Senin, 02 Januari 2012

Lingkaran Sunyi

Dengan sejumlah uang yang dimilikinya lelaki itu bersegera mengontrak sebuah toko kecil agak jauh dari rumahnya. Hari berikutnya, dibantu seorang teman di Jakarta ia menuju Blok M, membeli buku-buku murah dalam partai besar, bakal isi tokonya. Ia tahu jika di salah satu mall di Blok M ada pasar buku murah eks pasar buku murah Kwitang. Ia juga mampir ke Pasar Senen. Tapi buku yang ia dapat di Senen tak sebanyak di Blok M. Penerbit-penerbit besar ia sambangi pula, siapa tahu ada cuci gudang, pikirnya. Ia juga hendak mendatangi penerbit buku di Bandung. Namun ia agak malas bepergian lebih jauh lagi.

Maka, dengan rambut yang tidak dicuci entah berapa hari dan baju yang juga baunya tak karuan, ia membawa buku-buku dari Jakarta ke Solo, kota asalnya, dengan mobil pick up yang berhasil disewanya dengan harga cukup miring. Sepanjang perjalanan Jakarta-Solo ia tak berhenti merokok. Di Jakarta ia memang membeli satu slop Dji Sam Soe. Hal itu tentu membuat sopir tenang, karena tak akan pernah khawatir kehabisan amunisi. Perilaku merokok tak putus-putus itu juga dilakoni si lelaki ketika menumpang kereta Senja Bengawan. Ia naik dari stasiun Purwosari dan turun di stasiun Tanah Abang. Karena si lelaki hampir tak berhenti merokok, orang di sebelahnya geleng-geleng kepala. Arti gelengan kepala itu bisa macam-macam. Bisa karena kesal, kagum dan juga kasihan. Tapi sepertinya lebih banyak yang berarti kesal.

Mobil pick up yang bermuatan buku itu sampai di depan toko kecil yang dikontrak si lelaki. Tukang becak di dekat toko diminta bantuan oleh si lelaki untuk menurunkan kardus-kardus buku. Hampir bersamaan dengan datangnya buku dari Jakarta, rak-rak buku berbahan kayu mahoni juga datang ke toko buku kecil itu. Oleh kerjanya yang tak seberapa, tukang becak merasa kaget manakala selesai bekerja masing-masing mendapat selembar uang warna merah, yang masih mulus pula. Si lelaki, segembel apapun penampilannya adalah orang berada yang royal menghamburkan uang, kadang seeperti tak berpikir dulu sebelum mengeluarkan uang.

Untungnya ia tidak membuat banyak kesalahan dan kesia-siaan ketika membelanjakan uangnya.
Semalam suntuk, sambil ditemani rokok tentunya, ia menyusun buku-buku di rak buku sendirian. Kebanyakan buku sastra. Sedikit buku agama. Hampir tidak ada buku dengan judul memakai kata cinta. Keesokan paginya, ketika semua buku tersusun, ia segera mengambil tangga lalu memasang spanduk di bagian depan toko bukunya. Tertulis di spanduk:

TOKO BUKU “REPRESENTASI PATAH HATI”
Maaf, tidak menjual buku-buku tentang cinta yang cengeng.

Sebuah pilihan nama yang kurang bermutu tinggi dan hanya keluar dari seorang yang sedang galau. Galau yang akut.

Dipandangi sebentar spanduk itu. Setelah yakin dan merasa mantab ia segera masuk toko. Menutup pintu. Merokok sebatang lalu berangkat tidur. Di toko kecil itu ada satu ruang kecil di dekat kamar mandi yang sempit. Ruang kecil itu cukup untuknya menaruh kasur lipat, lemari baju dan meja tampatnya menulis. Ia baru bangun ketika adzan isya selesai berkumandang dari masjid yang tak jauh dari toko bukunya. Dengan kepala sedikit pening dan perasaan linglung ia menuju sudut toko, menuju dispenser. Menyeduh kopi. Kemudian menyalakan tivi yang ia letakkan di kotak besi atas dispenser, siapa saja yang ingin nonton harus mendongakkan kepala. Pegal leher!

Toko buku yang menjual buku-buku murah itu ia dirikan dengan biaya sendiri. Lokasinya bagus, dekat kampus. Jadi semakin ramai manakala ia menaruh meja dan kursi di depan toko, di bawah pohon klengkeng yang rimbun. Dimaksudkan sebagai tempat ngopi dan kongkow pengunjung toko bukunya. Maka ia juga berjualan kopi, rokok dan gorengan. Oleh karena orang-orang yang ngopi bisa bertahan hingga larut malam, si lelaki memutuskan untuk buka 24 jam. Di sekitar tokonya juga ada warnet 24 jam, warteg 24 jam, minimarket 24 jam dan apotek 24 jam.  Si lelaki memang doyan melek. Kebiasaannya, setelah begadang ia baru bisa tidur sekitar pukul tujuh atau delapan pagi. Guna melayani pembeli di siang dan sore hari, ia mengajak temannya yang pengangguran untuk menjaga toko buku. Gaji temannya itu lebih besar dari pelaku pekerjaan sejenis.

Suatu hari, iseng-iseng si lelaki menghitung pemasukan tiap bulannya. Dia tertawa keras-keras manakala keuntungan jual kopi jauh lebih tinggi dari keuntungan jual buku. Ia tidak akan berpikir kenapa tidak buka warung atau kedai kopi saja dari dulu dan tidak menjual buku. Sebab tidak ada bedanya antara untung dan rugi dari ‘bisnis’ buku dan kopi ini. Si lelaki sudah terlanjur kaya. Jadi semua ini hanya pelampiasan belaka. Iseng saja. Representasi patah hati.

Ya, kalau saja tidak patah hati, maka toko buku ini tidak akan pernah ada. Si lelaki masih bisa berpikir rasional atas musibah patah hatinya itu. Ia sangat terpukul, tapi ia tidak ingin menenggak bir, memecahkan barang-barang di rumahnya atau melakukan hal-hal tidak bermanfaat lain. Si lelaki memang segera mengambil uang di tabungan. Segera mencari toko kecil yang bisa dikontrak. Segera membeli banyak buku di Jakarta. Serta tak lupa membeli beberapa slop rokok kretek. Toko buku kecil itu tempatnya bersembunyi dari kenangan. Jika di rumah ia pasti akan ingat seseorang dari masa lampau itu. Jika pindah ke kos -sesepi apapun- ia justru akan banyak melamun dan teringat lagi, terkenang kembali. Sehingga pilihan buka toko buku dan kedai kopi kecil-kecilan itu sudah benar dan sangat baik. Uang di tabungan untuk buka toko buku ini sejatinya untuk persiapannya ambil kuliah S2. Namun ia berpikiran, ada yang lebih penting untuk ditangani daripada mendaftar S2, yakni hatinya yang patah.

Hari-hari pertama banyak ia gunakan untuk promosi. Lewat Facebook, Twitter, spanduk dan pamplet. Kegiatan promosi itu menyita pikiran dan tenaganya. Si lelaki menargetkan dalam tiga bulan ke depan tidak ada mahasiswa di kampus dekat toko bukunya yang tidak tahu toko buku Representasi Patah Hati. Ia menjadi sangat sibuk dalam minggu-minggu ini. Mendadak ia jadi sangat rajin menyambangi forum-forum diskusi, seminar-seminar atau acara-acara organisasi lain. Selain memang ingin berpartisipasi tujuan utamanya adalah untuk membagikan pamplet. Promosi. Saat hasilnya mulai kelihatan ia tersenyum dan bersyukur.

***

Suatu malam yang sejuk tanpa mendung, lelaki itu ditanya oleh temannya

 “Sejujurnya, aku ingin dengar ceritamu, bagaimana kau bisa patah hati dan jadi begini?”

Si lelaki tak langsung menjawab, tapi lebih dulu menghisap rokok dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya dalam bentuk lingkaran satu per satu. Tiba-tiba ia tertawa.

“Hahaha. Kau pasti akan menertawakanku,” si lelaki menyeruput kopinya, “kau berminat mendengar ceritaku? Jadi dulu aku sempat dekat dengan seorang perempuan, teman satu jurusan. Dia tidak cantik, tapi enak dipandang. Dia tidak pintar, tapi ramah. Aku lama-lama jatuh cinta. Tapi aku tidak tergesa-gesa. Aku sangat berhati-hati sekali. Sebelum menyatakan isi hati padanya aku bertanya pada salah seorang teman dekat perempuan itu. Kutanya, apakah kira-kira aku pantas dengannya?”

“Lalu apa jawabnya?”

Lagi-lagi si lelaki tak segera menjawab. Kali ini tatapannya menerawang, seperti menjangkau sesuatu yang entah, jari tangannya memutar-mutar rokok yang masih menyala.

“Katanya, sudah lama aku kenal dengan dia, aku tahu orang seperti apa yang dianggapnya teman dan yang lebih dari itu. Maaf, sepertinya kau tidak perlu berharap banyak.”

“Maksudnya, kau diminta mengurungkan cintamu?”

“Ya, kurang lebih begitu.”

“Jadi hanya karena itu kau lantas patah hati?”

“Ya, hanya itu.”

“Gila! Kau bahkan belum menyatakan cintamu secara langsung pada perempuan yang kau taksir?!”

“Ya, begitulah.”

“Ah, payah sekali! Kau belum layak patah hati sebenarnya.”

“Hei, aku sangat pantas patah hati! Jelas aku bukan tipe lelaki yang diinginkannya. Di matanya, aku terlalu bohemian barangkali, atau tak bemasa depan, atau entahlah.”

“Kawan, dengarkan aku, kau tidak salah mengambil langkah hati-hati dalam mencintai seseorang, tapi kau tahu, kau bahkan belum mengungkapapkan cintamu langsung pada orang yang kau cintai.”

“Coba kau pikir lagi, untuk apa aku menyatakan cinta jika sudah tahu jawabannya? Itu hanya akan melukaiku, membuatku makin jatuh.”

“Jangan inferior dan pesimis. Kau tak akan tahu jawabannya sebelum kau menyatakan langsung. Percayalah!”

“Sudahlah, kawan. Aku sudah menyerah. Kini aku ingin fokus mengurus toko buku ini saja, menikmati rasa patah hati ini, menghayatinya hingga sampai akar-akar terkecil.”

“Ah, terserah kau sajalah. Semoga kau temukan lagi cintamu yang lain. Untungnya kau tak minum Baygon atau gantung diri setelah patah hati. Masih jernih juga pikiranmu. Hehe.”

Si lelaki tak menyahut. Ia menghembuskan asap rokok kuat-kuat. Keduanya lalu tenggelam dalam diam. Malam kian kelam. Ada suara lolong anjing di kejauhan.

***

Si lelaki merasa setelah patah hati ia semakin terpacu untuk berbuat banyak hal guna mengalihkan energinya, juga melupakan perempuan itu. Tiap Jumat sore ia diminta mengajar ekskul jurnalistik di sebuah SMA. Sedang saban Sabtu sore ia jadi mentor di sebuah sekolah menulis, ia mengampu kelas sastra. Sedangkan Minggu pagi ia larut dalam diskusi Penyair Sembilan Kota di Facebook. Ia nikmati itu semua. Darah kepenulisan mengalir makin deras di nadinya. Hidupnya praktis hanya untuk mengurus toko buku, menulis berdiskusi, merokok dan minum kopi. Kebutuhan utama seperti makan dan mandi jelas masih dilakukannya pula.

Hingga di suatu siang ia berujar pada temannya yang juga menjaga toko buku.

“Aku ingin makan enak dan ingin mentraktir orang. Beruntunglah kau karena kau yang kujumpai saat ini.”
Dengan wajah sumringah keduanya makan di sebuah restoran sate kambing muda. Baru saja masuk, si lelaki memekik lirih.

“Amboi, coba kau lihat kasir yang dipojok itu. mawar sekali parasnya. Seperti partai politik hari ini, aku tak perlu ideologi untuk merindukannya. Seperti Pancasila di era orde baru, ingin kujadikan dia azas tunggal di hatiku,” kata si lelaki dengan wajah berbinar.

“Nah, mulai deh, mulai lebay. Kau itu begitu cepat jatuh cinta dan begitu cepat pula patah hati.”

“Persetan dengan teorimu. Aku ada ide untuk cari muka di depannya. Begini, aku akan memesan lebih banyak sate kambing untuk dibawa pulang dan kau berlagak ingin membayarinya, tapi aku segera mencegah dan membayar semua. Itu skenarionya. Oke?”

Keduanya tersenyum penuh arti. Dijalankan skenario itu. Si lelaki segera mencegah temannya yang ingin membayar dan lekas mengeluarkan uang untuk membayari semuanya. Kasir cantik itu berdiri dari duduknya hendak memberikan uang kembalian.  Alangkah terbeliak dua pasang mata itu tatkala melihat perut si kasir cantik itu ternyata buncit. Sedang hamil!

“Terima kasih. Sering-sering datang kemari ya, Mas,” katanya sambil tersenyum lebar.

Keduanya terdiam sesaat. Semua seperti berjalan dalam gerak lambat.

“Oh, aku patah hati lagi kawan,” bisik si lelaki kepada temannya.

“Tampaknya kau akan bikin toko buku lagi. Cabang kedua. Haha.”

Si lelaki merasa telah masuk dalam sebuah lingkaran hitam: lingkaran sunyi.

Surabaya-Ponorogo, September 2011

1 komentar:

  1. Harrah's Atlantic City - Mapyro
    Harrah's Atlantic City 통영 출장마사지 is 충주 출장안마 Atlantic City's 서귀포 출장샵 most popular casino. Enjoy modern 안성 출장안마 accommodations, world-class entertainment and exciting dining at Harrah's 화성 출장안마

    BalasHapus