Kamis, 05 Januari 2012

Gerimis yang Liris

Lelaki itu bersikeras mengatur ritme degup jantungnya yang tak teratur. Ia tidak pernah merasa segugup ini sebelumnya. Halaman parkir restoran Griya Dahar seperti sepetak tanah dengan medan perang di depannya. Ya, peperangan tanpa darah dan senjata, tanpa dendam dan permusuhan. Untuk kesekian kali lelaki itu mengusap keringat di dahinya. Ketika memasuki restoran ia makin gemetar. Jangan-jangan ia datang lebih dulu, pikirnya. Jika benar begitu, berarti dia telah menunggu, dan membuat perempuan menunggu adalah tindakan lelaki bodoh, lelaki malang itu mengutuk dirinya dengan alasan tak jelas. Bagaimanapun pertemuan nanti adalah pertemuan pertama setelah ia dan perempuan itu berpisah sekian lama. Sebuah perpisahan yang sejatinya sama sekali tak ia inginkan.

“Siang ini pesawatku sampai Solo,” kata lelaki itu pada si perempuan lewat telepon pagi itu.

“Memangnya kau tidak masuk kerja?”

“Aku ambil cuti. Sepertinya aku butuh waktu rehat yang panjang.”

“Apakah kau ingin jalan-jalan keliling Solo? Sedikit bernostalgia mungkin.”

“Barangkali begitu. Tapi...sebenarnya aku hanya ingin bertemu denganmu.”

“Benarkah?”

“Ya, tiba-tiba saja aku ingin bertemu denganmu.”

“Kanapa begitu?”

“Aku tidak tahu. Aku bahkan tak punya alasan.”

“Kangen?”

“Tidak jelas. Tapi rasanya mirip seperti itu.”

“Ha-ha-ha. Baiklah. Mungkin kita bisa bertemu setelah aku pulang kerja, sekitar pukul lima.”

“Tidak masalah. Bagaimana jika kita bertemu di Griya Dahar?”

“Tempat itu lagi?”

“Kenapa? Tidak suka?”

“Bukan begitu. Hanya saja, bukankah tempat itu cuma menyisakan kenangan pahit bagi kita? Kita pernah dua kali bertengkar di sana!”

“Justru itu. Aku ingin membuat kenangan manis di sana.”

“Em...Oke. Jika itu maumu. Aku ikut saja. Toh aku juga tak punya referensi tempat lain.”

“Benar kau tidak keberatan?”

“Tidak.”

“Terima kasih. Sampai jumpa nanti sore.”

“Ya. Sampai jumpa. Persiapkan sesuatunya serapi mungkin. Kau sering lupa dengan dompet dan hapemu.”

Telepon ditutup dan lelaki itu seketika terdiam. Setelah sekian tahun berpisah perempuan itu masih ingat jika ia kerap lupa dengan dompet dan hapenya. Pernah suatu hari, saat mereka masih suami istri, si lelaki teledor tidak membawa hape ketika menjemput si perempuan. Ketika masih di rumah lelaki itu mendapat SMS bahwa si perempuan akan menunggu di kedai kopi depan kantornya. Tentu saja lelaki itu bergegas menuju kedai kopi yang dimaksud. Nahas. Lantaran hapenya tertinggal ia tidak tahu jika perempuan itu menelepon dan berkirim SMS yang mengatakan bahwa ia tak jadi menunggu di kedai kopi, melainkan di mall samping kantornya. Sekalian ingin ia ajak suaminya belanja kebutuhan bulanan.

Oleh karena tidak mendapati perempuan itu di kedai kopi dan karena telah menunggu terlalu lama, lelaki itu pulang dan menggerutu sepanjang jalan pulang. Ternyata, istrinya telah sampai rumah. Ngomel-ngomel tak keruan. Lelaki yang sudah panas lebih dulu mendapati istrinya begitu kontan kian membara. Pertengkaran sengit tak terelakkan. Pertengkaran gara-gara hal sepele. Sayangnya itu terjadi berkali-kali.  

**

Sudah pukul lima kurang lima menit. Lelaki itu menuju pendopo tempat kursi dan meja makan. Kelak ia akan begitu susah melupakan tempat itu. Kursi yang unik, lampu yang eksotis, suasana Jawa masa lalu, dan kolam ikan kecil di tepian pendopo, di mana lampu yang eksotis tercermin di sana. Ia memanggil pelayan dan memesan coklat panas. Sekadar menenangkan diri dari rasa gugup. Sambil menunggu lelaki itu memandangi dapur di seberang pendopo yang ditata seperti warung-warung jadul di kampung. Ah, semua belum berubah, masih seperti dulu, lirihnya. Lalu ia pandangi gerobak es kuno bergambar dakocan hitam di antara dapur dan pendopo. Benar-benar belum berubah, ujarnya pelan.

Sudah pukul lima lewat. Perempuan itu belum tampak batang hidungnya. Di hadapan lelaki itu terhidang coklat panas. Setelah menunggu beberapa saat lelaki itu menyeruput coklatnya beberapa kali. Rasa gusarnya belum sepenuhnya hilang. Ia mengetukkan jari di meja dengan irama yang tak teratur. Dulu, ia merasa nyaman tiap kali duduk di kursi menjalin itu. Merasai nuansa hangat interior yang didominasi dari kayu daur ulang, bata merah dan batu alam. Unsur kayu dan gaya Jawa membuat ia merasa ada di Solo di zaman lampau.  Padu dan syahdu.

“Maaf aku datang terlambat,” tiba-tiba perempuan itu hadir di hadapan lelaki dan berujar dengan ketenangan yang terukur. Meski menampakkan rasa bersalah ia tak memohon sedemikian rupa untuk dimaafkan. Tak ada citra rengek kekanakan sama sekali.

“Oh, kau sudah datang rupanya. Aku tidak melihatmu tadi.”

Si perempuan tidak menjawab tapi malah tersenyum. Masih sama seperti dulu, senyumnya tetap manis, tetap dengan lesung pipit yang menggoda, kata hati si lelaki.

“Kau sudah lama menunggu?”

“Baru sepuluh menit.”

“Bagaimana kabarmu? Kau sehat, bukan?”

“Ya, sebagaimana kau lihat.”

“Penerbanganmu lancar?”

“Lancar, hanya saja tadi sedikit terlambat. Tapi tak mengapa. Bukankah itu sudah jadi ciri khas penerbangan kita?”

“He-he-he. Bisa saja kau ini.”

Lalu diam. Mereka seperti tiba-tiba kehilangan bahan pembicaraan. Setelah lama tidak bertemu, semua menjadi kaku. Mereka berusaha membuatnya cair tapi belum sepenuhnya berhasil. Kalaupun ada percakapan semuanya hanya basa-basi.

“Kau masih sering ke sini?”

“Sudah tidak lagi sejak terakhir kita ke sini.”

“Kau kangen Garang Asem Bambu tidak?”

“Hmmm...lumayan.”

“Bagaimana jika kita memesan Garang Asem Bambu. Seperti dulu.  Bukankah itu makanan favorit kita, yang hampir selalu kita pesan tiap kali ke sini?”

“Ya, itu dulu.”

“Aku pesan dua ya?”

“Sepakat.”

Keduanya kembali diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Namun kali ini perempuan itu mengawali percakapan.

“Kau masih bekerja di penerbit buku itu?”

“Ya, begitulah. Aku mencintai pekerjaan itu. Meski kadang aku merasa begitu tertekan oleh deadline demi deadline.”

“Kau tidak berubah: terlalu cinta dengan pekerjaan.”

“Ya, dan barangkali itu yang membuatmu meninggalkanku.”

“Sudah jangan diungkit-ungkit lagi masalah itu, yang sudah biarlah sudah.”

“Kau tahu, sejak kita berpisah aku masih suka mengingatmu jika aku kesepian. Kau juga kerap masuk di mimpi-mimpiku.”

“Ha-ha-ha. Kau merayuku seperti zaman kita pacaran dulu.”

“Aku tidak sedang merayu, aku sedang jujur padamu.”

“Sudahlah, kau tentu sudah punya calon, bukan?”

“Calon? Calon istri maksudmu?”

“Iya.”

“He-he-he. Aku masih sendiri sampai sekarang. Kan sudah aku bilang aku masih suka mengingatmu jika aku kesepian. Itu artinya aku...”

Belum sempat lelaki itu meneruskan perkataannya pelayan datang dengan dua Garang Asem Bambu dan Es Seger Puol. Dua-duanya adalah menu andalan restoran Griya Dahar. Garang Asem Bambu unik karena disajikan dalam bambu dengan dialasi daun pisang di dalamnya. Mereka amat menggemari olahan ayam dengan rempah, blimbing wuluh dan santan ini. Adapun  nasi disajikan dalam bentuk tumpeng kecil, bagian atasnya dibungkus daun pisang. Di sekitar tumpeng kecil itu terdapat lalapan, sambel, tahu tempe dan kerupuk. Sedang Es Seger Puol adalah campuran irisan buah segar, jeli dan susu, yang disajikan dengan jus sirsak. Melihat dua hidangan itu seketika terpanggil kenangan keduanya ketika masih bersama. 

“Aku tiba-tiba teringat tahun-tahun yang telah lewat,” ujar si perempuan.

“Nah, kau pun masih sulit untuk melupakan kenangan kita.”

“Aku mengenang kalau kita pernah bertengkar dua kali di sini.”

“Ssst...tak perlu dibahas lagi, kita di sini untuk memperbaiki kenangan, jadi mari membicarakan yang baik-baik saja. Eh, ngomong-ngomong kenalin aku dengan pacarmu yang sekarang dong.”

“Pacar? Idih, sorry ya, i’m single and very happy!” tukas si perempuan menirukan sebuah lirik lagu.

“Ah, mana mungkin kau masih sendiri.”

“Kalau aku sudah dengan yang lain tentu aku tak di sini menemuimu.”

Seperti permainan catur, lelaki itu serasa diskak mat. Benar juga, dia tentu tak akan menemuiku jika sudah dengan yang lain, bisik hati lelaki itu. Perempuan itu tersipu, merasa menang dan meneruskan menikmati Garang Asem Bambu. Lelaki itu pun begitu, merasa kalah dan melanjutkan makan.

Mereka telah selesai bersantap. Sesaat mereka saling pandang. Lalu tertawa bersama. Sungguh, ketika posisi mereka bukan siapa-siapa lagi, kecuali sebagai orang yang pernah jadi suami istri, mereka masih sedikit canggung.

“Oh iya, tadi di telepon kau bilang, ingin membuat kenangan manis di sini.”

“Ya, memang begitu, tapi mungkin aku terlalu tergesa menyebutnya kenangan manis. Manis atau tidak semua tergantung padamu.”

“Aku? Kenapa begitu?”

“Hmmf...begini, sebenarnya... aku ingin memintamu jadi istriku lagi.”

Perempuan itu, dengan tenang, menatap si lelaki. Ia mekarkan senyum. Tampak lesung pipitnya.

“Kau yakin dengan kata-katamu?”

“Seyakin ketika aku memutuskan datang dari Jakarta ke Solo untuk menemuimu.”

“Aku tidak pernah menyangka kau akan mengatakan ini sebelumnya. Pernikahan kita pernah gagal. Apakah tidak sebaiknya kau mencari perempuan lain?”

“Aku punya banyak rekan kerja perempuan, tapi tak ada yang menarik hatiku. Kau tahu aku menyukai perempuan yang cerdas dan cakap, itu baru kutemui di dirimu.”

“He-he-he, kau mencoba merayuku lagi-lagi. Kau tahu, sejujurnya aku menikmati kesendirianku ini. Hidup mandiri dan bebas.”

“Apakah itu artinya kau tak menerimaku kembali?”

“Bagaimana ya? Ha-ha-ha. Jangan mendesakku untuk segera memberi jawaban, beri aku waktu barang tiga atau empat hari. Menikah bukan perkara gampang, bukan?”

“Baiklah, aku akan bersabar menunggu jawabanmu.”

Setelah merasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi keduanya meninggalkan restoran Griya Dahar. Lelaki itu lantas memanggil taksi dan mengantarkan mantan istrinya itu pulang ke apartemen. Mereka masuk taksi tepat ketika gerimis turun. Sebuah gerimis di suatu sore.  Dalam taksi keduanya tak banyak bicara. Si lelaki teringat istrinya di Jakarta yang sedari tadi mengirim SMS dan tak dibalasnya. Dan si perempuan berharap suaminya tidak sedang di luar apartemen sehingga melihatnya sedang bersama mantan suaminya.

Gerimis sore hari mengantar dua dusta menuju senja yang tak begitu jingga. 

Cirendeu, April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar