Selasa, 07 Februari 2012

Peramal

Saat berada di sebuah masjid besar ibu kota, Ramelan didatangi seorang kakek. Pakaian kakek itu putih lusuh. Kemeja yang mungkin sudah lama tak disentuh deterjen. Sebuah peci putih kumal bertengger di kepalanya yang ditumbuhi banyak uban. Ramelan menduga ia seorang pengembara yang berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu kota ke kota lain. Ia berkeyakinan demikian manakala dilihatnya tas ransel butut yang disandang kakek itu sarat dengan barang bawaan. Boleh jadi di dalamnya ada beberapa lembar pakaian si kakek.

Satu hal yang membuat Ramelan agak bergidik. Mata kanan kakek itu cacat. Seperti terpejam, tapi terlihat mengerikan. Mungkin bawaan dari lahir.

Kakek itu beruluk salam sembari mengulurkan tangan. Ramelan menjawab salam serta menjabat tangan sang kakek. Mereka duduk bersila dekat tiang masjid yang besar. Deru kipas angin di atas mereka mengusir gerah siang itu.

“Mana temanmu yang satu lagi, Nak?” Tanya kakek tiba-tiba. Suaranya berat.

Ramelan terhenyak. Dari mana kakek ini tahu ia datang ke masjid bersama Rangga teman kantornya yang sedang ambil wudhu di lantai dasar.

“Oh…teman saya sedang mengambil air wudhu.”

“Ya. Dia sedang naik tangga sekarang, menuju kemari,” ujar kakek itu tenang.

Betul saja. Rangga muncul dari tangga dan masuk masjid. Ramelan kaget. Semakin penasaran ia. Siapa kakek ini sebenarnya?

“Sepertinya kakek habis menempuh perjalanan jauh, apa kakek pengembara?”

“Haha. Pengembara, terlalu bagus istilah itu. Lebih tepatnya aku mungkin adalah seorang tunawisma, orang tak punya rumah. Berkeliling dari tempat satu ke tempat lain.” Jawab kakek sambil membetulkan letak pecinya.

“Tentu kakek sudah banyak pengalaman. Kalau boleh tahu, siapa nama kakek?”

“Namaku Warsito. Aku berasal dari ujung timur pulau Jawa. Sudah seminggu aku berjalan kaki menuju ujung barat pulau Jawa. Mungkin dalam dua hari lagi aku akan sampai di tempat yang aku tuju.”

Ramelan kian terheran-heran. Berjalan kaki dari ujung timur pulau Jawa menuju ujung Baratnya dalam hitungan hari sungguh tak masuk akal. Berkecamuklah pikiran Ramelan. Antara percaya dan tidak. Di zaman serba modern ini ia pasti ditertawakan orang jika masih percaya pada hal-hal berbau mistis seperti ini.
Belum selesai perang batin pada diri Ramelan, kakek itu bertanya.

“Nak Ramelan, bagaimana kabar calon istrimu. Apakah ia masih berlebihan rasa cemburunya?”

Edan! Bagaimana bisa kakek misterius ini tahu namanya? Dari mana pula ia tahu kalau Sari, calon istrinya, sangat pencemburu?

“Maaf, bagaimana bisa kakek tahu nama saya. Bukakah sedari tadi saya belum menyebutkan nama? Lalu, dari mana kakek tahu kalau calon istri saya seorang pencemburu?”

Kakek Warsito tidak buru-buru menjawab. Ia justru tersenyum simpul. Sejurus kemudian ia bersenandung lirih langgam Jawa. Lagu yang Ramelan tak mengerti artinya.

“Saya diberi anugerah bisa melihat apa yang tak terlihat secara kasat mata. Meskipun mata saya buta sebelah.”

Kali ini Ramelan mulai mempercayai sang kakek. Meskipun hatinya gamang.

“Iya, Kek. Saya juga sering mendengar orang-orang yang diberi kesaktian macam itu. Saya tak pernah percaya. Tapi…setelah bertemu kakek saya jadi percaya.”

“Jangan percaya kepada saya. Syirik itu namanya. Percaya sama Tuhan saja. Hehe.” Tukas si kakek sembari terkekeh.

Tersenyum Ramelan olehnya. Ia lantas berkata.

“Mungkin kakek sebagai perantara. Untuk menolong sesama.”

“Semoga demikian. Tapi kali ini saya yang butuh bantuanmu, Nak Ramelan.”

“Apa yang bisa saya bantu, Kek?"

“Begini, Nak. Saya butuh makan beberapa hari ke depan. Cukup sehari sekali sebenarnya. Apa boleh dikata bekal saya sudah habis. Jadi, saya minta keikhlasan Nak Ramelan untuk menyisihkan beberapa rupiah untuk saya,” pinta kakek dengan suara perlahan.

“Oh, tentu, tentu, Kek. Saya akan bantu kakek. Tapi tidak banyak. Karena saya sendiri di ibu kota ini juga sebagai perantau.” Ramelan lantas mengeluarkan dua lembar sepuluh ribuan. Disodorkannya uang itu pada si kakek dengan tersenyum.

“Terima kasih, Nak. Ini terlalu banyak buat saya. Cukup segini saja.” Kakek mengembalikan selembar sepuluh ribuan.

“Di ibu kota harga makanan serba mahal, Kek. Ambil saja semua.” Pinta Ramelan seraya menolak halus pengembalian uang dari kakek.

“Sekali lagi terima kasih, Nak Ramelan. Sedari awal saya yakin, di antara banyak orang di ibu kota yang acuh masih ada orang yang berbaik hati seperti Nak Ramelan ini.”

“Kewajiban manusia tolong menolong. Semoga uang itu bermanfaat, Kek.”

“Nah, saya tidak ingin menjadi seperti pengemis. saya akan membaca garis tanganmu. Kemarikan tangan tanganmu, Nak.”

Ramelan agak ragu. Tapi kakek itu buru-buru meraih telapak tangannya. Mata kakek terpejam. Kedua tangannya meraba-raba telapak tangan kanan Ramelan. Tak lama berselang kakek menyampaikan apa yang berhasil dibacanya dari telapak tangan Ramelan.

“Dari garis tanganmu aku membaca: kau akan mendapat istri yang setia dan sepenuhnya mengabdi. Ya, kau akan menikah dengan calon istrimu itu. Kau juga akan dikaruniai banyak anak. Rezekimu lancar. Di suatu masa yang tidak lama lagi kau akan menjadi kaya. Tapi, ah, kau akan dijatuhkan oleh saudara-saudaramu sendiri. Sayang sekali, Nak Ramelan. Untuk beberapa waktu kau akan jatuh miskin. Kau bisa kembali kaya asal ketika miskin kau tidak meminta-minta.”

Ramelan mengambil nafas panjang demi mendengar ramalan itu. Benarkah jalan hidupnya akan seperti yang dijabarkan kakek Warsito tadi?

“Terima kasih banyak, Kek. Semoga saya bisa menjalani hidup sebaik mungkin. Kakek bisa menunggu sebentar, saya ingin memanggil Rangga, teman saya.”

Kakek tidak mengangguk atau pun menggeleng. Ramelan bermaksud memanggil Rangga supaya bisa diramal oleh kakek Warsito.

“Baru saja aku bertemu seorang kakek yang bisa meramal masa depan. Aku sarankan kau menemuinya,” kata Ramelan kepada Rangga. Tanpa bertanya lagi, Rangga menyetujuinya. Ia memang tertarik pada mitos dan mistik.

Alangkah terkejut Ramelan manakala ia tidak mendapati kakek Warsito di tempat semula. Tergesa ia berlari ke pintu depan masjid. Tengok kanan kiri, tapi nihil.

“Mana kakek peramal itu?” Rangga bertanya dengan cemberut.

“Tadi ada disini. Kok tiba-tiba hilang ya?” Ramelan garuk-garuk rambutnya yang tak gatal.

Ramelan pulang ke kamar kos dengan perasaan masygul. Sementara Rangga kecewa tak jadi diramal.

***

Roda kehidupan berputar cepat. Serupa putaran roda mobil, motor, sepeda serta gerobak yang melintas saban hari di jalanan panas berdebu ibu kota. Setelah menduduki kepala divisi pemasaran, Ramelan memberanikan diri melamar Sari. Beberapa hari setelah pernikahan sadarlah Ramelan bahwa Sari yang dulunya pencemburu itu kini menunjukkan kesetiaannya yang tak berbatas. Kerap mantan pacar Sari yang lebih mapan dan tampan mencoba menggodanya, tapi Sari pantang berpaling. Justru ia semakin penuh mengabdi kepada Ramelan, suaminya.

Menyadari kenyataan ini Ramelan teringat Ramelan kakek Warsito yang misterius itu. Benar terbukti. Ia menikah dengan Sari, istri yang setia. Ramelan tersenyum. Membayangkan kekayaan yang akan menghampirinya sebentar lagi. Ia seperti tak ingat jika kelak saudara-saudaranya sendiri yang akan menjatuhkan. Sebagaimana kata ramalan.

Dan masa kejayaan itu tibalah sudah. Teman-teman di kantor Ramelan memanggilnya dengan sebutan Bapak Direktur. Rumah Ramelan yang dulunya hanya lantai satu kini berlantai tiga. Jika dulunya hanya ada kolam ikan kecil di depan rumahnya, kini kolam renang yang amat luas menghampar di belakang rumah. Kolam renang itu dikelilingi pohon-pohon rindang dan aneka bunga. Di sana Ramelan biasa menghabiskan hari libur bersama istri dan empat anaknya yang lucu-lucu.

 Namun petaka menjelma serupa tamu tak diundang dalam sebuah pesta. Dua adik Ramelan tersangkut masalah di mana sebagai kakak Ramelan harus turun tangan membantu. Adiknya yang laki-laki kalah besar dalam perjudian. Sedang bisnis persewaan mobil adik perempuannya kena tipu orang. Kali ini Ramelan merogoh saku dalam-dalam guna membantu kedua adiknya. Tetapi alangkah sial. Mobil Ramelan satu-satunya dibawa lari adik laki-lakinya. Adapun adik perempuannya ternyata masih memiliki banyak hutang di bebarapa tempat dan telah jatuh tempo. Habis sudah!

Compang-camping keadaan Ramelan saat ini. Anaknya kerap mengeluh karena sudah tidak bisa hidup mewah lagi. Sari gundah ketika harus menjual sejumlah perhiasan yang dimilikinya. Kemiskinan mulai mengakrabi mereka.

***

Semua kembali pada titik takdir. Ramelan menyerah. Tiap bangun pagi ia merasa kepalanya seperti penuh dengan persoalan. Di tengah kalutnya pikiran. Dengan kemeja seadanya Ramelan pergi ke masjid. Ia berencana meramal salah seorang jamaah untuk bisa mendapatkan uang. Entah dengan ramalan seperti apa. Toh jika ia berbohong orang tak ada yang tahu. Dihampirinya seorang pemuda berpakaian sederhana yang sedang melamun. Di masjid ini, dulu Ramelan pernah bertemu kakek Warsito.

Setelah berbasa-basi dengan pemuda itu Ramelan berujar.

“Saya bisa meramal masa depan, dengan membaca garis tanganmu. Maukah kau kuramal?”

Pemuda itu ragu sejenak, tapi tiba-tiba mengangguk mau. Ramelan mulai meraba telapak tangan kanan pemuda. Namun ia bingung hendak mengatakan ramalan seperti apa. Lidahnya kelu. Tiba-tiba ia seperti melihat bahwa pemuda di depannya tak lain adalah dirinya sendiri. Dirinya yang malang.
Mendadak kepalanya pening. Segala-gala menjadi hening.

Di pintu masjid, ia melihat kelabat bayangan kakek Warsito.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar