutuki dirimu sendiri. Kau garuk kepala. Entah gatal entah tidak. Kertas buram yang diremas dengan dua tangan. Kurang lebih begitu wajah yang kau sodorkan depanku. Jangan paksa aku menangis disini. Kau berdiri dan aku duduki kursi orang. Pemilik kursi datang diusir lah aku. Sama berdiri kita sekarang. Berdiri bersama nanar mata menatap, sepasang kekasih mengehela nafas dalam. Dalam sekali. Sakit sekali.

Merangsek ke depan. Siapa tahu nomor kursi di tiket calo ada di depan. Seorang ibu paruh baya. Seorang bapak dengan anaknya. Di depannya tiga kursi baru terisi satu. Seorang ibu paruh baya pula. Ragu, sepasang kekasih menduduki kursi kosong. Hendak sampai stasiun kedua was-was menyergap. Boleh jadi ini kursi jatah penumpang dari stasiun berikut. Lalu lalang orang. Makin sesak. Habis ruang. Akan tetapi, menyembul percik terang dari gelap jendela. Tak bakal digeser sepasang kekasih dari kursi tempat mereka duduk. Terima kasih calo yang gemar perkalian! Terima kasih obrolan dua bapak di kursi seberang yang beri kepastian.

Tiba-tiba tangisku pecah di pundakmu. Setelah sekian menit coba kutahan lajunya. Menyerah, pipiku dibasuh kesedihan. Beberapa kali kuseka air mata.. Aku tahu kamu bingung. Kikuk hendak memelukku. Karena sedari tadi ibu separuh baya dan bapak-anak kerap memperhatikan kita. Ingin kuhibur dan tenangkanmu. Seperti bertanya, apa yang terjadi dengan sepasang kekasih ini. Aku dengar`kamu menceritakan kisah lucu, tak berhasil menghiburku. Menanyakan keluarga dan orang rumah belum dapat mengalihkan perhatianku dari kepedihan ini.

Dan kau pun terdiam. Tampak merenungi dosa. Aku menebak pikiranmu ngembara. Lantaran manakala aku sudah tenang dari tangis dan mau kau ajak bicara, kau menatap sawah-sawah yang menyembunyikan senja. Mencari biru langit menyibak kapas awan putih. Leleh perlahan air matamu. Apa yang membuatmu sebegitu melankolis di kereta sesak penghujung juni ini aku tak paham. Terkaanku segala muara padaku, tanggung jawabmu, juga cabang bersulur dipikiran. Aku menghargai itu, kekasihku. Sini, kuseka air matamu dengan tisu alfatihah ku. Jangan lepas tanganku sampai kita tiba di stasiun terakhir.

Sepasang kekasih tak pernah tahu jika angin malam yang masuk dari jendela, membawa serbuk jahat yang kan membuat mereka demam berhari-hari. Menyantap bekal yang ku siapkan, sedikit mengusir perih perpulangan. Nasi dingin dan daging tongkol pedas obat mujarab sakit kita. Setelahnya, kau sibuk mebujukku untuk turun di Stasiun Madiun, bukan Jebres, lantas sedari subuh hingga matahari sepenggalah kusinggah rumahmu. Aku berusaha menolak, kupastikan ayah menjemputku di Jebres. Kau bimbang juga. Takut aku tak dijemput tepat waktu. Stasiun Jebres lebih dulu disapa daripada Madiun. Mana tega aku tak menungguimu sampai ayahmu menjemput? katamu. Tapi apa kemudian kereta akan meninggalkanku di Jebres. Ah, aku percaya pada angin subuh yang tak pernah ingkar janji, yakinmu.

Runyam. Hapemu sakaratul maut. Aku justru sekarang yang kebingungan, bagaimana bisa berkomunikasi dengan ayahmu yang kan jemput kau di Madiun, jika sampai Jebres kita berpisah. Benar. Pada seorang pemuda tak dikenal kau yakin menitipkanku padanya. Menunggui ayahku. Kau tampak berat melambaikan tangan. Bibirku dingin kala mengecup punggung tanganmu. Dari celah jendela masih sempat kulihat kau yang sepanjang perjalanan menghadirkan hangat melambai pelan padaku. Kemudian, rembang petang menghirupmu. Lenyap di kejauhan.

Sepasang kekasih pulang dengan kereta, meremas duka, merapal nestapa
.
Ciputat, 20 Agustus 2009, 02:52.

Catatan Usang dari Gudang Tua

Yudha baru saja pindah rumah. Di pinggiran ibu kota ia mendapat rumah kontrakan yang telah tidak ditempati. Meski tampak begitu kotor dan tak terurus, Yudha menyenangi pepohonan rindang di halaman rumah yang terbilang luas itu. Harga sewanya juga murah untuk ukuran kota besar. Hari pertama datang ke rumah barunya, Yudha bersama istri dan anak lelakinya yang masih SD membersihkan bagian dalam rumah. Baru ketika hari telah senja mereka membersihkan gudang yang terletak di samping rumah. Lantaran jarang tersentuh alat-alat kebersihan gudang itu jadi terlihat begitu kusam dan tua.

Acara bersih-bersih gudang hampir selesai ketika Yudha menemukan sebuah kotak besi ukuran sedang. Letaknya di bawah kursi goyang kusam, di samping akuarium yang kusam pula. Sebuah gembok kecil yang mengunci kotak itu menjadikannya makin misterius di mata Yudha. Anehnya dalam sekali tarik gembok itu terbuka. Tak perlu kunci. Yudha berdebar hatinya. Kira-kira apa isi kotak itu? Oh, ternyata hanya bebrapa lembar kertas lusuh dan empat buku berbahasa Inggris. Dari judulnya, Yudha menduga dua buku itu adalah buku tentang politik. Yudha lantas memungut kertas-kertas lusuh itu.

Kursi goyang dibersihkan dan Yudha duduk di sana sambil membaca catatan itu. Istri dan anaknya telah lebih dulu masuk rumah meninggalkannya sendiri. Begini isi catatan usang di gudang tua itu:  

Apa cita-citamu kalau sudah besar nanti? Begitulah waktu kecil saya sering ditanya. Dengan lantang saya menjawab: jadi presiden! Saya memang selalu terpukau setiap kali melihat pidato presiden di televisi. Maka, ketika kecil saya gemar naik meja dan berpidato sekenanya, seolah-olah saya seorang presiden. Entah apa yang ada dibenak saya sehingga saya begitu ingin jadi presiden. Mungkin bagi saya seorang presiden itu adalah pemimpin yang gagah karena berpidato di mimbar yang bagus. Terhormat sebab dijaga puluhan paspampres kemana saja pergi. Atau seseorang yang banyak uangnya lantaran selalu pakai baju bagus.
Menjadi presiden tampaknya bukan sekedar cita-cita biasa buat Saya. Sejak SD says selalu ingin tampil terdepan. Oleh karenanya, sejak kelas empat sampai kelas enam Saya selalu jadi ketua kelas dan ketua kelompok Pramuka. Tidak heran jika kemudian ketika SMP dan SMA saya terpilih sebagai ketua OSIS. Sebenarnya saya bukan orang cerdas. Hanya saja badan saya tegap dan berani bicara di depan orang banyak.

Roda nasib saya terus berputar ke arah keberuntungan. Ketika menjadi mahasiswa, saya berkenalan dengan politik. Dari sana saya belajar membangun jaringan dan memperbanyak relasi. Sehingga mulus saja jalan saya saat mencalonkan diri sebagai Presiden BEM. Pesaing saya yang masih ingusan itu hanya dapat mendengus kesal dan mengumpat-umpat ketika melihat perolehan suaranya yang kalah jauh dengan suara saya.
Rasa kehilangan tiba-tiba saja menyergap saya. Orang tua saya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan kereta ketika saya baru saja lulus kuliah. Saya sangat terpukul. Tapi tak lama, sebab saya terhibur oleh warisan. Lantaran saya anak tunggal, saya mewarisi sebagian besar kekayaan orang tua saya.

Tidak berselang jauh dari kematian orang tua, saya mengiyakan tawaran paman saya untuk menjadi calon legislatif DPRD. Mumpung paman baru saja memperoleh kursi dewan yang konon sangat empuk. Uang saya ditambah hutang sana-sini bisa dibilang cukup untuk menjadi seorang anggota legislatif. Pengalaman saya tak terlalu minim untuk bersaing dengan politisi senior yang lebih dulu lalu lalang di dunia perpolitikan.
 Dewi Fortuna seperti tak mau jauh-jauh dari saya. Syukuran besar-besaran saya gelar di rumah dua hari dua malam setelah terpilihnya Saya sebagai anggota legislatif. Tiga ekor kambing jantan pilihan disembelih sebagai hidangan bagi para tamu undangan. Tak ketinggalan pegelaran wayang kulit semalam suntuk dipertunjukkan di halaman rumah saya.

**

Saya merasa ada yang kurang lengkap dalam hidup. Saya belum memiliki istri. Anggota dewan jika tak menggandeng seorang pasangan terasa belum lengkap. Demi memenuhi tuntutan itu saya menikahi seorang penyanyi dangdut yang biasa mengiringi kampanye-kampanye saya tempo hari. Si penyanyi dangdut jelas tak menolak pinangan saya. Siapa yang tak mau jadi istri anggota dewan yang masih muda dan parlente macam saya ini?

Di tengah kebahagian hidup seperti ini, Saya masih menyimpan cita-cita masa kecil saya, yaitu menjadi presiden. Dengan semangat ingin jadi presiden saya semakin aktif di partai tempat saya bernaung selama ini. Loyalitas saya terhadap partai mengantarkan saya memegang tampuk kepemimpinan partai tersebut di tingkat daerah. Semakin mencuatkan nama saya di tingkat daerah.

Saat akan digelar pemilihan bupati di kota saya, para sesepuh partai mendorong saya untuk mengajukan diri. Lantaran partai saya termasuk yang terbesar, saya tak menemui kesulitan berarti untuk mendapatkan kursi orang nomor satu di kota itu. Kini, panggilan saya adalah Pak Bupati. Semua orang menghormati saya. Tentu saja saya harus segera mencari cara untuk mengembalikan modal. Terus terang, untuk bisa menjadi bupati saya dan partai saya mengeluarkan uang yang luar biasa banyak. Saat itu uang mengucur bak pancuran air. Uang seperti tak bernomor seri. Lahan basah saya adalah orang-orang yang berambisi jadi PNS. Tes CPNS hanya formalitas. Diterima tidaknya mereka tergantung ‘sumbangan’ yang diberikan kepada ‘badan penerimaan PNS’ yang tak lain perpanjangan tangan saya.

**

Belum lama ini saya merambah dunia bisnis. Saya pilih usaha garmen. Perlahan tapi pasti, tiga pabrik garmen saya telah berdiri di tiga kota. Melihat peluang bagus di bisnis perumahan real estate, saya turut ambil bagian. Diam-diam saya memang sedang membangun kerajaan bisnis. Tampaknya bakat lain saya selain jadi politikus adalah jadi pengusaha.

 Tak kurang suatu apa saya kini. Istri saya yang penyanyi dangdut itu juga sudah melahirkan dua orang anak yang kini makin telihat cantik dan tampan, cerdas serta berwibawa. Karir politik saya terus menanjak, sementara itu kerajaan bisnis saya kian menggurita. Tak ayal, partai saya berani menunjuk saya sebagai calon gubernur pada pemilihan gubernur tahun ini. Saya sering mengunjungi orang pintar untuk meminta wejangan. Tak ketinggalan proyek-proyek basah di daerah saya sabet seluruhnya.

**

Langkah saya cukup berat untuk menjadi gubernur. Saya perlu bekerja sama dengan rekan-rekan sesame pengusaha guna memuluskan jalan saya. Termasuk dengan bandar judi terbesar di daerah itu. Bos-bos rumah bordil juga saya sambangi untuk diajak bergabung di barisan saya. Saya sadar betul bahwa saya harus berlaku ‘cerdik’ jika ingin jadi pemenang dalam pemilihan gubernur kali ini. Penantang saya adalah jenderal purnawirawan senior yang jago berpolitik serta kaya bukan main. Relasinya di pusat juga tidak sedikit. Maka, pada hari H pemungutan suara, serangan fajar saya lancarkan lewat pembagian paket sembako. Tak ketinggalan tim sukses saya  mencurangi kertas suara dengan menyontrengnya terlebih dahulu. Tentu semua saya kerjakan serpi dan sebersih mungkin.  Walhasil, menurut quick count sebuah lembaga survey ternama saya unggul dalam perolehan suara. Ketika KPU mengumumkan hasil resmi perolehan suara resmi saya ditetapkan sebagai pemenang. Pesaing saya tidak terima. Ke Mahkamah Konstitusi ia ajukan banding. Pihak saya dilaporkan telah banyak melakukan kecurangan. Sayang, ia kalah di Mahkamah Konstitusi. Saya resmi jadi gubernur.   

Masa kepemimpinan saya boleh dibilang tak begitu baik. Pertumbuhan ekonomi sangat lamban. Saya diuntungkan dengan kekayaan provinsi yang melimpah. Jika ada keberhasilan yang dicapai, itu sebenarnya bukan kerja saya, melainkan kerja orang-orang di sekitar saya.

Manakala masa kepemimpinan saya hampir habis saya beranikan maju sebagai calon presiden. Enam partai besar telah menyatakan diri siap mengusung saya. Mendengar itu saya semakin percaya diri. Saya juga yakin tim yang telah saya bentuk akan berhasil membangun pencitraan positif mengenai saya. Hasil survei yang akan menunjukkan tingginya tingkat elektabilitas saya juga dengan gampang bisa dibeli.

Pertarungan menuju kursi presiden sungguh tidak mudah. Aral melintang bisa berwujud apa saja. Bisa sesuatu yang masuk akal atau yang tidak masuk akal. Saya melewati semua dengan ketegaran dan ketabahan tingkat tinggi. Track record saya yang pernah duduk sebagai bupati dan gubernur tentu cukup meyakinkan. Sehingga tak perlu putaran kedua atau ketiga saya langsung terpilih sebagai presiden.

Inilah catatan perjalanan hidup saya. Dari seseorang yang bukan siapa-siapa menjadi orang nomor satu di negeri ini. Saya tulis catatan singkat ini agar anak cucu serta keturunan saya tahu siapa kakek atau buyutnya di masa lalu. Semoga catatan ini membuat mereka bangga dan bisa selalu menjaga nama baik keluarga.
Wassalam.

**

Selesai membaca catatan itu kontan Yudha tertawa terbahak-bahak. Betapa beruntungnya  aku bisa menempati rumah bekas presiden, candanya dalam hati. Catatan yang menurutnya sangat datar cara bertuturnya itu cukup menghiburnya hari ini. Bisa sedikit menghapus rasa capainya setelah seharian bersih-bersih rumah barunya. Namun, tak pelak, catatan ini mengusik rasa penasarannya. Siapa ya penulis catatan ini? Apakah ia yang dulu pernah tinggal di rumah ini? Di mana ia sekarang?

Usai mandi dan sholat maghrib Yudha menuju warung kopi tak jauh dari rumahnya. Beberapa orang yang tampaknya warga setempat sedang kongkow di warung kopi itu.

“Waduh, ada warga baru nih.”

“Hehehe, iya, Pak. Pengen ngobrol-ngobrol nih sekalian kenalan.”

Obrolan hangat pun terjadi antara Yudha dengan beberapa warga di warung kopi.

“Oh iya, Pak. Saya mau tanya, sebelum saya yang menempati rumah saya itu siapa ya?”

“Sebelum Mas Yudha kalau tidak salah namanya Pak Wisnu, dia makelar mobil, Mas. Setelah sukses dia pindah ke apartemen.”
 
“Kalau orang yang dulu pernah aktif di politik ada tidak ya?”

“Oh…ada, ada, namanya Pak Ade. Tapi dia cuma calon legislatif yang tidak jadi kok, Mas. Kasihan Pak Ade itu, karena sudah habis-habisan mencalonkan diri jadi anggota dewan dan ternyata tidak jadi dia gila. Pernah lari-lari ke luar rumah cuma pakai celana dalam doang.” 

“Masya Allah, kasihan betul ya. Memang Pak Ade sekarang di mana, Pak?”

“Dia sudah meninggal, Mas. Di rumah itu meninggalnya. Badannya kurus banget pas meninggal. Ekonominya compang-camping. Mana istrinya sedang hamil tua lagi.”

Deg! Mendadak Yudha merinding. Yudha menduga penulis catatan itu tak lain adalah Pak Ade. Tragis benar jalan hidup Pak Ade, obsesinya di dunia politik tak menemu keberuntungan, pikir Yudha. Catatan itu barangkali ditulis Pak Ade di tengah rasa kecewanya. Sudah tentu dalam keadaan sarafnya yang sedang terganggu.

Untunglah Yudha tidak bertanya lebih lanjut tentang anak yang dikandung istri Pak Ade. Jika ia telusuri, ia akan dapati anak yang dikandung istri Pak Ade sebenarnya adalah dirinya! Yudha yang sejak bayi hingga remaja tinggal di panti asuhan selalu gagal menemukan siapa orang tuanya hingga kini. Maka, kahadiran Yudha di rumah barunya itu boleh disebut sebagai sebuah perpulangan. Pulang ke asal muasal dirinya.
Yudha telah menemukan jejak ayahnya. Lewat catatan usang dari gudang tua.

Ciputat, 2011

Hitam Serupa Dendam

Juki mengacungkan golok. Berjalan tergesa menuju rumah Otong. Matanya merah. Nafasnya memburu. Di langit matahari bersinar di bukan main. Panas luar biasa. Keringat mengalir perlahan dari pelipis Juki. Ia semakin terpacu. Bau busuk selokan yang ia lewati bagai angin lalu belaka. Bising suara pabrik juga serupa desis ular saja di telinga Juki.

Di kepalanya cuma terbayang leher Otong. Tak ada yang lain.

Tadi pagi istri Juki, Romlah namanya, blak-blakan mengaku telah berselingkuh dengan Otong.

”Aku membalas perselingkuhanmu dengan Hindun, sekretarismu itu!” Nada bicara Romlah meninggi.

”Perselingkuhan macam apa yang aku lakukan dengan Hindun? Tak pernah ada bukti kau tunjukkan. Kau itu terlalu berprasangka Romlah! Cemburu buta!” Juki tak mau kalah tinggi nada suaranya.

Beberapa tetangga mengintip dari balik jendela. Di antara mereka geleng-geleng kepala. Namun ada juga yang tersenyum kecut. Hampir seperti mencibir.

”Masih mau mengelak? Ha?! Perlu aku carikan saksi buat membongkar kebusukanmu? Yang paling terakhir, kamu memberi Hindun kado di hari ulang tahunnya!” Romlah menuding-nuding ke arah Juki. Daster butut yang dikenakannya mulai basah oleh keringat.

”Aku memberi kado ulang tahun ke semua temanku. Mau laki-laki atau perempuan sama saja. Itu wajar dilakukan kepala divisi untuk membangun hubungan baik dengan semua anak buahnya. Apa yang salah?”
Romlah manggut-manggut. Senyumnya getir. Ia seperti telah bersiap memuntahkan lahar panas.

”Ow...begitu. Tapi kadomu untuk Hindun itu berupa puisi! Bah! Pasti kamu beri bumbu-bumbu gombal penuh rayuan. Macam anak SMA lagi kasmaran saja kamu ini. Untuk Hindun kamu tulis puisi, sedang sebaris kalimat pun belum kamu tulis untukku!”

Juki untuk sementara waktu terdiam. Tersudut. Dahinya mengernyit. Berpikir.

Juki memang penulis. Kerap cerpen dan puisinya dimuat di koran. Honor dari tulisannya lumayan untuk tambahan beli beli sembako.

”Lalu kau jadikan itu alasan untuk bisa jalan-jalan ke Bogor sama Otong, begitu? Naik motor barunya itu, iya?”

”Bagus banget ya, aku capek lembur di kantor, kau malah jalan-jalan ke Bogor dari pagi sampai sore. Untumg Mpok Uci kasih tahu. Kalau nggak pasti bakal keterusan!” Juki melancarkan serangan balasan.

”Cuma boncengan kan nggak masalah. Dari pada kamu sama Hindun, huh, pasti sudah main gila!”

”Hei, kalau ngomong diayak dulu ya! Gak ada bukti jangan asal tuduh aja!”

”Ah...capek aku! Kamu memang pandai berkelit, jago akting!” Romlah mengambil langkah cepat menuju kamar. Pintu dibanting. Dikunci dari dalam.

**

Kini Juki berdiri di teras rumah Otong. Digedornya pintu rumah kontrakan satpam bank swasta itu.

”Otong! Keluar kau!” Juki berkacak pinggang dengan golok di tangan.

”Orangnya lagi nggak di rumah, Bang!” sahut tetangga Otong.

”Kemana?”

”Kurang tahu, Bang. Ngomong-ngomong itu golok buat apa?”

”Buat gorok leher Otong!” kata Juki sembari berlalu meninggalkan rumah kontrakan Otong. Tetangga Otong tadi cuma terbengong-bengong sambil bergidik.

Berjalan pelan Juki menuju tanah lapang. Ia duduk di bawah pohon rambutan yang teduh. Pikiranya mengembara kemana-mana. Sedang angin sepoi yang nakal memainkan rambut belah tengahnya. Wangi rumput menggelitik hitung.

Juki teringat Romlah, istri yang sejujurnya amat ia sayangi dan banggakan. Juki mengenal Romlah ketika sama-sama bekerja di pabrik tekstil. Romlah adalah primadona. Tidak cantik sesungguhnya. Namun jika dipandangi berlama-lama tak kan ada bosannya.

Juki lah yang memenangkan hati Romlah. Ternyata Romlah tidak tahan dengan kata-kata manis. Juki yang berbakat menulis itu gencar menyerangnya dengan kata-kata indah. Puncaknya, Juki berkata cinta di istirahat makan siang. Suara riuh rendah membuat muka Romlah memerah. Sambil malu-malu kucing, Romlah menyatakan penerimaannya. Tiga bulan kemudian mereka menikah.

Nasib Juki membaik setelah menikah. Ia diangkat sebagai kepala divisi pengepakan di pabrik tekstil tempatnya bekerja. Sedang Romlah tetap di posisi semula.

Di tengah galau hatinya Juki tersenyum. Ia bisa memaafkan Romlah kali ini. Dihapus sudah ingatan tentang Otong yang mengajak romlah jalan-jalan ke Bogor. Juki berpikir, aku harus adil. Bukankah aku juga telah berselingkuh dengan Hindun? Tiap usai jam kantor, kerap Juki berbohong kepada Romlah bahwa dia akan lembur. Jika ada lembur mereka tidak pulang bersama seperti biasa. Adapun yang dimaksud lembur oleh Juki adalah bersyik masyuk dengan Hindun di sudut gudang yang sepi. Rasanya impas jika istriku membalas perselingkuhanku, sebaiknya aku berbaikan saja, bisiknya.

**

Sepulang kerja Juki ingin membelikan makanan kegemaran Romlah. Tadi Romlah pulang lebih dulu, sedang Juki masih punya banyak tanggungan pekerjaan sehingga pulang telat. Di ujung gang sebelum tikungan ke rumahnya, Juki membeli bakso urat kesukaan Romlah. Mudah-mudahan bakso ini bisa mencairkan ketegangan dengan istriku, kata hati Juki.

Langkah ringan Juki mengantarnya sampai depan rumah. Belum sampai Juki masuk rumah ia melihat sepeda motor yang tak asing. Sial, itu motor Otong! Berani betul dia, pekik Juki lirih.

Juki tidak mau gegabah. Mengendap-endap ia mengintip dari jendela. Tampak di mata Juki, Romlah keluar dari kamar. Ia mengenakan kaos dan calana pendek. Otong dan Romlah lantas bercakap-cakap. Hangat. Tiba-tiba tangan Otong menjawil dagu Romlah. Dengan tersipu Romlah menghalau tangan Otong. Juki berkobar. Ia masuk, tak sabar.

”Assalamu’alaikum,” sapa Juki. Ia bermuka tegang tapi berusaha tenang.

”Wa...wa...Wa’alaikumsalam,” Otong dan Romlah menjawab hampir bersamaan. Gugup keduanya melihat siapa yang datang.

”Romlah, kamu ternyata benar-benar tak menghormati aku.” Dengan paras yang tenang Juki berujar. Di sudut hatinya ada gelombang yang menggulung-gulung.

Romlah diam seribu bahasa. Otong ketakutan tapi coba angkat bicara.

”E...Bang Juki jangan salah paham, kedatangan saya...”

”Sudahlah. Aku mengamati kalian sedari tadi, dari balik jendela,” potong Juki cepat. Kini Romlah dan Otong mengunci mulut. Tertangkap basah sudah.

”Romlah, aku baru saja hendak berbaikan denganmu. Bakso urat ini tadinya akan kuberikan untukmu. Tapi sekarang aku malah ingin melempar bakso ini ke mukamu!”

”Maafkan Romlah, Bang.”

Juki dengan langkah tegap berjalan ke pintu depan, menguncinya. Sementara Romlah dan Otong terpaku di kursi tamu. Juki menuju dapur.

Sampai di ruang tamu, dari arah belakang sekonyong-konyong Juki mengguyurkan cairan berbau menyengat ke arah Otong dan Romlah.

”Apa-apaan ini, Bang?” Romlah terkejut, lalu bangkit menatap Juki.

Menyadari bau minyak tanah, Otong berlari ke arah pintu, ingin kabur. Cepat-cepat Juki menyabetkan goloknya. Kalap. Matanya merah api.

Otong mengerang. Juki menyalakan korek. Romlah berteriak. Juki mengikat  erat tangan keduanya dengan tambang. Dan api mulai meliuk-liuk. Membakar Romlah dan Otong yang terus berteriak.

Tak lama tetangga berdatangan. Asap membumbung dari arah rumah Juki menimbulkan kecurigaan. Pintu yang terkunci didobrak beramai-ramai. Warga mendapati Juki menangis tersengal-sengal. Seperti setengah gila.

Air berember-ember segera disiram ke arah Romlah dan Otong. Kain basah juga coba diselimutkan ke tubuh keduanya. Sejumlah pemuda dan bapak-bapak memaki Juki. Manakala situasi sedikit mereda, warga menggelandang Juki ke kantor polisi dan mengantar Otong dan Romlah ke rumah sakit.

**   

Orang kecil seperti Juki mudah saja untuk dijerat hukum dan dipenjarakan. Pasal mengenai usaha penghilangan nyawa berhasil mengirimnya ke prodeo.

Di hari pertamanya di penjara Juki mengalami kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya. Ketika itu suasana penjara begitu sunyi. Hari hampir pagi.  Sipir-sipir penjara terkantuk-kantuk di ujung lorong. Sesosok nenek berjubah merah dan berambut putih panjang terurai tiba-tiba saja berdiri tepat di hadapan Juki. Kontan Juki terjaga dan langsung terbelalak. Ia terduduk sekita. Namun ia tak mampu berteriak. Sesuatu yang tak ia mengerti menyekat tenggorokonnya.

”Tenanglah anak muda, aku bukan setan atau hantu yang akan menakutimu. Aku cuma ingin menunjukkan sesuatu padamu.”

Dengan ketenangan terukur nenek misterius itu merogoh dada Juki, mengambil hatinya! Juki bergidik ketakutan. Aneh ia tidak merasakan apa pun. Tidak nyeri tidak pula perih.

Nenek misterius menggenggam hati Juki dan menunjukkannya tepat di depan mata Juki.

”Inilah hatimu anak muda. Warnanya hitam. Pekat. Ini warna hitam yang serupa dendam. Dendam yang masih bercokol di hatimu, yang senantiasa kau rawat.”

Juki merasa mulutnya dibekap. Tak satu katapun bisa keluar. Ia pasrah sepenuhnya. Nenek misterius memasukkan kembali hati Juki ke tempatnya. Setelah tugasnya selesai nenek misterius menghilang secepat kedipan mata.

Keesokan paginya penjara digegerkan dengan raungan Juki yang seperti tak mau berhenti. Lelaki malang itu telah menjadi gila. Ia mendadak phobia dengan warna hitam. Tiap kali melihat sesuatu yang hitam warnanya Juki akan berteriak tidak keruan. Ya, warna hitam yang serupa dendam. 

Ciputat, 2010

Tiga Pembunuh

/1/

Lelaki itu hanya ingin membuktikan. Apakah benar di bulan ini setan-setan dibelenggu? Sehingga manusia jauh dari angkara murka dan hatinya bercahaya. Maka, ia ingin melakukan dosa terbesar yang belum pernah dilakukannya seumur hidup: membunuh.

 Niatnya hampir berhasil. Ia sudah bersiap membunuh seorang gadis ketika orang-orang sibuk sembahyang. Seorang gadis yang tak asing dalam hidupnya.  Ah, tidak terbukti Tuhan membelenggu setan, kata hatinya.
Lelaki itu bersijingkat menuju jendela kamar si gadis ketika malam mulai dibayangi gerimis dan suara jangkrik menulusup di sela jarum air yang mengahantam genting. Tak perlu ia memakai penutup muka. Sebab ia justru ingin si gadis meyaksikan wajah pembununya. Untuk itu si lelaki akan mengetuk jendela kamar yang ia tahu berada dekat saklar lampu.

Si lelaki hafal, pendengaran si gadis terlalu sensitif, ia akan terbangun dari tidur hanya karena mendengar sendok jatuh. Si lelaki tersenyum menyeringai tepat ketika si gadis membuka jendela kamar sembari menyalakan lampu. Pisau yang ia angkat tinggi dalam posisi siap menghujam dada tipis si gadis berkilatan diterpa sorot lampu, membuat mata si gadis -yang belum sepenuhya terbuka-  silau. Dan ia hanya terbengong menatap si lelaki. Dengan sangat berwibawa si gadis mengucek matanya dan merapikan rambut. Si gadis nyaris tanpa kejut dan takut.

Duh, tiba-tiba si lelaki beku. Tak berubah, setiap kali penyambutan, si gadis selalu tersenyum begitu anggrek bulannya. Setelah melempar senyum si gadis berbalik menuju ranjang. Mengambil ikat rambutnya yang terlepas. Sedang si lelaki masih terpaku di depan jendela.

"Masuklah, di luar gerimis. Kau tampak kedinginan," ujar si gadis dengan tekanan suara yang seolah tanpa gelombang.

Si lelaki tertunduk. Kalah. Sebagai pesakitan. Ada yang berkecamuk dalam pikirannya yang penuh. Ia merogoh kantong. Menyulut sebatang rokok. Disandarkan bahunya di tembok samping jendela. Dari tempatnya bersandar dapat ia lihat jalanan samping rumah si gadis yang lengang. Tiba-tiba seekor kalong berkelebat di depan muka si lelaki. Karena terperanjat rokok di bibirnya hampir jatuh.

"Anjing!" umpatnya penuh amarah.

"Ssst..itu bukan anjing, sayang. Itu tadi kelelawar. Sudah, buruan masuk. Angin malam nggak bagus." tiba-tiba pula wajah tirus si gadis menyembul dari jendela. Menyampingi wajah si lelaki. Makin terpuruklah si lelaki dalam kepengecutan.

Seperi disihir, ia menuruti kata-kata si gadis begitu saja. Langsung ia masuk kamar si gadis yang selalu berantakan. Itu telah ia hafal. Selalu saja kertas-kertas dan buku-buku berserakan, printer lupa dimatikan, musik jazz masih mengalir dari laptop yang terus menyala. Si gadis buru-buru merapikannya. Lantas  dipersilakan si lelaki duduk di ranjang. Dengan langkah yang anggun dan tampak diperhitungkan ia menuju dispenser di dekat pintu kamar. Menyeduh kopi.

Saat dua gelas kopi baru saja dihidangkan mendadak si lelaki mengambil pisau dan mencabik-cabik dadanya sendiri sembari menangis.

“Ternyata Tuhan menepati janjinya. Ia membelenggu setan-setan,” ujarnya lirih.

Si gadis hanya tersenyum tipis sementara orang-orang sudah pulang dari sembahyang.

/2/

Lantaran ia amat sangat mencintai janda manis yang diincarnya sejak si janda masih gadis, pemuda itu justru ingin membunuhnya. Pasalnya, setelah ia mentah-mentah ditolak oleh janda manis -sebenarnya si ayah yang tak berkenan-  si pemuda tak mau ada seorang pun yang kelak bersanding dengan janda manis. Dan sampai sekarang si pemuda masih senang senyum-senyum sendiri tiap teringat bagaimana ayah janda manis menginterogasi dan mengeksekusinya malam itu. Malam laknat.

“Adik kerja apa sekarang? Kerja di mana?” Alamak! Belum apa-apa calon mertua satu ini sudah tanya pekerjaan. Dengan senyum terkembang dan percaya diri yang tinggi si pemuda menjawab.

“Saya penulis lepas, Pak.”

“Hmm, penulis ya?” Si pemuda tak akan pernah lupa raut muka penuh perendahan dari ayah janda manis kala berucap begitu.

“Betul, Pak.”

“Sudah pernah menulis novel? Berapa novel? Booming tidak di pasaran? Kapan dijadikan film?”

“Sudah. Saya baru menulis satu novel, Pak. Memang tidak terlalu laku di pasaran. Itu adalah novel yang absurd. Tidak semua orang bisa memahaminya. Kritikus sastra pun kesulitan. Jadi mungkin tak akan pernah difilmkan.”

“Ah, absurd bagimana? Itu novel realis, surealis atau eksistensialis? Jelek-jelek begini sebelum jadi pengusaha saya dulu sempat jadi sastrawan.”

“Pokoknya absurd, Pak. Tapi saya yakin itu novel yang inspiratif sekaligus edukatif.”

“Baiklah. Selain itu kamu menulis apa lagi.”

“Saya menulis kumpulan puisi, Pak. Sudah diterbitkan penerbit terkenal.”

“Kumpulan puisi?! Oh! Saya tahu semua buku kumpulan puisi pasti tak laku.”

“Memang demikan kenyataannya, Pak.”

“Begini, Dik. Bukan apa-apa, saya itu sebenarnya pengen punya mantu yang PNS, pegawai negeri begitulah. Soalnya biar terjamin hidup anak saya. Kamu tahu sendiri anak saya seorang peragawati. Ia harus selalu tampil maksimal. Aku yakin, seorang penulis, apalagi penulis lepas, tak bisa mewujudkan itu. Maka, sebaiknya kamu pulang dan cari perempuan lain saja. Maaf.”

“Terima kasih, Pak. Saya pamit.”

Setiap si pemuda mengingat peristiwa dengan ayah janda manis, semakin besar keinginannya untuk membunuh janda manis. Hanya saja, ia ingin kematian janda manis menjadi kematian yang bersahaja dan berkelas. Berbeda dengan kematian-kematian yang sudah-sudah. Akhirnya ia menemukan cara itu dan akan segera melaksanakannya.

Pada sebuah peragaan busana, janda manis akan tampil sebagai peragawati yang mengenakan pakaian musim panas keluaran terbaru. Ia akan muncul di catwalk sebagai penampil pertama. Sementara itu di satu sudut tersembunyi si pemuda telah bersiap dengan senapan jarak jauh. Selain menulis, pekerjaan sampingannya adalah penembak misterius bayaran.

 Pembawa acara mempersialakan penampil pertama keluar. Si pemuda menarik pelatuk. Sial! Ada lelaki yang mengahalangi janda manis tepat ketika peluru itu meluncur deras.

Seketika si pemuda ambruk dengan peluru bersarang di bagian belakang kapalnya. Ternyata lelaki yang menghalangi janda manis tadi tak bukan adalah dirinya sendiri!

/3/

Kakek yang masih tegap itu tiba-tiba merasa jatuh cinta setelah bertemu dengan seorang nenek di taman kota. Sesungguhnya rambut keduanya sudah memutih, namun gelora cintanya masih terlihat memerah. Si kakek jatuh cinta bukan karena si nenek tetap menampakkan gurat kecantikan di usia senja. Melainkan setiap lari pagi di taman kota si nenek selalu membawa serta anjingnya yang mempesona.

Anjing itu sudah tua. Bulu-bulunya mudah rontok oleh karena sakit kulit yang amat menjijikkan. Bintik-bintik hitam sebesar kacang terlihat di sana-sini. Nafas si anjing juga sudah berat dan serasa ada yang mengganjal di hidungnya. Akan tetapi, kian hari kian tampak menderita si anjing, si kakek justru makin terpukau. Sebab adakah yang lebih indah dalam hidup ini selain penderitaan? Dan dalam rangka menyempurnakan penderitaan si anjing, si kakek ingin membunuh si nenek. Biar anjing itu mati perlahan lantaran kesepian!

Meskipun sesungguhnya si kakek selalu merasa seperti bercermin tiap kali memandangi anjing si nenek.
Di hari ke tujuh pertemuan dengan si nenek di taman kota, si kakek memberikan sebotol minuman ketika keduanya duduk beristirahat. Selain ia dan Tuhan, tak ada yang tahu jika minuman itu telah diberi racun. Dengan senyum perawan, si nenek menenggak minuman itu. Alangkah mengejutkan, tak lama justru anjingnya yang mengejang kesakitan. Sekarat. Seolah dipermainkan malaikat. Rohnya ditarik ulur. Si anjing pada akhirnya tewas dengan wajah tersenyum dan lega.

Berikutnya si kakek mati dengan cara persis dengan kematian si anjing. Si nenek tertawa.

Baru aku sadari setelah kisah ini selesai, ketiga pembunuh itu tak lain adalah aku sendiri. Di hati aku berjanji, aku tak akan menulis cerita tentang pembunahan lagi besok-besok. Syerem euy!

Ponorogo, 24 Agustus 2010

Peramal

Saat berada di sebuah masjid besar ibu kota, Ramelan didatangi seorang kakek. Pakaian kakek itu putih lusuh. Kemeja yang mungkin sudah lama tak disentuh deterjen. Sebuah peci putih kumal bertengger di kepalanya yang ditumbuhi banyak uban. Ramelan menduga ia seorang pengembara yang berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu kota ke kota lain. Ia berkeyakinan demikian manakala dilihatnya tas ransel butut yang disandang kakek itu sarat dengan barang bawaan. Boleh jadi di dalamnya ada beberapa lembar pakaian si kakek.

Satu hal yang membuat Ramelan agak bergidik. Mata kanan kakek itu cacat. Seperti terpejam, tapi terlihat mengerikan. Mungkin bawaan dari lahir.

Kakek itu beruluk salam sembari mengulurkan tangan. Ramelan menjawab salam serta menjabat tangan sang kakek. Mereka duduk bersila dekat tiang masjid yang besar. Deru kipas angin di atas mereka mengusir gerah siang itu.

“Mana temanmu yang satu lagi, Nak?” Tanya kakek tiba-tiba. Suaranya berat.

Ramelan terhenyak. Dari mana kakek ini tahu ia datang ke masjid bersama Rangga teman kantornya yang sedang ambil wudhu di lantai dasar.

“Oh…teman saya sedang mengambil air wudhu.”

“Ya. Dia sedang naik tangga sekarang, menuju kemari,” ujar kakek itu tenang.

Betul saja. Rangga muncul dari tangga dan masuk masjid. Ramelan kaget. Semakin penasaran ia. Siapa kakek ini sebenarnya?

“Sepertinya kakek habis menempuh perjalanan jauh, apa kakek pengembara?”

“Haha. Pengembara, terlalu bagus istilah itu. Lebih tepatnya aku mungkin adalah seorang tunawisma, orang tak punya rumah. Berkeliling dari tempat satu ke tempat lain.” Jawab kakek sambil membetulkan letak pecinya.

“Tentu kakek sudah banyak pengalaman. Kalau boleh tahu, siapa nama kakek?”

“Namaku Warsito. Aku berasal dari ujung timur pulau Jawa. Sudah seminggu aku berjalan kaki menuju ujung barat pulau Jawa. Mungkin dalam dua hari lagi aku akan sampai di tempat yang aku tuju.”

Ramelan kian terheran-heran. Berjalan kaki dari ujung timur pulau Jawa menuju ujung Baratnya dalam hitungan hari sungguh tak masuk akal. Berkecamuklah pikiran Ramelan. Antara percaya dan tidak. Di zaman serba modern ini ia pasti ditertawakan orang jika masih percaya pada hal-hal berbau mistis seperti ini.
Belum selesai perang batin pada diri Ramelan, kakek itu bertanya.

“Nak Ramelan, bagaimana kabar calon istrimu. Apakah ia masih berlebihan rasa cemburunya?”

Edan! Bagaimana bisa kakek misterius ini tahu namanya? Dari mana pula ia tahu kalau Sari, calon istrinya, sangat pencemburu?

“Maaf, bagaimana bisa kakek tahu nama saya. Bukakah sedari tadi saya belum menyebutkan nama? Lalu, dari mana kakek tahu kalau calon istri saya seorang pencemburu?”

Kakek Warsito tidak buru-buru menjawab. Ia justru tersenyum simpul. Sejurus kemudian ia bersenandung lirih langgam Jawa. Lagu yang Ramelan tak mengerti artinya.

“Saya diberi anugerah bisa melihat apa yang tak terlihat secara kasat mata. Meskipun mata saya buta sebelah.”

Kali ini Ramelan mulai mempercayai sang kakek. Meskipun hatinya gamang.

“Iya, Kek. Saya juga sering mendengar orang-orang yang diberi kesaktian macam itu. Saya tak pernah percaya. Tapi…setelah bertemu kakek saya jadi percaya.”

“Jangan percaya kepada saya. Syirik itu namanya. Percaya sama Tuhan saja. Hehe.” Tukas si kakek sembari terkekeh.

Tersenyum Ramelan olehnya. Ia lantas berkata.

“Mungkin kakek sebagai perantara. Untuk menolong sesama.”

“Semoga demikian. Tapi kali ini saya yang butuh bantuanmu, Nak Ramelan.”

“Apa yang bisa saya bantu, Kek?"

“Begini, Nak. Saya butuh makan beberapa hari ke depan. Cukup sehari sekali sebenarnya. Apa boleh dikata bekal saya sudah habis. Jadi, saya minta keikhlasan Nak Ramelan untuk menyisihkan beberapa rupiah untuk saya,” pinta kakek dengan suara perlahan.

“Oh, tentu, tentu, Kek. Saya akan bantu kakek. Tapi tidak banyak. Karena saya sendiri di ibu kota ini juga sebagai perantau.” Ramelan lantas mengeluarkan dua lembar sepuluh ribuan. Disodorkannya uang itu pada si kakek dengan tersenyum.

“Terima kasih, Nak. Ini terlalu banyak buat saya. Cukup segini saja.” Kakek mengembalikan selembar sepuluh ribuan.

“Di ibu kota harga makanan serba mahal, Kek. Ambil saja semua.” Pinta Ramelan seraya menolak halus pengembalian uang dari kakek.

“Sekali lagi terima kasih, Nak Ramelan. Sedari awal saya yakin, di antara banyak orang di ibu kota yang acuh masih ada orang yang berbaik hati seperti Nak Ramelan ini.”

“Kewajiban manusia tolong menolong. Semoga uang itu bermanfaat, Kek.”

“Nah, saya tidak ingin menjadi seperti pengemis. saya akan membaca garis tanganmu. Kemarikan tangan tanganmu, Nak.”

Ramelan agak ragu. Tapi kakek itu buru-buru meraih telapak tangannya. Mata kakek terpejam. Kedua tangannya meraba-raba telapak tangan kanan Ramelan. Tak lama berselang kakek menyampaikan apa yang berhasil dibacanya dari telapak tangan Ramelan.

“Dari garis tanganmu aku membaca: kau akan mendapat istri yang setia dan sepenuhnya mengabdi. Ya, kau akan menikah dengan calon istrimu itu. Kau juga akan dikaruniai banyak anak. Rezekimu lancar. Di suatu masa yang tidak lama lagi kau akan menjadi kaya. Tapi, ah, kau akan dijatuhkan oleh saudara-saudaramu sendiri. Sayang sekali, Nak Ramelan. Untuk beberapa waktu kau akan jatuh miskin. Kau bisa kembali kaya asal ketika miskin kau tidak meminta-minta.”

Ramelan mengambil nafas panjang demi mendengar ramalan itu. Benarkah jalan hidupnya akan seperti yang dijabarkan kakek Warsito tadi?

“Terima kasih banyak, Kek. Semoga saya bisa menjalani hidup sebaik mungkin. Kakek bisa menunggu sebentar, saya ingin memanggil Rangga, teman saya.”

Kakek tidak mengangguk atau pun menggeleng. Ramelan bermaksud memanggil Rangga supaya bisa diramal oleh kakek Warsito.

“Baru saja aku bertemu seorang kakek yang bisa meramal masa depan. Aku sarankan kau menemuinya,” kata Ramelan kepada Rangga. Tanpa bertanya lagi, Rangga menyetujuinya. Ia memang tertarik pada mitos dan mistik.

Alangkah terkejut Ramelan manakala ia tidak mendapati kakek Warsito di tempat semula. Tergesa ia berlari ke pintu depan masjid. Tengok kanan kiri, tapi nihil.

“Mana kakek peramal itu?” Rangga bertanya dengan cemberut.

“Tadi ada disini. Kok tiba-tiba hilang ya?” Ramelan garuk-garuk rambutnya yang tak gatal.

Ramelan pulang ke kamar kos dengan perasaan masygul. Sementara Rangga kecewa tak jadi diramal.

***

Roda kehidupan berputar cepat. Serupa putaran roda mobil, motor, sepeda serta gerobak yang melintas saban hari di jalanan panas berdebu ibu kota. Setelah menduduki kepala divisi pemasaran, Ramelan memberanikan diri melamar Sari. Beberapa hari setelah pernikahan sadarlah Ramelan bahwa Sari yang dulunya pencemburu itu kini menunjukkan kesetiaannya yang tak berbatas. Kerap mantan pacar Sari yang lebih mapan dan tampan mencoba menggodanya, tapi Sari pantang berpaling. Justru ia semakin penuh mengabdi kepada Ramelan, suaminya.

Menyadari kenyataan ini Ramelan teringat Ramelan kakek Warsito yang misterius itu. Benar terbukti. Ia menikah dengan Sari, istri yang setia. Ramelan tersenyum. Membayangkan kekayaan yang akan menghampirinya sebentar lagi. Ia seperti tak ingat jika kelak saudara-saudaranya sendiri yang akan menjatuhkan. Sebagaimana kata ramalan.

Dan masa kejayaan itu tibalah sudah. Teman-teman di kantor Ramelan memanggilnya dengan sebutan Bapak Direktur. Rumah Ramelan yang dulunya hanya lantai satu kini berlantai tiga. Jika dulunya hanya ada kolam ikan kecil di depan rumahnya, kini kolam renang yang amat luas menghampar di belakang rumah. Kolam renang itu dikelilingi pohon-pohon rindang dan aneka bunga. Di sana Ramelan biasa menghabiskan hari libur bersama istri dan empat anaknya yang lucu-lucu.

 Namun petaka menjelma serupa tamu tak diundang dalam sebuah pesta. Dua adik Ramelan tersangkut masalah di mana sebagai kakak Ramelan harus turun tangan membantu. Adiknya yang laki-laki kalah besar dalam perjudian. Sedang bisnis persewaan mobil adik perempuannya kena tipu orang. Kali ini Ramelan merogoh saku dalam-dalam guna membantu kedua adiknya. Tetapi alangkah sial. Mobil Ramelan satu-satunya dibawa lari adik laki-lakinya. Adapun adik perempuannya ternyata masih memiliki banyak hutang di bebarapa tempat dan telah jatuh tempo. Habis sudah!

Compang-camping keadaan Ramelan saat ini. Anaknya kerap mengeluh karena sudah tidak bisa hidup mewah lagi. Sari gundah ketika harus menjual sejumlah perhiasan yang dimilikinya. Kemiskinan mulai mengakrabi mereka.

***

Semua kembali pada titik takdir. Ramelan menyerah. Tiap bangun pagi ia merasa kepalanya seperti penuh dengan persoalan. Di tengah kalutnya pikiran. Dengan kemeja seadanya Ramelan pergi ke masjid. Ia berencana meramal salah seorang jamaah untuk bisa mendapatkan uang. Entah dengan ramalan seperti apa. Toh jika ia berbohong orang tak ada yang tahu. Dihampirinya seorang pemuda berpakaian sederhana yang sedang melamun. Di masjid ini, dulu Ramelan pernah bertemu kakek Warsito.

Setelah berbasa-basi dengan pemuda itu Ramelan berujar.

“Saya bisa meramal masa depan, dengan membaca garis tanganmu. Maukah kau kuramal?”

Pemuda itu ragu sejenak, tapi tiba-tiba mengangguk mau. Ramelan mulai meraba telapak tangan kanan pemuda. Namun ia bingung hendak mengatakan ramalan seperti apa. Lidahnya kelu. Tiba-tiba ia seperti melihat bahwa pemuda di depannya tak lain adalah dirinya sendiri. Dirinya yang malang.
Mendadak kepalanya pening. Segala-gala menjadi hening.

Di pintu masjid, ia melihat kelabat bayangan kakek Warsito.

Sabtu, 04 Februari 2012

Para Majnun

Alangkah terbelalak mata Pamuji ketika berada di warnet malam itu. Ia terperangah seolah tak percaya. Sejumlah foto bugil yang ada di hadapannya tak lain adalah foto Mbak Ayu, kakak perempuannya sendiri. Deretan foto itu berjudul Aksi Gila Mahasiswi Bandung. Tak salah lagi. Itu foto Mbak Ayu. Dalam keadaan bugil. Ya, bugil sama sekali. Posenya menantang. Awalnya Pamuji bergidik ngeri. Lama-lama ia jijik juga. Buru-buru ia tinggalkan warnet. Padahal sejak sejam yang lalu ia asyik menikmati foto dan video syur yang dengan mudah didapatkannya.

Pikiran Pamuji berkecamuk. Ia benar-benar tak menyangka foto Mbak Ayu ada di deretan foto-foto tak senonoh itu. Pamuji mencoba berpikir positif kalau foto itu hanya hasil rekayasa. Diedit dengan piranti lunak yang kian canggih. Tapi foto-foto itu terlampau banyak dan terkesan alami. Hampir mustahil jika foto yang ia saksikan tadi merupakan hasil editan.

Untuk sekedar menenangkan diri Pamuji menyambangi warung kopi langganannya. Ia sulut sebatang rokok kretek. Hendak ia terbangkan rasa gundahnya bersama kepulan asap rokok beraroma khas itu. Kopi yang ia pesan sebentar akan tandas.

“Jauh-jauh disekolahkan ke Bandung ternyata Mbak Ayu jadi seperti itu. Kasihan ibu,” gumamnya dalam hati.

Pamuji lantas merogoh sakunya. Mencari hape. Ia ingin menghubungi Mbak Ayu. Mencari satu kepastian. Kalau memang benar itu fotonya, bakal ia damprat habis-habisan kakak perempuan satu-satunya itu. Dasar anak tak tahu diuntung, geramnya.

Sial! Nomor Mbak Ayu tak bisa dihubungi. Sedang di luar service area, kata operator. Aku harus bagaimana ini?! Pamuji bingung. Apakah aku segera saja memberitahu ibu? Namun, siap kah ibu mendengar kabar menyesakkan ini? Toh Pamuji sendiri sebenarnya belum sepunuhnya yakin itu foto Mbak Ayu. Pun begitu naluri sebagai saudara kandung mengatakan itu benar foto kakak perempuannya yang kini sedang kuliah di Bandung.

Pamuji mengenang Mbak Ayu sebagai seorang kakak yang baik hati dan ramah. Meski mereka sering bertengkar untuk urusan-urusan sepele, berebut remote televisi misalnya, namun mereka punya memori indah masa kecil dulu. Pernah suatu kali, ketika sama-sama masih duduk di bangku sekolah dasar. Ban sepeda Mbak Ayu bocor, uang sakunya habis sama sekali. Mbak Ayu terpaksa menunggu Pamuji yang belum keluar kelas. Berharap adiknya yang terpaut satu tahun dengannya itu membawa uang saku lebih yang bisa digunakannya untuk menambal ban. Naas. Uang saku Pamuji juga habis tak bersisa.

Hari sudah semakin petang. Tak ambil pusing Pamuji memboncengkan Mbak Ayu sampai rumah. Sepedanya yang bocor dititipkan sekolah. Jarak rumah dengan sekolah sekitar lima kilometer. Malangnya, sepanjang perjalanan pulang hujan deras mengguyur. Mereka basah kuyup.

Pamuji jatuh sakit. Kecapean mengayuh sepeda yang berat lantaran Mbak Ayu ada di boncengan, ditambah dengan guyuran hujan sepanjang perjalanan. Badannya di serang demam. Ketika datang malam, Mbak Ayu masuk kamar Pamuji. Membawakan bakso urat kesukaan Pamuji. Dua mangkok sekaligus.

“Ini aku beli pakai uang hadiah lomba menyanyi di sekolah kemarin hari. Dimakan ya baksonya. Terima kasih tadi sudah mau memboncengku Semoga lekas sembuh,” ujar Mbak Ayu saat itu dengan penuh sayang. Pamuji hanya membalas dengan senyuman.

Ajaib. Pamuji sembuh esok paginya. Dan langsung masuk sekolah lagi.

Mengingat itu, dada Pamuji seperti dihantam palu godam. Getir. Terlebih setelah tadi menyaksikan foto-foto itu. Ah, betapa segala sesuatunya bisa berubah dengan cepatnya. Sekejam itukah kota besar nun jauh disana sehingga bisa merubah Mbak Ayu yang polos jadi sebegitu liar?

Untuk kesekian kali Pamuji coba menghubungi Mbak Ayu. Kali ini berhasil.

“Halo, Mbak Ayu, gimana kabarnya, Mbak?” sapa Pamuji basa-basi.

“Baik, Ji. Ada apa ya? Tumben banget kamu nelpon.”

“Anu, Mbak, aku cuma pengen tanya. Tadi waktu aku buka situs-situs begituan, aku lihat ada foto-foto Mbak Ayu. Benar tho itu foto Mbak Ayu?” Pamuji bertanya langsung namun dengan intonasi penuh kehati-hatian.

“Wah, ndak mungkin tho yo, Ji. Masak mbakmu ini berani seperti itu. Lagian kamu ini sukanya kok buka-buka situs kayak gitu tho!”

“Tapi foto-foto itu persis banget sama Mbak Ayu. Banyak lagi fotonya. Aku adikmu lho, Mbak. Naluriku mengatakan itu foto-foto Mbak Ayu. Itu foto Mbak Ayu bener kan?”

“Naluri kok dipercaya! Kamu itu masih kecil, Ji. Belum tahu urusan orang-orang dewasa.”

“Jadi betul itu foto Mbak Ayu?”

“Di sini itu hidup serba mahal, Ji. Uang saku dari ibu ndak bakalan cukup. Sudah, nanti aku kirim wesel ke kamu. Asal kamu ndak usah banyak cingcong, apalagi cerita sama ibu. Kamu butuh berapa? Seratus? Dua ratus?”

“Mbak Ayu…”

“Udah lah, Ji. Itu kan cuma foto tho? Yang penting aku di sini sehat wal afiat, hidup kecukupan, ndak nyusahin bapak ibu. Udah, ndak usah dipikirin. Aku mandi dulu ya. Salam buat orang rumah.”

Telepon diputus. Pamuji masih belum hilang rasa kagetnya. Jadi benar itu foto-foto Mbak Ayu. Dengan ringannya Mbak Ayu berucap seperti itu. Ealah, Mbak…kesambet setan mana kamu ini! Pamuji hanya bisa pasrah. Ia akan segera mengadukan hal ini kepada ibu. Biar Mbak Ayu ditegur. Kalau perlu distop kuliahnya di Bandung itu.

Lepas maghrib, ibu sedang duduk nonton sinetron. Ini memang jadi kegiatan rutinnya. Sekedar melepas penat sepulang kerja di kantor kabupaten.

“Bu, Pamuji pengen bicara sama ibu.”

“Ada apa, Ji?”

“Begini, Bu. Sebelumnya maaf kalau cerita ini mengagetkan ibu. Em… Pamuji lihat foto-foto bugil Mbak Ayu di internet,” pelan-pelan Pamuji berkata-kata.

“Masak tho, Ji? Ndak mungkin. Lha wong Mbak Ayu itu perempuan baik-baik lho. Ibu ndak percaya, Ji.”

“Tapi ada buktinya, Bu.”

“Mbak Ayu itu orangnya santun, Ji. Kamu tahu sendiri kan sedari kecil dia selalu nurut bapak ibu.”

Aku bingung sendiri. Ibu santai sekali menanggapi hal besar ini. Seperti tak terjadi apa-apa.

“Besok Pamuji bawakan buktinya, Bu. Itu benar Mbak Ayu,”tukasku meyakinkan.

“Ya sudah, biar ibu lihat sendiri foto-foto Mbak Ayu yang kamu bilang bugil itu.”

Pamuji berlalu dengan perasaan gamang. Ada apa dengan ibu sehingga bisa tenang sekali mendengar kabar ini? Reaksi ibu terlampau datar untuk ukuran berita seheboh ini.

Keesokan harinya, sepulang mengikuti kegiatan ekstrakulikuler Pamuji segera pergi ke warnet. Akan ia download foto-foto Mbak Ayu itu dan segera ia tunjukkan kepada ibunya. Biar ibu percaya. Supaya beliau lekas mengambil tindakan.

Manakala ia membuka situs yang sama dengan yang kemarin dia akses, Pamuji mendapati sebuah video yang baru saja di-upload. Terletak di bagian teratas situs porno kondang. Judulnya menantang. Ibu-Ibu PNS Berulah. Pamuji merasa ada yang janggal dengan video itu. Ia seperti mendapat dorongan untuk menyaksikan itu video.

Perlu sejumlah waktu untuk mendownload. Selang sepuluh menit, Pamuji memutar video itu. Tanpa aba-aba perutnya terasa mual dan ingin muntah. Salah satu dari tiga ibu dalam video itu adalah ibunya! Pamuji tahu benar perawakan ibunya seperti apa.

Lama-lama kepalanya seperti berputar. Apa-apaan ini! Dalam video itu digambarkan adegan tiga ibu berseragam PNS tampak mengobrol santai di depan webcam. Logat bicara mereka digenit-genitkan. Beberapa menit setelahnya, entah dengan alasan apa, tiga ibu itu melucuti pakaian seragam dinas mereka satu-persatu. Lantas mereka pamerkan organ vital mereka yang semestinya terlindung.

Pamuji tidak kuat. Ia copy foto-foto Mbak Ayu dan video ibunya. Lekas-lekas ia pulang. Ingin ditemui sang ibu yang tidak ia mengerti jalan pikirannya itu.

“Bu, aku menemukan video tidak senonoh ibu di internet. Apa maksud semua ini, Bu? Di mana letak kehormatan?” Bertanya Pamuji dengan memutar video itu di komputer rumah. Dipertontonkan depan ibunya.

“Kau belum mengerti makna kepuasan batin, Nak. Tidak perlu kau risaukan masalah video itu. Juga tentang foto-foto Mbak Ayu,”jawab ibu Pamuji tenang.

Arrrggh!!! Ini gila! Sangat-sangat gila. Ibu dan kakaknya sudah tak lagi bisa dimengerti lagi jalan pikirannya. Kacau balau otak mereka.

Runyam. Pamuji seolah hilang pegangan. Tak ada sandaran lain bagi Pamuji selain ayahnya yang sedang bekerja di Jakarta. Pulang seminggu sekali tiap akhir pekan.

“Pak, ada yang ingin Pamuji ceritakan kepada bapak soal ibu dan Mbak Ayu,” kata Pamuji sesaat setelah ayahnya datang dari Jakarta siang tadi.

“Cerita apa, Ji? Oya, sebelum kamu cerita bapak ingin menawarimu bisnis bagus. Bapak cerita dulu ya, keburu lupa nanti.”

“Bisnis apa, Pak?” aku balik bertanya.

Bapak tersenyum penuh arti.

“Begini, kamu pinter nulis kan? Bisa bikin cerita-cerita mesum? Cerita-cerita porno itu lho. Di Jakarta Bapak kelola website seperti itu sekarang. Yah, sekadar bisnis sampingan saja. Bagaimana? Satu cerita dihargai lima puluh ribu. Lumayan kan?”

Pamuji kehilangan kata-kata. Kepalanya mau pecah. Ini keluarga sudah tidak waras semua! Ia berlari keluar. Mengahampiri deras hujan siang itu. Biar luruh semua luka bersama guyuran air dari langit. Menggema di telinganya sebuah petuah. Amenangi zaman edan. Ewuh iyo ing pambudi. Melu edan nora tahan. Yen tan melu boya kaduman melik.

Ponorogo, Februari 2010

Mudik

“Tahun ini kamu mudik tidak, Yah?”

“Belum tahu, Mbok Nem.”

“Lho kok belum tahu gimana tho? Lebaran tinggal sepuluh hari lagi lho.”

“Ya tergantung Pak Ahmadi, majikanku. Kalau dapat izin mudik ya mudik.”

“Kalau Pak Ahmadi itu orangnya baik dan pengertian pasti kamu boleh mudik,” Mbok Yem  mendengus, matanya menarawang,”Aku mungkin tidak bisa mudik tahun ini, Yah.”

“Memangnya kenapa, Mbok.”

“Kata Pak Udin, majikanku yang galak itu, istrinya tidak bisa pulang lebaran tahun ini. Sedang sibuk mengurusi bisnis kerajinan kulit ular di Malaysia katanya. Jadi aku ndak boleh mudik. Nanti tidak ada yang ngurus rumah, tidak ada yang masak. Tapi Pak Udin janji menaikkan gajiku dua kali lipat kalau aku tidak mudik.”

“Bukannya gaji makin naik itu enak, Mbok?”

“Ya ndak juga, Yah. Aku masih ingat kata ustadz waktu pengajian di masjid kemarin. Ustadz bilang kebahagiaan orang yang berpuasa adalah ketika berbuka. Nah, menurutku kebahagiaan orang yang berlebaran adalah berkumpulnya mereka dengan sanak saudara, dengan keluarga.”

“Weleh-weleh, Mbok Yem pinter sekarang.”

“Halah. Pinter dari Hongkong? Cuma ngomong gitu aja dibilang pinter.” Mbok Yem sebenarnya tersipu sembari berkata demikian, pipinya memerah.

“Eh, Mbok, istrinya Bu Udin itu kok segitunya ya? Demi urusan bisnis sampai rela ndak pulang lebaran.”

Mbok Yem meraih pergelangan tangan Sutiyah. Mendekatkan muka ke telinga, lalu tangan kiri membentuk huruf C dirapatkan ke pipi kiri, hendak berbisik pada Sutiyah.

“Ssst…jangan bilang-bilang ya, sebenarnya Pak Udin dan Bu Udin sudah tidak akur lagi! Kalau tidak salah mereka malah sedang mengurus proses cerai.”

“Hush, Mbok Yem ini lho, puasa-puasa ngomongin orang. Ndak baik, Mbok.”

“Eh, iya ya. Astagfirullah.”

“Ya sudah, ayo pulang bareng. Belanjanya sudah kan?”

“Belum, satu lagi. Aku mau beli ayam.”

“Memang mau masak apa, Mbok, buat buka nanti?”

“Opor ayam. Kamu?”

“Sayur asem.”

Baru saja masuk rumah hendak menaruh barang belaanjaan, sekonyong-konyong Pak Udin datang dengan wajah bersungut-sungut.

“Dari mana saja, Mbok? Ke pasar saja lama banget. Pasti mampir-mampir dulu! Rumah masih berantakan jangan pergi-pergi!”

“Iya, Pak. Maaf.”

Ini bukan kali pertama bagi Mbok Yem. Pak Udin marah untuk urusan sepele. Jika boleh memilih ia ingin berhenti jadi pembantu. Menikmati masa tua di desanya yang tenang. Namun, bagaimanapun, almarhum suaminya meninggalkan hutang yang rasa-rasanya sulit terbayar meski Mbok Yem berkerja sepanjang umur. Hutang yang membuat Mbok Yem merasa berat hati setiap kali membayarnya tiap bulan. Hutang kalah judi!

Mbok Yem berusaha menyisakan sedikit ruang untuk suaminya di hatinya. Sesosok laki-laki yang pertama kali datang melamarnya serupa malaikat penjaga yang akan setia melindungi dengan sayapnya. Setidaknya, harapan Mbok Yem terkabul hingga usia pernikahannya memasuki usia kepala dua. Entah bagaimana, justru di usia yang kian uzur itu, suaminya menampakkan watak bengisnya. Judi. Mabuk. Judi. Mabuk. Hari-hari suaminya tak pernah lepas dari dua hal itu. Lama-lama si suami juga ringan tangan, gemar menampar dan menggampar.

Manakala suaminya tewas di tangan teman-teman judinya yang mabuk berat, air mata Mbok Yem memang menganak sungai. Pun begitu ada kelagaan dalam hatinya, ada ganjalan berat yang tiba-tiba sirna.

Lalu siapa lagi yang akan melunasi hutang-hutang suaminya jika bukan dirinya? Ditakdirkan menjadi mandul ia terima dengan sepenuh penerimaan. Maka menjadi pembantu juga pilihan yang harus dihayati sebenar penghayatan.

“Mbok, baju batikku yang warna hijau belum disetrika ya?”

Buyarlah lamunan Mbok Yem tentang masa lalunya.

“Belum, Pak.”

“Gimana tho? Kan sudah aku bilang, jam 10 aku ada rapat koperasi. Cepat setrika!” Mbok Yem hanya bisa mengangguk pasrah. Pak Udin kemudian berlalu begitu saja.

Selepas sholat tarawih, Mbok Yem kembali bertemu Sutiyah di masjid. Mereka kini duduk di serambi masjid. Menikmati malam sembari mendengarkan suara tadarusan dari dalam masjid.

“Kok ndak langsung pulang, Mbok? Nanti dicariin Pak Udin lho.”

“Pak Udin lagi keluar, Yah. Beli baju lebaran sama anaknya.”

“Enak ya orang kota. Setiap lebaran baju pasti baru. Kalau ndak baru gengsi katanya.”

Mbok Yem tersenyum simpul. Sutiyah menatap Mbok Yem lalu ikut tersenyum.

“Waktu kecil dulu aku ndak pernah beli baju baru kalau lebaran begini, Yah. Dulu buat makan aja sulit sekali rasanya. Padahal sawah banyak di sekitar rumahku. Ya begini nasib orang bodoh, selalu diakali tengkulak.”

“Aku juga baru beli bisa baju baru setiap lebaran semenjak jadi pembantu di rumah Pak Ahmadi ini kok, Mbok. Alhamdulillah Pak Ahmadi itu baik. Setiap lebaran aku dibelikan kain. Mas Hasan, anaknya Pak Ahmadi yang mahasiswa itu malah pernah beliin aku baju mahal yang bagus banget. Lagi banyak rezeki katanya.”

“Enak betul kamu, Yah. Emm…aku sebenarnya heran, siapa ya yang menciptakan budaya harus beli baju baru kalau lebaran?” Mbok Yem geleng-geleng.

“Ndak tahu lah, Mbok.”

“Eh, aku pulang dulu ya. Itu mobil Pak Udin sudah lewat. Sudah pulang dia.”

Sementara Mbok Yem buru-buru pulang, Sutiyah masih terpekur di serambi masjid. Ia mengenang masa lalunya di desa. Hamparan sawah tempat ia mencari belut. Sungai tempat ia mandi. Hutan kecil tempat mencari kayu bakar. Dan selaksa kenangan bersama Purnomo, kekasih yang berusaha ia lupakan. Bukan apa-apa Purnomo pernah ingin memperkosanya sepulang nonton wayang kulit di balai desa.

“Jangan mentang-mentang aku anak sinden terus kamu bisa seenaknya begitu sama aku.!” Gelegar suara Sutiyah bak auman singa betina. Tangan kanannya menempeleng pipi Purnomo. Melihat merah mata Sutiyah Purnomo bergidik juga.

Purnomo tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Malam itu Sutiyah tiba-tiba datang ke rumahnya, mengajak nonton wayang kulit. Kaos Sutiyah yang warna putih itu ketat sekali memang. Entah lupa atau bagaimana ia tidak mengenakan jaket atau baju pengurang rasa dingin lainnya. Kontan saja sepanajang perjalanan Purnomo curi-curi pandang. Jantung berdegup cepat dan darahnya memanas. Tubuh anak kelas tiga SMP yang sedang tumbuh di sampingnya itu sesekali menggigil oleh dingin angin malam. Purnomo kasak-kusuk. Dipikirnya ia bisa menjadi penghangat bagi Sutiyah yang tak berjaket malam itu. Sayang, ia salah duga. Ia memang mendapat kehenagatan, tapi hanya di pipi, lewat tamparan Sutiyah. Dan Sutiyah minta putus malam itu juga.

Meski menyimpan kenangan buruk, tahun ini ingin sebenarnya Sutiyah pulang menjenguk desanya barang beberapa hari. Sekedar tombo kangen. Lebaran kemarin ia tidak pulang. Pak Ahmadi kedatangan tiga adiknya yang dari luar kota. Rumah riuh dan sibuk. Maka Sutiyah tidak diizinkan pulang. Gajinya memang dilipatkan. Akan tetapi ia berusaha keras menyembunyikan rindu dalam dada.

Pagi ketika menyapu halaman, Sutiyah bersua dengan Mbok Yem yang sedang memotong rumput. Rumah Pak Udin dan Pak Ahmadi hanya berjarak dua rumah. Melihat mata Mbok Yem sembab Sutiyah penarasaran.

“Mbok Yem habis menangis? Ada apa, Mbok.”

“Aku sudah pasti tidak mudik tahun ini, Yah. Ketika aku coba minta izin lagi Pak Udin melarang sambil membentak. Padahal aku dapat kabar ibuku yang sudah tua itu sakit keras. Di sana tidak ada yang jaga.”

Mbok Yem menitikkan air mata. Tapi buru-buru diusapnya. Sutiyah cepat menenangkan Mbok Yem. Di rangkulnya rekan seprofesinya itu.

“Kita berdoa saja, Mbok. Semoga ibumu cepat sembuh. Nanti aku temani Mbok Yem di sini. Lebaran tahun ini aku juga tidak mudik kok.”

“Lho? Memangnya kamu dilarang mudik juga sama Pak Ahmadi?”

“Bukan begitu, Mbok. Aku malu pulang ke desa.”

“Malu kenapa?”

Tiba-tiba wajah Sutiyah berubah sendu. Matanya berkaca kaca. Satu-persatu gerimis di matanya menderas.

“Lho-lho kok nangis. Ada apa tho, Yah.” Mbok Yem kelabakan.

“A…aku me..mengandung anak Mas Hasan, Mbok.” Lirih dan getir Sutiyah berucap.

“Mas Hasan anaknya Pak Ahmadi itu?!” Keterkejutan Mbok Yem tak bisa disembunyikan.

“Iya, Mbok. Sudah dua bulan. Salahku sendiri memang. Aku selalu tak bisa menolak kalau malam-malam Mas Hasan mendatangi kamarku. Aku takut, Mbok. Aku malu pulang ke desa…”

Tangis Sutiyah seperti tertahan. Nafasnya tersengal. Mbok Yem memeluknya erat. Ikut menangis sesenggukan.

“Duh Gusti…Nasibe wong cilik!”

Ponorogo, Agustus 2010

                                                                       

Kamis, 05 Januari 2012

Gerimis yang Liris

Lelaki itu bersikeras mengatur ritme degup jantungnya yang tak teratur. Ia tidak pernah merasa segugup ini sebelumnya. Halaman parkir restoran Griya Dahar seperti sepetak tanah dengan medan perang di depannya. Ya, peperangan tanpa darah dan senjata, tanpa dendam dan permusuhan. Untuk kesekian kali lelaki itu mengusap keringat di dahinya. Ketika memasuki restoran ia makin gemetar. Jangan-jangan ia datang lebih dulu, pikirnya. Jika benar begitu, berarti dia telah menunggu, dan membuat perempuan menunggu adalah tindakan lelaki bodoh, lelaki malang itu mengutuk dirinya dengan alasan tak jelas. Bagaimanapun pertemuan nanti adalah pertemuan pertama setelah ia dan perempuan itu berpisah sekian lama. Sebuah perpisahan yang sejatinya sama sekali tak ia inginkan.

“Siang ini pesawatku sampai Solo,” kata lelaki itu pada si perempuan lewat telepon pagi itu.

“Memangnya kau tidak masuk kerja?”

“Aku ambil cuti. Sepertinya aku butuh waktu rehat yang panjang.”

“Apakah kau ingin jalan-jalan keliling Solo? Sedikit bernostalgia mungkin.”

“Barangkali begitu. Tapi...sebenarnya aku hanya ingin bertemu denganmu.”

“Benarkah?”

“Ya, tiba-tiba saja aku ingin bertemu denganmu.”

“Kanapa begitu?”

“Aku tidak tahu. Aku bahkan tak punya alasan.”

“Kangen?”

“Tidak jelas. Tapi rasanya mirip seperti itu.”

“Ha-ha-ha. Baiklah. Mungkin kita bisa bertemu setelah aku pulang kerja, sekitar pukul lima.”

“Tidak masalah. Bagaimana jika kita bertemu di Griya Dahar?”

“Tempat itu lagi?”

“Kenapa? Tidak suka?”

“Bukan begitu. Hanya saja, bukankah tempat itu cuma menyisakan kenangan pahit bagi kita? Kita pernah dua kali bertengkar di sana!”

“Justru itu. Aku ingin membuat kenangan manis di sana.”

“Em...Oke. Jika itu maumu. Aku ikut saja. Toh aku juga tak punya referensi tempat lain.”

“Benar kau tidak keberatan?”

“Tidak.”

“Terima kasih. Sampai jumpa nanti sore.”

“Ya. Sampai jumpa. Persiapkan sesuatunya serapi mungkin. Kau sering lupa dengan dompet dan hapemu.”

Telepon ditutup dan lelaki itu seketika terdiam. Setelah sekian tahun berpisah perempuan itu masih ingat jika ia kerap lupa dengan dompet dan hapenya. Pernah suatu hari, saat mereka masih suami istri, si lelaki teledor tidak membawa hape ketika menjemput si perempuan. Ketika masih di rumah lelaki itu mendapat SMS bahwa si perempuan akan menunggu di kedai kopi depan kantornya. Tentu saja lelaki itu bergegas menuju kedai kopi yang dimaksud. Nahas. Lantaran hapenya tertinggal ia tidak tahu jika perempuan itu menelepon dan berkirim SMS yang mengatakan bahwa ia tak jadi menunggu di kedai kopi, melainkan di mall samping kantornya. Sekalian ingin ia ajak suaminya belanja kebutuhan bulanan.

Oleh karena tidak mendapati perempuan itu di kedai kopi dan karena telah menunggu terlalu lama, lelaki itu pulang dan menggerutu sepanjang jalan pulang. Ternyata, istrinya telah sampai rumah. Ngomel-ngomel tak keruan. Lelaki yang sudah panas lebih dulu mendapati istrinya begitu kontan kian membara. Pertengkaran sengit tak terelakkan. Pertengkaran gara-gara hal sepele. Sayangnya itu terjadi berkali-kali.  

**

Sudah pukul lima kurang lima menit. Lelaki itu menuju pendopo tempat kursi dan meja makan. Kelak ia akan begitu susah melupakan tempat itu. Kursi yang unik, lampu yang eksotis, suasana Jawa masa lalu, dan kolam ikan kecil di tepian pendopo, di mana lampu yang eksotis tercermin di sana. Ia memanggil pelayan dan memesan coklat panas. Sekadar menenangkan diri dari rasa gugup. Sambil menunggu lelaki itu memandangi dapur di seberang pendopo yang ditata seperti warung-warung jadul di kampung. Ah, semua belum berubah, masih seperti dulu, lirihnya. Lalu ia pandangi gerobak es kuno bergambar dakocan hitam di antara dapur dan pendopo. Benar-benar belum berubah, ujarnya pelan.

Sudah pukul lima lewat. Perempuan itu belum tampak batang hidungnya. Di hadapan lelaki itu terhidang coklat panas. Setelah menunggu beberapa saat lelaki itu menyeruput coklatnya beberapa kali. Rasa gusarnya belum sepenuhnya hilang. Ia mengetukkan jari di meja dengan irama yang tak teratur. Dulu, ia merasa nyaman tiap kali duduk di kursi menjalin itu. Merasai nuansa hangat interior yang didominasi dari kayu daur ulang, bata merah dan batu alam. Unsur kayu dan gaya Jawa membuat ia merasa ada di Solo di zaman lampau.  Padu dan syahdu.

“Maaf aku datang terlambat,” tiba-tiba perempuan itu hadir di hadapan lelaki dan berujar dengan ketenangan yang terukur. Meski menampakkan rasa bersalah ia tak memohon sedemikian rupa untuk dimaafkan. Tak ada citra rengek kekanakan sama sekali.

“Oh, kau sudah datang rupanya. Aku tidak melihatmu tadi.”

Si perempuan tidak menjawab tapi malah tersenyum. Masih sama seperti dulu, senyumnya tetap manis, tetap dengan lesung pipit yang menggoda, kata hati si lelaki.

“Kau sudah lama menunggu?”

“Baru sepuluh menit.”

“Bagaimana kabarmu? Kau sehat, bukan?”

“Ya, sebagaimana kau lihat.”

“Penerbanganmu lancar?”

“Lancar, hanya saja tadi sedikit terlambat. Tapi tak mengapa. Bukankah itu sudah jadi ciri khas penerbangan kita?”

“He-he-he. Bisa saja kau ini.”

Lalu diam. Mereka seperti tiba-tiba kehilangan bahan pembicaraan. Setelah lama tidak bertemu, semua menjadi kaku. Mereka berusaha membuatnya cair tapi belum sepenuhnya berhasil. Kalaupun ada percakapan semuanya hanya basa-basi.

“Kau masih sering ke sini?”

“Sudah tidak lagi sejak terakhir kita ke sini.”

“Kau kangen Garang Asem Bambu tidak?”

“Hmmm...lumayan.”

“Bagaimana jika kita memesan Garang Asem Bambu. Seperti dulu.  Bukankah itu makanan favorit kita, yang hampir selalu kita pesan tiap kali ke sini?”

“Ya, itu dulu.”

“Aku pesan dua ya?”

“Sepakat.”

Keduanya kembali diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Namun kali ini perempuan itu mengawali percakapan.

“Kau masih bekerja di penerbit buku itu?”

“Ya, begitulah. Aku mencintai pekerjaan itu. Meski kadang aku merasa begitu tertekan oleh deadline demi deadline.”

“Kau tidak berubah: terlalu cinta dengan pekerjaan.”

“Ya, dan barangkali itu yang membuatmu meninggalkanku.”

“Sudah jangan diungkit-ungkit lagi masalah itu, yang sudah biarlah sudah.”

“Kau tahu, sejak kita berpisah aku masih suka mengingatmu jika aku kesepian. Kau juga kerap masuk di mimpi-mimpiku.”

“Ha-ha-ha. Kau merayuku seperti zaman kita pacaran dulu.”

“Aku tidak sedang merayu, aku sedang jujur padamu.”

“Sudahlah, kau tentu sudah punya calon, bukan?”

“Calon? Calon istri maksudmu?”

“Iya.”

“He-he-he. Aku masih sendiri sampai sekarang. Kan sudah aku bilang aku masih suka mengingatmu jika aku kesepian. Itu artinya aku...”

Belum sempat lelaki itu meneruskan perkataannya pelayan datang dengan dua Garang Asem Bambu dan Es Seger Puol. Dua-duanya adalah menu andalan restoran Griya Dahar. Garang Asem Bambu unik karena disajikan dalam bambu dengan dialasi daun pisang di dalamnya. Mereka amat menggemari olahan ayam dengan rempah, blimbing wuluh dan santan ini. Adapun  nasi disajikan dalam bentuk tumpeng kecil, bagian atasnya dibungkus daun pisang. Di sekitar tumpeng kecil itu terdapat lalapan, sambel, tahu tempe dan kerupuk. Sedang Es Seger Puol adalah campuran irisan buah segar, jeli dan susu, yang disajikan dengan jus sirsak. Melihat dua hidangan itu seketika terpanggil kenangan keduanya ketika masih bersama. 

“Aku tiba-tiba teringat tahun-tahun yang telah lewat,” ujar si perempuan.

“Nah, kau pun masih sulit untuk melupakan kenangan kita.”

“Aku mengenang kalau kita pernah bertengkar dua kali di sini.”

“Ssst...tak perlu dibahas lagi, kita di sini untuk memperbaiki kenangan, jadi mari membicarakan yang baik-baik saja. Eh, ngomong-ngomong kenalin aku dengan pacarmu yang sekarang dong.”

“Pacar? Idih, sorry ya, i’m single and very happy!” tukas si perempuan menirukan sebuah lirik lagu.

“Ah, mana mungkin kau masih sendiri.”

“Kalau aku sudah dengan yang lain tentu aku tak di sini menemuimu.”

Seperti permainan catur, lelaki itu serasa diskak mat. Benar juga, dia tentu tak akan menemuiku jika sudah dengan yang lain, bisik hati lelaki itu. Perempuan itu tersipu, merasa menang dan meneruskan menikmati Garang Asem Bambu. Lelaki itu pun begitu, merasa kalah dan melanjutkan makan.

Mereka telah selesai bersantap. Sesaat mereka saling pandang. Lalu tertawa bersama. Sungguh, ketika posisi mereka bukan siapa-siapa lagi, kecuali sebagai orang yang pernah jadi suami istri, mereka masih sedikit canggung.

“Oh iya, tadi di telepon kau bilang, ingin membuat kenangan manis di sini.”

“Ya, memang begitu, tapi mungkin aku terlalu tergesa menyebutnya kenangan manis. Manis atau tidak semua tergantung padamu.”

“Aku? Kenapa begitu?”

“Hmmf...begini, sebenarnya... aku ingin memintamu jadi istriku lagi.”

Perempuan itu, dengan tenang, menatap si lelaki. Ia mekarkan senyum. Tampak lesung pipitnya.

“Kau yakin dengan kata-katamu?”

“Seyakin ketika aku memutuskan datang dari Jakarta ke Solo untuk menemuimu.”

“Aku tidak pernah menyangka kau akan mengatakan ini sebelumnya. Pernikahan kita pernah gagal. Apakah tidak sebaiknya kau mencari perempuan lain?”

“Aku punya banyak rekan kerja perempuan, tapi tak ada yang menarik hatiku. Kau tahu aku menyukai perempuan yang cerdas dan cakap, itu baru kutemui di dirimu.”

“He-he-he, kau mencoba merayuku lagi-lagi. Kau tahu, sejujurnya aku menikmati kesendirianku ini. Hidup mandiri dan bebas.”

“Apakah itu artinya kau tak menerimaku kembali?”

“Bagaimana ya? Ha-ha-ha. Jangan mendesakku untuk segera memberi jawaban, beri aku waktu barang tiga atau empat hari. Menikah bukan perkara gampang, bukan?”

“Baiklah, aku akan bersabar menunggu jawabanmu.”

Setelah merasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi keduanya meninggalkan restoran Griya Dahar. Lelaki itu lantas memanggil taksi dan mengantarkan mantan istrinya itu pulang ke apartemen. Mereka masuk taksi tepat ketika gerimis turun. Sebuah gerimis di suatu sore.  Dalam taksi keduanya tak banyak bicara. Si lelaki teringat istrinya di Jakarta yang sedari tadi mengirim SMS dan tak dibalasnya. Dan si perempuan berharap suaminya tidak sedang di luar apartemen sehingga melihatnya sedang bersama mantan suaminya.

Gerimis sore hari mengantar dua dusta menuju senja yang tak begitu jingga. 

Cirendeu, April 2011

Tamu Agung

Hari ini adalah hari kelima belas puasa. Separuh perjalanan Ramadhan telah terlampaui. Jamaah sholat subuh dan tarawih sedikit demi sedikit mulai berkurang. Sayang sekali, semangat itu hanya di awal-awal belaka. Tapi untungnya, masih ada beberapa orang yang berkenan menghidupkan Ramadhan. Berkurangnya jamaah di masjid itu serupa selembar daun yang dimakan ulat, berlubang perlahan-lahan.

Sore ini aku harus ke masjid. Bersama warga kerja bakti untuk mempersiapkan pengajian Nuzulul Quran. Kerja bakti akan dimulai selepas sholat ashar. Pak Amin, ketua RT, memberi contoh baik dengan datang terlebih dulu. Tetapi, sebelum Pak Amin, adalah Pak Bowo, ketua RW, yang ternyata datangnya lebih awal dari siapa pun.

Angin berkesiur dari kebun pisang belakang masjid. Langit sedikit tersaput mendung. Dingin sekilas melintas dan kemudian meremangkan bulu kuduk. Ada tercium bau agak amis dari empang Haji Bambang yang letaknya bersebelahan dengan kebun pisang. Warga tenggelam dalam kesibukan. Terlihat antara yang muda dan yang tua seperti tak berjarak. Semua sama singsingkan lengan baju, sama berpeluh.

Seketika, suasana ini menimbulkan keharuan di kedalaman sanubariku. Betapa kebersamaan dan gotong royong masih dijunjung. Seolah tak seorang pun tergoda untuk menjadi individualis. Dalam kebersamaan tak ada duka. Kalau pun ada yang membuat hati bersedih akan tertupi dan bahkan terobati dalam kebersamaan. Terpujilah wahai sesiapa yang menghormati dan hidup dalam kebersamaan.

“Seperti biasa, dekat lebaran begini harga-harga sembako pada naik. Pusing saya.” Pak Anto mengawali percakapan seusai kerja bakti.

“Betul, Pak. Bahkan, saya baca di koran, harga ayam naik per menit. Edan tenan itu!” Pak Yono menimpali. 
“Kira-kira siapa ya yang mainin harga seperti itu? Tidak peduli wong cilik!” Mas Abas yang mahasiswa dan selalu kritis itu melempar pertanyaan. Tetapi, pertanyaan dari Mas Abas itu tak terjawab. Sebab memang tak ada yang bisa menjawab. Dan barangkali tak ada jawabannya.

Lantas satu per satu meninggalkan masjid. Menjaga agar tidak terlalu capek. Pasalnya, nanti malam pengajian Nuzulul Quran akan diisi ulama kondang yang gemar humor. Ia favorit semua warga. Sayang jika dilewatkan dengan mata berat menahan kantuk lantaran terlalu capek di siang atau sore harinya.

***

Sambil menunggu masuknya waktu maghrib aku duduk-duduk di kursi kayu di beranda. Ada segelas coklat panas di depanku. Ayah datang menghampiri. Ikut duduk di kursi kayu depanku. Sama sepertiku, ayah juga sudah rapi dengan baju koko, peci hitam dan sarung. Bersiap berangkat ke masjid.

 “Puasa kita sudah setengah perjalanan ya, Le?” ujar ayah. Tatapannya menerawang jauh. Seperti menjangkau sesuatu yang entah.

“Iya, Pak. Nanti malam ada pengajian Nuzulul Quran. Tadi saya ikut kerja bakti bersih-bersih masjid.”

“Oh iya ya, tadi ada kerja bakti. Kok kamu ndak bangunin bapak tho, Le?”

“Saya kasihan, bapak kelihatan capek banget.”

Lalu hening. Aku dan ayah sama-sama diam untuk beberapa saat.

“Le, coba ibu sama adikmu masih ada ya. Pasti rumah tak sesepi sekarang ini,” mimik muka ayah mendadak berubah sendu. 

“Puasa tahun kemarin mereka masih ada. Tapi puasa tahun ini…” ayah menghentikan perkataannya. Seperti tak kuasa melanjutkan.

Aku ikut larut dalam kenangan yang dibangun ayah. Mengenang ibu dan Dian, adik perempuanku satu-satunya. Selalu saja ada yang mendesak dan sesakkan dada tiap mengingat musibah yang menimpa ibu dan Dian. Sekuat apa pun aku menahan duka, aku tetap tak mampu mengelakkan perih yang menyerpih dalam kerapuhan batinku.

Saat itu adalah hari terakhir puasa. Aku sekeluarga belanja baju lebaran di toko baju yang tak terlalu besar di kotaku. Masing-masing mendapat jatah dua baju. Aku dan ayah sama-sama membeli kemeja dan celana panjang, serta baju koko dan sarung untuk sholat Ied. Demikian pula dengan Dian dan ibu. Mereka membeli baju gamis kotak-kotak dan mukena baru. Dian selalu getol mengajak ibu kompak dalam membeli baju. Motif baju mereka sama kotak-kotak, hanya dibedakan warna saja. Selesai belanja dan tiba di rumah tiba-tiba terbersit di benak ibu untuk membeli bebek di pasar. Tadi kelupaan, ujarnya. Bebek goreng sambel ijo merupakan hidangan kegemaran keluarga kami. Maka, pada buka puasa terakhir, ibu ingin memasak bebek goreng sambel ijo.

Ibu dan Dian pergi ke pasar dengan motor. Awalnya ayah menyarankan untuk memasak bahan-bahan yang sudah tersedia di kulkas. Tidak perlu repot-repot membeli bebek. Tapi ibu sedikit memaksa. Katanya, uang belanja masih mencukupi untuk sedikit ‘berpesta’ di buka puasa terakhir. Dengan sorot mata yang sulit kupahami ayah mengizinkan ibu dan Dian untuk pergi ke pasar.

Rupanya, larangan ayah adalah sebuah pertanda akan sebuah musibah. Motor yang dikendarai ibu dan Dian disambar truk! Keduanya terseret sejauh lima meter. Seketika ibu dan Dian meregang nyawa. Tidak bisa diceritakan lagi seperti apa luka-luka di sekujur tubuh ibu dan Dian. Karena hanya akan membuat gigil kesedihan jadi tak berkesudahan.

Aku harus terima. Kehilangan ibu dan adikku sehari sebelum lebaran. Hari lebaran di mana seharusnya seluruh keluarga berkumpul dalam suka cita dan kebahagian. Selamat jalan ibu. Selamat jalan Dian.
Lamunan kami tentang ibu dan Dian buyar oleh kumandang adzan. Ayah beristigfar beberapa kali. Kulihat ada tetes air mata yang luruh di sudut matanya. Kutahu, ayah belum sepenuhnya bisa tegar menghadapi kehilagan ibu dan Dian.

“Ayo ke masjid, Le. Kita sama-sama sedih atas kehilangan itu. Tapi kita tak boleh larut. Ayo, kita kita tata semua dari awal.” Kata-kata itu begitu sering diucapkan ayah. Lebih sebagai penguat hatinya.

“Iya, Pak. Barangkali bulan Ramadhan adalah saat-saat kita bangkit dan membenahi segala sesuatu.”

Ayah merangkul pundakku dengan senyum lebar. Sebuah rangkulan yang hangat. Seolah ayah sedang mengalirkan kasih sayangnya yang melimpah ruah dan tak kan ada habisnya itu kepadaku.

***

Pulang dari masjid ayah membaca Al-Quran. Aku duduk di kursi kayu di beranda. Kubaca beberapa ayat Al-Quran lalu aku mengahadap laptop. Meneruskan menulis novel. Ini kali adalah novel ketigaku. Novel pertama dan kedua tak terlalu laris di pasaran. Tapi royaltinya cukup lumayan untuk hidup sehari-hari. Belum nanti ditambah honor dari cerpen-cerpenku yang lumayan sering dimuat koran hari Minggu.

Suara petasan terdengar bersahutan dari pinggir jalan dan halaman rumah. Pijar-pijar kembang api juga mulai tampak. Dinyalakan oleh anak-anak lebih muda usia daripada yang menyalakan petasan. Segala-segala menjadi hangat dan semarak. Malam-malam bulan puasa memang selalu terasa lebih hidup.

Aku melamun dan terkenang Ramadhan ketika masih SMA dan kuliah dulu. Pernah, sekali waktu, aku melalui Ramadhan di luar kampung halamanku sendiri. Saat SMA aku dan teman-teman menjadi relawan di lokasi gempa Jogja yang luar biasa menghentak itu. Di sana kami mengajar anak-anak korban gempa. Kami belajar mengisi kultum tarawih, kami adakan kegiatan-kegiatan keagamaan untuk warga dan juga bakti sosial. Yang membuat haru dan tak terlupa adalah malam penutupan. Adik-adik kecil yang kami ajar di TPA menciptakan lagu khusus untuk kami dan menyanyikannya dengan khidmat. Selanjutnya, pawai obor yang mengular mengiringi kepulangan kami selepas tarawih malam itu. Aku tak pernah bisa melupakan hal itu.

Ada lagi kenangan puasa ketika masih mahasiswa dulu. Saat semester enam ada kewajiban Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari kampus. Kelompokku mengambil lokasi di Lembang, Bandung. Selain kabut, embun dan gigil, yang tak mungkin terlupa adalah Neneng. Gadis Sunda hitam manis yang menaruh hati padaku. Ia tak lain adalah anak pemilik rumah yang ditempati kelompokku.  Awalnya aku biasa saja. Tapi lama-lama aku tak kuasa membohongi diri. Lebih disebabkan karena aku begitu terpukau mendengar Neneng dan orang Sunda lain berbicara bahasa Sunda. Terdengar melodius dan unik.

Dari Neneng aku tahu kuliner-kuliner khas Lembang. Seperti ketan bakar, colenak, pisang keju dan nasi timbel. Itu lebih membuatku kian terperosok dalam pesona. Sayang, hubungan aku dan Neneng tidaklah lama akibat sebuah mitos bahwa orang Jawa tak berjodoh dengan orang Sunda. Setelah itu aku jadi kerap melantunkan tembang Melati dari Jayagiri milik Bimbo.

Boleh jadi kenangan-kenangan Ramadhan tadi hanyalah sebagai penghibur atas sepinya Ramadhan tahun ini tanpa ibu dan Dian.

Setelah sholat tarawih ayah menghampiriku.

“Le, bapak kok rasanya capek sekali ya tarawih tadi. Padahal biasanya kerja agak berat juga masih kuat.”

“Bapak sakit?”

“Tidak tahu juga. Bapak sepertinya tidak bisa hadir di pengajian Nuzulul Quran.”

“Iya. Sebaiknya bapak istirahat dulu,” ujarku dengan sedikit cemas.

Sesaat kemudian datang Pak De Heru dan Bu De Hani. Membawa bebek goreng. Untuk makan sahur, katanya. Ayah berterima kasih namun mukanya sedikit masam demi melihat lauk yang dibawa Pak De dan Bu De adalah bebek goreng. Lauk itu mengingatkan ayah kepada sesuatu yang menyedihkan.

***

Aku dan ayah makan sahur berdua. Kami mulai bisa membiasakan diri selalu berdua. Termasuk ketika makan sahur. Hanya saja ketika buka puasa aku dan ayah sepakat untuk buka di masjid bersama warga. Bukan untuk penghematan melainkan supaya di waktu paling membahagiakan bagi orang yang berpuasa itu kami tidak terlalu kesepian. Mungkin aku dan ayah adalah lelaki yang terlampau takut pada sepi.

Selepas makan sahur ayah membaca Al-Quran. Mengisi waktu menunggu azan subuh. Sedang aku mencuci piring dan gelas. Dari dapur aku mendengar suara ayah melemah dan berhenti. Sepertinya ayah ketiduran.
Aku hendak membangunkan ayah manakala azan subuh terdengar. Kupegang pergelangan tangannya dan sesaat hatiku berhenti berdetak. Aku sentuh lehernya dan aku tahu akan sesuatu. Aku tahu jika ayah sudah tiada. Aku juga tahu jika puasa tahun ini akan jauh lebih sunyi, jauh lebih sepi. Tanpa ibu, Dian dan ayah.

Telah sampai kepadaku tamu agung. Membawa kabar besar, kabar tentang kehilangan. 

Bumi Siliwangi, Agustus 2011