Selasa, 07 Februari 2012

Tiga Pembunuh

/1/

Lelaki itu hanya ingin membuktikan. Apakah benar di bulan ini setan-setan dibelenggu? Sehingga manusia jauh dari angkara murka dan hatinya bercahaya. Maka, ia ingin melakukan dosa terbesar yang belum pernah dilakukannya seumur hidup: membunuh.

 Niatnya hampir berhasil. Ia sudah bersiap membunuh seorang gadis ketika orang-orang sibuk sembahyang. Seorang gadis yang tak asing dalam hidupnya.  Ah, tidak terbukti Tuhan membelenggu setan, kata hatinya.
Lelaki itu bersijingkat menuju jendela kamar si gadis ketika malam mulai dibayangi gerimis dan suara jangkrik menulusup di sela jarum air yang mengahantam genting. Tak perlu ia memakai penutup muka. Sebab ia justru ingin si gadis meyaksikan wajah pembununya. Untuk itu si lelaki akan mengetuk jendela kamar yang ia tahu berada dekat saklar lampu.

Si lelaki hafal, pendengaran si gadis terlalu sensitif, ia akan terbangun dari tidur hanya karena mendengar sendok jatuh. Si lelaki tersenyum menyeringai tepat ketika si gadis membuka jendela kamar sembari menyalakan lampu. Pisau yang ia angkat tinggi dalam posisi siap menghujam dada tipis si gadis berkilatan diterpa sorot lampu, membuat mata si gadis -yang belum sepenuhya terbuka-  silau. Dan ia hanya terbengong menatap si lelaki. Dengan sangat berwibawa si gadis mengucek matanya dan merapikan rambut. Si gadis nyaris tanpa kejut dan takut.

Duh, tiba-tiba si lelaki beku. Tak berubah, setiap kali penyambutan, si gadis selalu tersenyum begitu anggrek bulannya. Setelah melempar senyum si gadis berbalik menuju ranjang. Mengambil ikat rambutnya yang terlepas. Sedang si lelaki masih terpaku di depan jendela.

"Masuklah, di luar gerimis. Kau tampak kedinginan," ujar si gadis dengan tekanan suara yang seolah tanpa gelombang.

Si lelaki tertunduk. Kalah. Sebagai pesakitan. Ada yang berkecamuk dalam pikirannya yang penuh. Ia merogoh kantong. Menyulut sebatang rokok. Disandarkan bahunya di tembok samping jendela. Dari tempatnya bersandar dapat ia lihat jalanan samping rumah si gadis yang lengang. Tiba-tiba seekor kalong berkelebat di depan muka si lelaki. Karena terperanjat rokok di bibirnya hampir jatuh.

"Anjing!" umpatnya penuh amarah.

"Ssst..itu bukan anjing, sayang. Itu tadi kelelawar. Sudah, buruan masuk. Angin malam nggak bagus." tiba-tiba pula wajah tirus si gadis menyembul dari jendela. Menyampingi wajah si lelaki. Makin terpuruklah si lelaki dalam kepengecutan.

Seperi disihir, ia menuruti kata-kata si gadis begitu saja. Langsung ia masuk kamar si gadis yang selalu berantakan. Itu telah ia hafal. Selalu saja kertas-kertas dan buku-buku berserakan, printer lupa dimatikan, musik jazz masih mengalir dari laptop yang terus menyala. Si gadis buru-buru merapikannya. Lantas  dipersilakan si lelaki duduk di ranjang. Dengan langkah yang anggun dan tampak diperhitungkan ia menuju dispenser di dekat pintu kamar. Menyeduh kopi.

Saat dua gelas kopi baru saja dihidangkan mendadak si lelaki mengambil pisau dan mencabik-cabik dadanya sendiri sembari menangis.

“Ternyata Tuhan menepati janjinya. Ia membelenggu setan-setan,” ujarnya lirih.

Si gadis hanya tersenyum tipis sementara orang-orang sudah pulang dari sembahyang.

/2/

Lantaran ia amat sangat mencintai janda manis yang diincarnya sejak si janda masih gadis, pemuda itu justru ingin membunuhnya. Pasalnya, setelah ia mentah-mentah ditolak oleh janda manis -sebenarnya si ayah yang tak berkenan-  si pemuda tak mau ada seorang pun yang kelak bersanding dengan janda manis. Dan sampai sekarang si pemuda masih senang senyum-senyum sendiri tiap teringat bagaimana ayah janda manis menginterogasi dan mengeksekusinya malam itu. Malam laknat.

“Adik kerja apa sekarang? Kerja di mana?” Alamak! Belum apa-apa calon mertua satu ini sudah tanya pekerjaan. Dengan senyum terkembang dan percaya diri yang tinggi si pemuda menjawab.

“Saya penulis lepas, Pak.”

“Hmm, penulis ya?” Si pemuda tak akan pernah lupa raut muka penuh perendahan dari ayah janda manis kala berucap begitu.

“Betul, Pak.”

“Sudah pernah menulis novel? Berapa novel? Booming tidak di pasaran? Kapan dijadikan film?”

“Sudah. Saya baru menulis satu novel, Pak. Memang tidak terlalu laku di pasaran. Itu adalah novel yang absurd. Tidak semua orang bisa memahaminya. Kritikus sastra pun kesulitan. Jadi mungkin tak akan pernah difilmkan.”

“Ah, absurd bagimana? Itu novel realis, surealis atau eksistensialis? Jelek-jelek begini sebelum jadi pengusaha saya dulu sempat jadi sastrawan.”

“Pokoknya absurd, Pak. Tapi saya yakin itu novel yang inspiratif sekaligus edukatif.”

“Baiklah. Selain itu kamu menulis apa lagi.”

“Saya menulis kumpulan puisi, Pak. Sudah diterbitkan penerbit terkenal.”

“Kumpulan puisi?! Oh! Saya tahu semua buku kumpulan puisi pasti tak laku.”

“Memang demikan kenyataannya, Pak.”

“Begini, Dik. Bukan apa-apa, saya itu sebenarnya pengen punya mantu yang PNS, pegawai negeri begitulah. Soalnya biar terjamin hidup anak saya. Kamu tahu sendiri anak saya seorang peragawati. Ia harus selalu tampil maksimal. Aku yakin, seorang penulis, apalagi penulis lepas, tak bisa mewujudkan itu. Maka, sebaiknya kamu pulang dan cari perempuan lain saja. Maaf.”

“Terima kasih, Pak. Saya pamit.”

Setiap si pemuda mengingat peristiwa dengan ayah janda manis, semakin besar keinginannya untuk membunuh janda manis. Hanya saja, ia ingin kematian janda manis menjadi kematian yang bersahaja dan berkelas. Berbeda dengan kematian-kematian yang sudah-sudah. Akhirnya ia menemukan cara itu dan akan segera melaksanakannya.

Pada sebuah peragaan busana, janda manis akan tampil sebagai peragawati yang mengenakan pakaian musim panas keluaran terbaru. Ia akan muncul di catwalk sebagai penampil pertama. Sementara itu di satu sudut tersembunyi si pemuda telah bersiap dengan senapan jarak jauh. Selain menulis, pekerjaan sampingannya adalah penembak misterius bayaran.

 Pembawa acara mempersialakan penampil pertama keluar. Si pemuda menarik pelatuk. Sial! Ada lelaki yang mengahalangi janda manis tepat ketika peluru itu meluncur deras.

Seketika si pemuda ambruk dengan peluru bersarang di bagian belakang kapalnya. Ternyata lelaki yang menghalangi janda manis tadi tak bukan adalah dirinya sendiri!

/3/

Kakek yang masih tegap itu tiba-tiba merasa jatuh cinta setelah bertemu dengan seorang nenek di taman kota. Sesungguhnya rambut keduanya sudah memutih, namun gelora cintanya masih terlihat memerah. Si kakek jatuh cinta bukan karena si nenek tetap menampakkan gurat kecantikan di usia senja. Melainkan setiap lari pagi di taman kota si nenek selalu membawa serta anjingnya yang mempesona.

Anjing itu sudah tua. Bulu-bulunya mudah rontok oleh karena sakit kulit yang amat menjijikkan. Bintik-bintik hitam sebesar kacang terlihat di sana-sini. Nafas si anjing juga sudah berat dan serasa ada yang mengganjal di hidungnya. Akan tetapi, kian hari kian tampak menderita si anjing, si kakek justru makin terpukau. Sebab adakah yang lebih indah dalam hidup ini selain penderitaan? Dan dalam rangka menyempurnakan penderitaan si anjing, si kakek ingin membunuh si nenek. Biar anjing itu mati perlahan lantaran kesepian!

Meskipun sesungguhnya si kakek selalu merasa seperti bercermin tiap kali memandangi anjing si nenek.
Di hari ke tujuh pertemuan dengan si nenek di taman kota, si kakek memberikan sebotol minuman ketika keduanya duduk beristirahat. Selain ia dan Tuhan, tak ada yang tahu jika minuman itu telah diberi racun. Dengan senyum perawan, si nenek menenggak minuman itu. Alangkah mengejutkan, tak lama justru anjingnya yang mengejang kesakitan. Sekarat. Seolah dipermainkan malaikat. Rohnya ditarik ulur. Si anjing pada akhirnya tewas dengan wajah tersenyum dan lega.

Berikutnya si kakek mati dengan cara persis dengan kematian si anjing. Si nenek tertawa.

Baru aku sadari setelah kisah ini selesai, ketiga pembunuh itu tak lain adalah aku sendiri. Di hati aku berjanji, aku tak akan menulis cerita tentang pembunahan lagi besok-besok. Syerem euy!

Ponorogo, 24 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar