Senin, 02 Januari 2012

Senja yang Temaram

Aku menuju Sawangan ketika hari masih terlalu pagi. Di sekitar, ada angin lirih, udara basah dan langit terang. Juga ada gundah di hati. Semacam rasa galau yang tak selasai. Sesuatu yang menguras pikiran dan tetes-tetes air mata. Tapi bagaimanapun aku harus fokus membawa motor, jika tidak mau terjadi hal buruk di jalanan Ciputat-Sawangan. Meski kadang aku tiba-tiba merasa gamang dan pikiranku kemana-mana, seperti terlepas ruh dari raga. Kiri kanan yang kupandang sesaat menjadi kelabu. Mendadak aku khawatir dengan kesalamatanku sendiri.

Motor kukendarai sangat perlahan dan pada akhirnya aku sampai di empang sekaligus pemancingan umum milik Bang Pacun, di pinggiran Sawangan. Telaga Biru nama pemancingan itu. Siapa Bang Pacun sebaiknya kuceritakan di awal. Ia adalah alasan kenapa aku kemudian bergabung di organisasi pergerakan mahasiswa. Cerita yang senantiasa berkembang dari mulut ke mulut dan turun temurun dari senior ke junior adalah bahwa Bang Pacun, di semester 4 pernah datang ke ruang dekan lalu tanpa ba bi bu membakar jaket almamaternya, bentuk protes atas demonstrasi yang tidak direspon berkaitan dengan dugaan korupsi di dekanat. Atas kelakuannya itu ia diganjar skorsing satu semester. Ia tanggapi skorsing itu dengan senyum lebar. Lantas ia berujar: skorsing ini adalah awal pergerakan yang lebih berkobar! Benar saja, hari berikutnya gelombang massa datang jauh lebih besar. Mereka menduduki fakultas. Beberapa hari kemudian dekan mundur.

Kisah heroik Bang Pacun tidak berhenti di situ. Siapa pun tahu, jika kampus saya yang di Ciputat itu hawa perpolitikannya cukup panas. Jika masuk waktu Pemira, pemilu raya kampus, suasananya sudah seperti Pilkada. Banner dan pamflet bertebaran, buletin siluman bermunculan. Lobi politik sana-sini, propaganda datang silih berganti. Posisi politik Bang Pacun di fakultas sangat tidak menguntungkan. Ia bergerak bersama kelompok minoritas. Sementara fakultas selama ini ada dibawah kuasa satu kelompok besar yang langgeng. BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) abadi di genggaman mereka. Memang, atas nama demokrasi mereka menjanjikan jika menang di Pemira, orang-orang di luar partai mereka akan diajak mengurus BEM. Namun, atas nama kenyataan, itu tak pernah terjadi.

Sejarah perpolitikan di fakultas ketika itu mencatat dengan tinta emas bagaimana kelompok minoritas bisa memenangi Pemira. Tak lain, aktor politik kala itu adalah Bang Pacun. Ia memberi nama perubahan yang membangggakan itu dengan nama Revolusi Gorengan. Aneh memang. Tapi begitulah kenyataan bicara. Jadi, ceritanya, Bang Pacun jualan gorengan untuk membiayai kuliahnya. Ia memang citra mahasiswa mandiri. Ia menaruh kotak gorengan di tiap-tiap kelas. Saban sore ia harus menemui penanggung jawab gorengan perkelas untuk mengambil uang hasil jualan. Dari sana ia mulai dikenal banyak mahasiswa. Terlebih ia sering menggratiskan gorengan sisa di sore hari.

Berbekal popularitas dan retorika yang bagus ia dicalonkan untuk jadi ketua BEM Fakultas oleh partai minoritas. Adapun BEM incumbent melihat naiknya Bang Pacun jadi ketua BEM ini sebagai ancaman yang nyata. Mereka sadar lawannya kali ini adalah orang yang cukup berpengaruh, populer dan berisi. Maka terwujudlah apa yang selama ini diidamkan organisasi minoritas itu, salah satu kader mereka jadi Ketua BEM Fakultas. Sayang, itu hanya terjadi sekali. Tahun-tahun berikutnya kuasa kembali dipegang kelompok besar. Atas kekalahan politik yang diderita tahun-tahun berikutnya itu Bang Pacun berkomentar: makanya, salah satu dari kalian harus ada yang jadi tukang gorengan kalau mau menang.

Kami tersenyum kecut mendengar selorohnya itu.

Kekaguman berikutnya pada Bang Pacun adalah perhatiannya yang besar pada anak-anak jalanan. Tak aneh jika kemudian ia lebih sering ditemui di kolong-kolong jembatan daerah Pasar Minggu, Tanah Abang, Senen, Jatinegara dan tempat-tempat lain, kantong-kantong anak jalanan. Ia kuliah sembari jadi relawan mengurus anak jalanan. Pernah ia berkelahi dengan pengurus masjid sampai hidungnya berdarah lantaran anak jalanan dilarang untuk sholat di masjid.  Kata pengurus masjid, anak jalanan ke masjid pasti mau maling sandal. Bang Pacun tidak terima itu. Adu mulut tak dielakkan. Pengurus masjid naik pitam. Satu tonjokan menghantam hidung Bang Pacun. Tapi ia tak membalas. Hanya berkata: sebenarnya inilah yang mempersulit jalanmu ke surga, kawan, belajarlah lagi kesalehan ritual dan kesalehan sosial.

Begitulah Bang Pacun. Sosok yang kini berdiri di hadapanku dengan celana pendek serta kaos buntung habis mengurus empang. Pilihan mengelola empang ini ia lakukan setelah ia menolak tawaran untuk masuk di Depatemen Sosial.

Masih belepotan lumpur, sekonyong-konyong ia menghampiri dan langsung memelukku.

“Kemana saja selama ini? Kangen betul aku!”  

“Maaf, Bang. Kegiatan lain membuatku jadi jarang sowan. Tapi aku belum lupa kok jalan ke sini.”

“Hahaha. Ya sudah, ayo kita ke saung. Kau masih suka kopi item tanpa gula kan?”

“Tentu saja, Bang. Apalagi kalau ada singkong goreng. Tambah mantab itu. Hehe.”

“Tenang. Di tempatku stok singkong tak pernah kosong. ”

Sementara Bang Pacun ke dapur aku duduk di tepian saung, menyapukan pandang ke sekitar empang. Hari Minggu begini cukup banyak pemancing. Kulihat ada lima orang di kolam mujair, tiga orang di kolam bawal. Selembar daun jatuh di empang yang paling luas, berputar mengikuti pusaran air. Suara angin terdengar seperti desah yang lirih. Di areal seluas 1 hektar dengan pepohonan rimbun di mana-mana, menghirup udara menjadi sebuah anugrah. Lega di rongga dada. Kontras dengan udara di Ciputat. Harus diakui, Sawangan ralatif masih teduh dan adem. Lebih-lebih di pinggiran Sawangan seperti di empang Bang Pacun. Inilah tempat sempurna untuk mengistirahatkan diri, melupakan masalah dan menulis puisi.

Ada suara kecipak ikan dari kolam di bawah saung ini. Di kejauhan kulihat seorang pemancing menyentakkan joran pancing. Ikan bawal ukuran sedang menggelepar di ujung benang pancing. Tampak menggairahkan. Kubayangkan jika ikan itu dibakar. Disantap dengan sambal kecap dan lalap. Ah, nafsu makanku langsung terbit. Namun jika teringat akan dia dan kejadian itu mendadak aku jadi tak punya nafsu makan.

“Bagaimana kabar kampus? Apa kau masih diajar dosen-dosen yang tak berkualitas itu? Yang diangkat jadi dosen karena berkawan akrab dengan orang dekanat.” Bang Pacun datang dengan dua cangkir kopi dan sepiring singkong goreng.

“Hahaha. Sekarang sudah agak mendingan, Bang. Orang-orang kita beberapa juga sudah ada yang jadi dosen. Seperti Kang Heryanto dan Teh Rina, senior 2001 dan 2002. Sudah barang pasti orang kita diangkat karena memang kompeten dan bukan karena faktor kedekatan.”

“Bagus lah. Aku tahu jejak rekam Heryanto dan Rina. Mereka memang tipe akademis organisatoris yang tekun. Loyalis sekaligus idealis.”

Aku dan Bang Pacun menikmati singkong goreng dan kopi di saung tepi empang. Kesiur angin pagi membasuh kulit. Daun-daun menari. Matahari perlahan meninggi. Air coklat di empang yang luas seperti sehamparan susu coklat bikinan ibu di rumah. Ada cericit burung di reranting pohon. Aku baru tersadar jika pagi ini begitu mendamaikan.

Di tanah rantau ini aku tak punya saudara. Hanya saja teman-teman di kelas, di organisasi dan di komunitas lekas jadi saudara karena kedekatan emosional yang cepat terbentuk. Begitu pun dengan Bang Pacun, seniorku di organisasi pergerakan itu sudah seperti abangku sendiri. Tak aneh jika ada masalah aku kerap lari kepadanya. Selain memang empang sekaligus pemancingan yang dimilikinya ini selalu menawarkan rasa tentram yang penuh.

“Bang, sebenarnya aku ke sini sedang ada masalah.”

“Ada apa lagi? Kau kehabisan uang? Masalah kampus? Atau masalah cewek?”

“Yang ketiga, Bang. Masalah cewek.”

“Hahaha. Kau ini masih saja begitu. Kalau orasi saja berapi-api, tapi sama cewek keok.”

“Begitulah, Bang. Wanita itu memang racun dunia. Hehe.”

“Memang kau sedang berhubungan dengan siapa?”

“Belum berhubungan, Bang. Baru mau memulai. Sama Nadia. Tapi saya merasa sudah ditolak sebelum menembak.”

“Haha. Eh, Nadia yang kau maksud yang bendahara umum itu? Yang satu tingkat di bawah kau?”

“Iya, Bang. Sudah dekat sakali aku sama dia. Eh, mendadak dia acuh tak acuh dan agak pendiam, justru ketika aku tak bisa membohongi perasaanku padanya.”

“Ah, anak muda yang galau,” Bang Pacun diam sebentar, mengambil nafas panjang, lantas berkata,  “sepertinya kau belum dengar satu kabar rupanya. Kabar ini memang baru beredar di kalangan senior. Tapi kau harus tahu. Soalnya ini berkaitan juga dengan Nadia.”

“Memang ada kabar apa?”

“Begini, kau pasti tahu kasus suap wisma atlet, ternyata ayah Nadia tersangkut juga kasus itu. Meski saat ini belum tampak di permukaan. Konon ayahnya sekarang ada di luar negeri. Jadi jangan aneh jika Nadia akhir-akhir ini tampak murung dan jarang kelihatan di kampus. Sinyal-sinyal yang kau kirimkan juga tidak bakal diterima dengan sempurna olehnya. Membicarakan cinta saat ayah tersandung korupsi buka sesuatu yang tepat.”

Aku tertegun dan tak percaya atas penjelasan yang disampaikan Bang Pacun. Wajahku pias dan tak dapat berkata-kata.

“Sudah, begini saja, kalau kau memang dekat dengan Nadia, berikan dia support. Kuatkan dia. Oya, aku tinggal dulu, ada pemancing yang mau menimbang ikan. Tenangkan dulu pikiranmu di sini. Sebentar lagi kita makan siang, kau tentu masih ingat rasa bawal bakar madu bikinanku kan? Hehehe.”

Aku hanya tersenyum dan mengangguk lemah. Kurasa aku seperti orang kurang darah. Lemas sekujur badan. Aku rebah di tikar pandan. Tapi bangun lagi. Kuseruput kopi. Rasa pahitnya kucecap. Singkong goreng tidak menerbitkan nafsu lagi, sama sekali. Aku rebah lagi. Banun lagi. Ah, Nadia.

Aku menyantap bawal bakar madu dengan malas. Ketika makan, aku dan Bang Pacun relatif tidak banyak bicara. Bang Pacun paham. Setelah makan Bang Pacun meninggalkanku sendiri di saung. Hari begitu cepat menjadi senja. Para pemancing sudah meninggalkan pemancingan. Tempat yang yang luas ini mendadak sepi. Namun masih lebih sepi ruang hatiku. Oh Tuhan, kenapa jalan hidup selalu tak tertebak begini? Andai saja Nadia tidak mempedulikanku dan tidak menangkap sinyal-sinyal dariku karena ia mencintai lelaki lain, itu tak jadi soal. Namun jika ia sedang dalam masalah lantaran ayahnya terlibat kasus suap aku jadi jatuh iba. Pantas saja sifatnya yang periang perlahan-lahan seperti hilang.

Aku terkenang pertemuan pertamaku dengan Nadia di acara penerimaan kader. Aku terkenang Nadia yang mulai dekat denganku karena sama-sama suka menulis. Aku terkenang Nadia yang mencintai senja. Nadia yang tidak berani naik kereta dan tidak suka pedas. Nadia yang betah berlama-lama di toko buku. Nadia yang bercita-cita mendirikan sekolah gratis kolong jembatan buat anak jalanan. Nadia yang...ah, sudah, sudah, sudah.

Terlukis di ufuk barat langit jingga. Bang Pacun, istri dan dua anakanya sedang bercanda di teras rumah mungilnya. Fajar dan Embun, anak-anak Bang Pacun umur 4 dan umur 6, bermanja-manja di pangkuan ibunya. Gerimis turun dan segera berubah jadi hujan. Namun hanya sebentar. Air sisa hujan menetes dari bariasan daun kelapa kering yang jadi pengganti genteng di atas saung. Aku terhisap pusaran kesunyian.
Tiba-tiba aku bergumam: sebuah senja yang temaram, meredup seperti cinta yang muram.
Di kejauhan sayup-sayup terdengar sebait lagu: aku tak bisa luluhkan hatimu, dan aku tak bisa menyentuh cintamu.

Malam ini aku akan tidur di sini, dan sepertinya akan menulis banyak puisi sepanjang malam.

Gang Jati, 21 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar