Selasa, 07 Februari 2012

Sebuah Bar

Aku, Kamu dan Dia masih mabuk. Berjalan sempoyongan dan menceracau tak jelas. Menenggak air zaman yang bernanah bertabur darah kering sampai buncit perut. Kota ini telah mengajarkan kita bagaimana menyeka luka dengan sapu tangan penuh ingus. Serta menghentikan deras aliran air seni dari telinga lewat sundutan rokok. Sebelum habis waktu, buka warteg kecil jadi pilihan akhir untuk kita merampas jengah dan memapah nafas.

Aku memang tidak datang lebih dulu ke kota ini dari Kamu dan Dia. Maka, terima kasihku untuk Kamu yang memberi tahuku cara tersenyum. Juga kepada Dia yang mengajariku cara masak sambal goreng yang digemari pelanggan. Namun maaf, jika lebaran kemarin Aku baru bisa membelikan Kamu kain sarung merah hati dan jilbab putih tulang untuk Dia. Mulutku berbuih-buih dan bau anyir sepulang sholat ied. Maka, sesaat aku jadi buta warna.

Malam gerimis begini warteg sepi. Aku dan Kamu menikmati sayup-sayup konser dangdut dari kampung seberang. Sesekali Kamu juga cekikikan mendengar erangan Mpok Leha dan deru nafas Bang Juki dari kamar kost samping yang barangkali sedang menunaikan hajat. Sementara Dia tertidur pulas setelah dari pagi hingga siang melayani perut-perut kelaparan sendirian. Dari tempatmu duduk, Kamu menatap Dia yang pulas, dengan tatapan yang berbeda.

Kamu tiba-tiba membuatku terperanjat. Kamu bilang telah jatuh hati kepada Dia. Padahal kita telah sepakat bahwa kita bertiga telah menjadi saudara, meski tak sedarah sepersusuan. Ini cinta terlarang, ini cinta yang salah! Aku menghardik Kamu yang lantas mengerenyitkan dahi dan tersenyum seolah membodohkanku. Tuhan tak pernah menciptakan cinta terlarang, kata Kamu sok tahu. Kamu lantas bercerita tentang romantisnya pasar di kala subuh, cantiknya Dia saat memotong sayur-sayuran dan banyak cerita yang membuat Aku mual. Diam-diam aku mulai mencampurkan sebotol Topi Miring dengan ganja Aceh dalam dadaku.


Inilah ketidakadilan. Mentang-mentang Kamu dan Dia telah menolongku, lantas kalian bisa dengan tanpa dosa menghirup candu bersama di depanku. Kalian diam saja saat tak ada lagi suara orang mencacah sayuran dan menggoreng ikan di dapur. Kalian termangu bisu padahal pelanggan setia kita berubah jadi lalat-lalat hijau dan laba-laba tua. Baiklah, aku telah punya satu rencana besar untuk membangunkan kalian dari tidur panjang berlendir ini. Kubelikan lima botol anggur lengkap dengan shisha Kairo kegemaran kalian. Tatkala mata itu tak sanggup lagi mengerjap dan hanya melihat satu dua pendar cahaya, warteg busuk ini akan kubakar, kubakar, kubakar!

Namun kebakaran terlalu mencolok. Binasa mereka harus berakhir rapi dan wangi. Seperti melati tujuh tangkai yang dipetik pukul empat pagi. Lalu bagaimana caranya? Aku berpikir keras. Ya, satu ide gemilang datang. Pertama aku akan mengadu domba mereka terlebih dulu. Aku akan bilang ke Dia kalau Kamu kemarin sedang bercumbu bersama Rusmini, pembantu Pak Rajiman, di perempatan jalan saat malam sudah begitu larut. Kepada Kamu aku akan bilang, Dia menggandeng tangan Agus, tukang bakso yang selalu necis, waktu sama-sama jalan ke pasar. Jika ini berhasil, niscaya aku akan semakin mudah membuat mereka lenyap.

Tai kucing! Botol bir mengayun keras mengahantam pelipisku. Tidak satu, tapi dua botol, dari dua orang berbeda. Aku jadi tak bisa melanjutkan cerpen ini. Huruf-huruf di keyboard mendadak buram. Sial! Ternyata dari tadi Kamu dan Dia membaca cerpen ini dari belakang. Mataku mengeriyip, lidahku mendesis perih, mencoba mencari pisau lipat yang kusimpan dalam laci. Setelah berhasil kugenggam aku membabi buta menyerang Kamu dan Dia. Tapi tak pernah tepat sasaran. Kamu dan Dia tersenyum mengejek, lalu tertawa, tertawa terbahak, tergelak.

Ponorogo-Jakarta, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar