Kamis, 05 Januari 2012

Tamu Agung

Hari ini adalah hari kelima belas puasa. Separuh perjalanan Ramadhan telah terlampaui. Jamaah sholat subuh dan tarawih sedikit demi sedikit mulai berkurang. Sayang sekali, semangat itu hanya di awal-awal belaka. Tapi untungnya, masih ada beberapa orang yang berkenan menghidupkan Ramadhan. Berkurangnya jamaah di masjid itu serupa selembar daun yang dimakan ulat, berlubang perlahan-lahan.

Sore ini aku harus ke masjid. Bersama warga kerja bakti untuk mempersiapkan pengajian Nuzulul Quran. Kerja bakti akan dimulai selepas sholat ashar. Pak Amin, ketua RT, memberi contoh baik dengan datang terlebih dulu. Tetapi, sebelum Pak Amin, adalah Pak Bowo, ketua RW, yang ternyata datangnya lebih awal dari siapa pun.

Angin berkesiur dari kebun pisang belakang masjid. Langit sedikit tersaput mendung. Dingin sekilas melintas dan kemudian meremangkan bulu kuduk. Ada tercium bau agak amis dari empang Haji Bambang yang letaknya bersebelahan dengan kebun pisang. Warga tenggelam dalam kesibukan. Terlihat antara yang muda dan yang tua seperti tak berjarak. Semua sama singsingkan lengan baju, sama berpeluh.

Seketika, suasana ini menimbulkan keharuan di kedalaman sanubariku. Betapa kebersamaan dan gotong royong masih dijunjung. Seolah tak seorang pun tergoda untuk menjadi individualis. Dalam kebersamaan tak ada duka. Kalau pun ada yang membuat hati bersedih akan tertupi dan bahkan terobati dalam kebersamaan. Terpujilah wahai sesiapa yang menghormati dan hidup dalam kebersamaan.

“Seperti biasa, dekat lebaran begini harga-harga sembako pada naik. Pusing saya.” Pak Anto mengawali percakapan seusai kerja bakti.

“Betul, Pak. Bahkan, saya baca di koran, harga ayam naik per menit. Edan tenan itu!” Pak Yono menimpali. 
“Kira-kira siapa ya yang mainin harga seperti itu? Tidak peduli wong cilik!” Mas Abas yang mahasiswa dan selalu kritis itu melempar pertanyaan. Tetapi, pertanyaan dari Mas Abas itu tak terjawab. Sebab memang tak ada yang bisa menjawab. Dan barangkali tak ada jawabannya.

Lantas satu per satu meninggalkan masjid. Menjaga agar tidak terlalu capek. Pasalnya, nanti malam pengajian Nuzulul Quran akan diisi ulama kondang yang gemar humor. Ia favorit semua warga. Sayang jika dilewatkan dengan mata berat menahan kantuk lantaran terlalu capek di siang atau sore harinya.

***

Sambil menunggu masuknya waktu maghrib aku duduk-duduk di kursi kayu di beranda. Ada segelas coklat panas di depanku. Ayah datang menghampiri. Ikut duduk di kursi kayu depanku. Sama sepertiku, ayah juga sudah rapi dengan baju koko, peci hitam dan sarung. Bersiap berangkat ke masjid.

 “Puasa kita sudah setengah perjalanan ya, Le?” ujar ayah. Tatapannya menerawang jauh. Seperti menjangkau sesuatu yang entah.

“Iya, Pak. Nanti malam ada pengajian Nuzulul Quran. Tadi saya ikut kerja bakti bersih-bersih masjid.”

“Oh iya ya, tadi ada kerja bakti. Kok kamu ndak bangunin bapak tho, Le?”

“Saya kasihan, bapak kelihatan capek banget.”

Lalu hening. Aku dan ayah sama-sama diam untuk beberapa saat.

“Le, coba ibu sama adikmu masih ada ya. Pasti rumah tak sesepi sekarang ini,” mimik muka ayah mendadak berubah sendu. 

“Puasa tahun kemarin mereka masih ada. Tapi puasa tahun ini…” ayah menghentikan perkataannya. Seperti tak kuasa melanjutkan.

Aku ikut larut dalam kenangan yang dibangun ayah. Mengenang ibu dan Dian, adik perempuanku satu-satunya. Selalu saja ada yang mendesak dan sesakkan dada tiap mengingat musibah yang menimpa ibu dan Dian. Sekuat apa pun aku menahan duka, aku tetap tak mampu mengelakkan perih yang menyerpih dalam kerapuhan batinku.

Saat itu adalah hari terakhir puasa. Aku sekeluarga belanja baju lebaran di toko baju yang tak terlalu besar di kotaku. Masing-masing mendapat jatah dua baju. Aku dan ayah sama-sama membeli kemeja dan celana panjang, serta baju koko dan sarung untuk sholat Ied. Demikian pula dengan Dian dan ibu. Mereka membeli baju gamis kotak-kotak dan mukena baru. Dian selalu getol mengajak ibu kompak dalam membeli baju. Motif baju mereka sama kotak-kotak, hanya dibedakan warna saja. Selesai belanja dan tiba di rumah tiba-tiba terbersit di benak ibu untuk membeli bebek di pasar. Tadi kelupaan, ujarnya. Bebek goreng sambel ijo merupakan hidangan kegemaran keluarga kami. Maka, pada buka puasa terakhir, ibu ingin memasak bebek goreng sambel ijo.

Ibu dan Dian pergi ke pasar dengan motor. Awalnya ayah menyarankan untuk memasak bahan-bahan yang sudah tersedia di kulkas. Tidak perlu repot-repot membeli bebek. Tapi ibu sedikit memaksa. Katanya, uang belanja masih mencukupi untuk sedikit ‘berpesta’ di buka puasa terakhir. Dengan sorot mata yang sulit kupahami ayah mengizinkan ibu dan Dian untuk pergi ke pasar.

Rupanya, larangan ayah adalah sebuah pertanda akan sebuah musibah. Motor yang dikendarai ibu dan Dian disambar truk! Keduanya terseret sejauh lima meter. Seketika ibu dan Dian meregang nyawa. Tidak bisa diceritakan lagi seperti apa luka-luka di sekujur tubuh ibu dan Dian. Karena hanya akan membuat gigil kesedihan jadi tak berkesudahan.

Aku harus terima. Kehilangan ibu dan adikku sehari sebelum lebaran. Hari lebaran di mana seharusnya seluruh keluarga berkumpul dalam suka cita dan kebahagian. Selamat jalan ibu. Selamat jalan Dian.
Lamunan kami tentang ibu dan Dian buyar oleh kumandang adzan. Ayah beristigfar beberapa kali. Kulihat ada tetes air mata yang luruh di sudut matanya. Kutahu, ayah belum sepenuhnya bisa tegar menghadapi kehilagan ibu dan Dian.

“Ayo ke masjid, Le. Kita sama-sama sedih atas kehilangan itu. Tapi kita tak boleh larut. Ayo, kita kita tata semua dari awal.” Kata-kata itu begitu sering diucapkan ayah. Lebih sebagai penguat hatinya.

“Iya, Pak. Barangkali bulan Ramadhan adalah saat-saat kita bangkit dan membenahi segala sesuatu.”

Ayah merangkul pundakku dengan senyum lebar. Sebuah rangkulan yang hangat. Seolah ayah sedang mengalirkan kasih sayangnya yang melimpah ruah dan tak kan ada habisnya itu kepadaku.

***

Pulang dari masjid ayah membaca Al-Quran. Aku duduk di kursi kayu di beranda. Kubaca beberapa ayat Al-Quran lalu aku mengahadap laptop. Meneruskan menulis novel. Ini kali adalah novel ketigaku. Novel pertama dan kedua tak terlalu laris di pasaran. Tapi royaltinya cukup lumayan untuk hidup sehari-hari. Belum nanti ditambah honor dari cerpen-cerpenku yang lumayan sering dimuat koran hari Minggu.

Suara petasan terdengar bersahutan dari pinggir jalan dan halaman rumah. Pijar-pijar kembang api juga mulai tampak. Dinyalakan oleh anak-anak lebih muda usia daripada yang menyalakan petasan. Segala-segala menjadi hangat dan semarak. Malam-malam bulan puasa memang selalu terasa lebih hidup.

Aku melamun dan terkenang Ramadhan ketika masih SMA dan kuliah dulu. Pernah, sekali waktu, aku melalui Ramadhan di luar kampung halamanku sendiri. Saat SMA aku dan teman-teman menjadi relawan di lokasi gempa Jogja yang luar biasa menghentak itu. Di sana kami mengajar anak-anak korban gempa. Kami belajar mengisi kultum tarawih, kami adakan kegiatan-kegiatan keagamaan untuk warga dan juga bakti sosial. Yang membuat haru dan tak terlupa adalah malam penutupan. Adik-adik kecil yang kami ajar di TPA menciptakan lagu khusus untuk kami dan menyanyikannya dengan khidmat. Selanjutnya, pawai obor yang mengular mengiringi kepulangan kami selepas tarawih malam itu. Aku tak pernah bisa melupakan hal itu.

Ada lagi kenangan puasa ketika masih mahasiswa dulu. Saat semester enam ada kewajiban Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari kampus. Kelompokku mengambil lokasi di Lembang, Bandung. Selain kabut, embun dan gigil, yang tak mungkin terlupa adalah Neneng. Gadis Sunda hitam manis yang menaruh hati padaku. Ia tak lain adalah anak pemilik rumah yang ditempati kelompokku.  Awalnya aku biasa saja. Tapi lama-lama aku tak kuasa membohongi diri. Lebih disebabkan karena aku begitu terpukau mendengar Neneng dan orang Sunda lain berbicara bahasa Sunda. Terdengar melodius dan unik.

Dari Neneng aku tahu kuliner-kuliner khas Lembang. Seperti ketan bakar, colenak, pisang keju dan nasi timbel. Itu lebih membuatku kian terperosok dalam pesona. Sayang, hubungan aku dan Neneng tidaklah lama akibat sebuah mitos bahwa orang Jawa tak berjodoh dengan orang Sunda. Setelah itu aku jadi kerap melantunkan tembang Melati dari Jayagiri milik Bimbo.

Boleh jadi kenangan-kenangan Ramadhan tadi hanyalah sebagai penghibur atas sepinya Ramadhan tahun ini tanpa ibu dan Dian.

Setelah sholat tarawih ayah menghampiriku.

“Le, bapak kok rasanya capek sekali ya tarawih tadi. Padahal biasanya kerja agak berat juga masih kuat.”

“Bapak sakit?”

“Tidak tahu juga. Bapak sepertinya tidak bisa hadir di pengajian Nuzulul Quran.”

“Iya. Sebaiknya bapak istirahat dulu,” ujarku dengan sedikit cemas.

Sesaat kemudian datang Pak De Heru dan Bu De Hani. Membawa bebek goreng. Untuk makan sahur, katanya. Ayah berterima kasih namun mukanya sedikit masam demi melihat lauk yang dibawa Pak De dan Bu De adalah bebek goreng. Lauk itu mengingatkan ayah kepada sesuatu yang menyedihkan.

***

Aku dan ayah makan sahur berdua. Kami mulai bisa membiasakan diri selalu berdua. Termasuk ketika makan sahur. Hanya saja ketika buka puasa aku dan ayah sepakat untuk buka di masjid bersama warga. Bukan untuk penghematan melainkan supaya di waktu paling membahagiakan bagi orang yang berpuasa itu kami tidak terlalu kesepian. Mungkin aku dan ayah adalah lelaki yang terlampau takut pada sepi.

Selepas makan sahur ayah membaca Al-Quran. Mengisi waktu menunggu azan subuh. Sedang aku mencuci piring dan gelas. Dari dapur aku mendengar suara ayah melemah dan berhenti. Sepertinya ayah ketiduran.
Aku hendak membangunkan ayah manakala azan subuh terdengar. Kupegang pergelangan tangannya dan sesaat hatiku berhenti berdetak. Aku sentuh lehernya dan aku tahu akan sesuatu. Aku tahu jika ayah sudah tiada. Aku juga tahu jika puasa tahun ini akan jauh lebih sunyi, jauh lebih sepi. Tanpa ibu, Dian dan ayah.

Telah sampai kepadaku tamu agung. Membawa kabar besar, kabar tentang kehilangan. 

Bumi Siliwangi, Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar