Sabtu, 04 Februari 2012

Mudik

“Tahun ini kamu mudik tidak, Yah?”

“Belum tahu, Mbok Nem.”

“Lho kok belum tahu gimana tho? Lebaran tinggal sepuluh hari lagi lho.”

“Ya tergantung Pak Ahmadi, majikanku. Kalau dapat izin mudik ya mudik.”

“Kalau Pak Ahmadi itu orangnya baik dan pengertian pasti kamu boleh mudik,” Mbok Yem  mendengus, matanya menarawang,”Aku mungkin tidak bisa mudik tahun ini, Yah.”

“Memangnya kenapa, Mbok.”

“Kata Pak Udin, majikanku yang galak itu, istrinya tidak bisa pulang lebaran tahun ini. Sedang sibuk mengurusi bisnis kerajinan kulit ular di Malaysia katanya. Jadi aku ndak boleh mudik. Nanti tidak ada yang ngurus rumah, tidak ada yang masak. Tapi Pak Udin janji menaikkan gajiku dua kali lipat kalau aku tidak mudik.”

“Bukannya gaji makin naik itu enak, Mbok?”

“Ya ndak juga, Yah. Aku masih ingat kata ustadz waktu pengajian di masjid kemarin. Ustadz bilang kebahagiaan orang yang berpuasa adalah ketika berbuka. Nah, menurutku kebahagiaan orang yang berlebaran adalah berkumpulnya mereka dengan sanak saudara, dengan keluarga.”

“Weleh-weleh, Mbok Yem pinter sekarang.”

“Halah. Pinter dari Hongkong? Cuma ngomong gitu aja dibilang pinter.” Mbok Yem sebenarnya tersipu sembari berkata demikian, pipinya memerah.

“Eh, Mbok, istrinya Bu Udin itu kok segitunya ya? Demi urusan bisnis sampai rela ndak pulang lebaran.”

Mbok Yem meraih pergelangan tangan Sutiyah. Mendekatkan muka ke telinga, lalu tangan kiri membentuk huruf C dirapatkan ke pipi kiri, hendak berbisik pada Sutiyah.

“Ssst…jangan bilang-bilang ya, sebenarnya Pak Udin dan Bu Udin sudah tidak akur lagi! Kalau tidak salah mereka malah sedang mengurus proses cerai.”

“Hush, Mbok Yem ini lho, puasa-puasa ngomongin orang. Ndak baik, Mbok.”

“Eh, iya ya. Astagfirullah.”

“Ya sudah, ayo pulang bareng. Belanjanya sudah kan?”

“Belum, satu lagi. Aku mau beli ayam.”

“Memang mau masak apa, Mbok, buat buka nanti?”

“Opor ayam. Kamu?”

“Sayur asem.”

Baru saja masuk rumah hendak menaruh barang belaanjaan, sekonyong-konyong Pak Udin datang dengan wajah bersungut-sungut.

“Dari mana saja, Mbok? Ke pasar saja lama banget. Pasti mampir-mampir dulu! Rumah masih berantakan jangan pergi-pergi!”

“Iya, Pak. Maaf.”

Ini bukan kali pertama bagi Mbok Yem. Pak Udin marah untuk urusan sepele. Jika boleh memilih ia ingin berhenti jadi pembantu. Menikmati masa tua di desanya yang tenang. Namun, bagaimanapun, almarhum suaminya meninggalkan hutang yang rasa-rasanya sulit terbayar meski Mbok Yem berkerja sepanjang umur. Hutang yang membuat Mbok Yem merasa berat hati setiap kali membayarnya tiap bulan. Hutang kalah judi!

Mbok Yem berusaha menyisakan sedikit ruang untuk suaminya di hatinya. Sesosok laki-laki yang pertama kali datang melamarnya serupa malaikat penjaga yang akan setia melindungi dengan sayapnya. Setidaknya, harapan Mbok Yem terkabul hingga usia pernikahannya memasuki usia kepala dua. Entah bagaimana, justru di usia yang kian uzur itu, suaminya menampakkan watak bengisnya. Judi. Mabuk. Judi. Mabuk. Hari-hari suaminya tak pernah lepas dari dua hal itu. Lama-lama si suami juga ringan tangan, gemar menampar dan menggampar.

Manakala suaminya tewas di tangan teman-teman judinya yang mabuk berat, air mata Mbok Yem memang menganak sungai. Pun begitu ada kelagaan dalam hatinya, ada ganjalan berat yang tiba-tiba sirna.

Lalu siapa lagi yang akan melunasi hutang-hutang suaminya jika bukan dirinya? Ditakdirkan menjadi mandul ia terima dengan sepenuh penerimaan. Maka menjadi pembantu juga pilihan yang harus dihayati sebenar penghayatan.

“Mbok, baju batikku yang warna hijau belum disetrika ya?”

Buyarlah lamunan Mbok Yem tentang masa lalunya.

“Belum, Pak.”

“Gimana tho? Kan sudah aku bilang, jam 10 aku ada rapat koperasi. Cepat setrika!” Mbok Yem hanya bisa mengangguk pasrah. Pak Udin kemudian berlalu begitu saja.

Selepas sholat tarawih, Mbok Yem kembali bertemu Sutiyah di masjid. Mereka kini duduk di serambi masjid. Menikmati malam sembari mendengarkan suara tadarusan dari dalam masjid.

“Kok ndak langsung pulang, Mbok? Nanti dicariin Pak Udin lho.”

“Pak Udin lagi keluar, Yah. Beli baju lebaran sama anaknya.”

“Enak ya orang kota. Setiap lebaran baju pasti baru. Kalau ndak baru gengsi katanya.”

Mbok Yem tersenyum simpul. Sutiyah menatap Mbok Yem lalu ikut tersenyum.

“Waktu kecil dulu aku ndak pernah beli baju baru kalau lebaran begini, Yah. Dulu buat makan aja sulit sekali rasanya. Padahal sawah banyak di sekitar rumahku. Ya begini nasib orang bodoh, selalu diakali tengkulak.”

“Aku juga baru beli bisa baju baru setiap lebaran semenjak jadi pembantu di rumah Pak Ahmadi ini kok, Mbok. Alhamdulillah Pak Ahmadi itu baik. Setiap lebaran aku dibelikan kain. Mas Hasan, anaknya Pak Ahmadi yang mahasiswa itu malah pernah beliin aku baju mahal yang bagus banget. Lagi banyak rezeki katanya.”

“Enak betul kamu, Yah. Emm…aku sebenarnya heran, siapa ya yang menciptakan budaya harus beli baju baru kalau lebaran?” Mbok Yem geleng-geleng.

“Ndak tahu lah, Mbok.”

“Eh, aku pulang dulu ya. Itu mobil Pak Udin sudah lewat. Sudah pulang dia.”

Sementara Mbok Yem buru-buru pulang, Sutiyah masih terpekur di serambi masjid. Ia mengenang masa lalunya di desa. Hamparan sawah tempat ia mencari belut. Sungai tempat ia mandi. Hutan kecil tempat mencari kayu bakar. Dan selaksa kenangan bersama Purnomo, kekasih yang berusaha ia lupakan. Bukan apa-apa Purnomo pernah ingin memperkosanya sepulang nonton wayang kulit di balai desa.

“Jangan mentang-mentang aku anak sinden terus kamu bisa seenaknya begitu sama aku.!” Gelegar suara Sutiyah bak auman singa betina. Tangan kanannya menempeleng pipi Purnomo. Melihat merah mata Sutiyah Purnomo bergidik juga.

Purnomo tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Malam itu Sutiyah tiba-tiba datang ke rumahnya, mengajak nonton wayang kulit. Kaos Sutiyah yang warna putih itu ketat sekali memang. Entah lupa atau bagaimana ia tidak mengenakan jaket atau baju pengurang rasa dingin lainnya. Kontan saja sepanajang perjalanan Purnomo curi-curi pandang. Jantung berdegup cepat dan darahnya memanas. Tubuh anak kelas tiga SMP yang sedang tumbuh di sampingnya itu sesekali menggigil oleh dingin angin malam. Purnomo kasak-kusuk. Dipikirnya ia bisa menjadi penghangat bagi Sutiyah yang tak berjaket malam itu. Sayang, ia salah duga. Ia memang mendapat kehenagatan, tapi hanya di pipi, lewat tamparan Sutiyah. Dan Sutiyah minta putus malam itu juga.

Meski menyimpan kenangan buruk, tahun ini ingin sebenarnya Sutiyah pulang menjenguk desanya barang beberapa hari. Sekedar tombo kangen. Lebaran kemarin ia tidak pulang. Pak Ahmadi kedatangan tiga adiknya yang dari luar kota. Rumah riuh dan sibuk. Maka Sutiyah tidak diizinkan pulang. Gajinya memang dilipatkan. Akan tetapi ia berusaha keras menyembunyikan rindu dalam dada.

Pagi ketika menyapu halaman, Sutiyah bersua dengan Mbok Yem yang sedang memotong rumput. Rumah Pak Udin dan Pak Ahmadi hanya berjarak dua rumah. Melihat mata Mbok Yem sembab Sutiyah penarasaran.

“Mbok Yem habis menangis? Ada apa, Mbok.”

“Aku sudah pasti tidak mudik tahun ini, Yah. Ketika aku coba minta izin lagi Pak Udin melarang sambil membentak. Padahal aku dapat kabar ibuku yang sudah tua itu sakit keras. Di sana tidak ada yang jaga.”

Mbok Yem menitikkan air mata. Tapi buru-buru diusapnya. Sutiyah cepat menenangkan Mbok Yem. Di rangkulnya rekan seprofesinya itu.

“Kita berdoa saja, Mbok. Semoga ibumu cepat sembuh. Nanti aku temani Mbok Yem di sini. Lebaran tahun ini aku juga tidak mudik kok.”

“Lho? Memangnya kamu dilarang mudik juga sama Pak Ahmadi?”

“Bukan begitu, Mbok. Aku malu pulang ke desa.”

“Malu kenapa?”

Tiba-tiba wajah Sutiyah berubah sendu. Matanya berkaca kaca. Satu-persatu gerimis di matanya menderas.

“Lho-lho kok nangis. Ada apa tho, Yah.” Mbok Yem kelabakan.

“A…aku me..mengandung anak Mas Hasan, Mbok.” Lirih dan getir Sutiyah berucap.

“Mas Hasan anaknya Pak Ahmadi itu?!” Keterkejutan Mbok Yem tak bisa disembunyikan.

“Iya, Mbok. Sudah dua bulan. Salahku sendiri memang. Aku selalu tak bisa menolak kalau malam-malam Mas Hasan mendatangi kamarku. Aku takut, Mbok. Aku malu pulang ke desa…”

Tangis Sutiyah seperti tertahan. Nafasnya tersengal. Mbok Yem memeluknya erat. Ikut menangis sesenggukan.

“Duh Gusti…Nasibe wong cilik!”

Ponorogo, Agustus 2010

                                                                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar