Senin, 02 Januari 2012

Kopi Aliya

Aku yakin, ada banyak orang sepertiku, yang selalu merasa gelisah dan merasa belum lengkap jika sebuah pagi tidak diawali dengan ritual minum kopi. Pada mulanya, ketika masih SD dulu, aku memperhatikan ayahku yang tiap malam duduk di depan meja kerjanya dengan meyanding segelas besar kopi. Ibuku yang membuat kopi itu. Kopi hitam. Dan aku, yang kala itu masih suka meniru, ikut-ikutan minta dibikinkan kopi sebagai teman belajar. Jadilah ibuku membuat dua gelas besar kopi hitam tiap selesai sholat magrib, untukku dan untuk ayahku. Ayahku khusyuk dengan pekerjaannya, sembari sesekali menyeruput kopi. Demikian pula aku yang membolak-balik buku pelajaran sambil tiap beberapa saat meraih gelas kopi untuk meminumnya sedikit demi sedikit.

Kebiasaan minum kopi itu masih berlanjut hingga aku mahasiswa. Tidak ada lagi kopi ibu. Sebab aku sekarang berada di tanah rantau. Aku lebih memilih kopi sachet yang siap seduh, yang tersedia hampir semua di warung. Lebih praktis dan takarannya pas. Maka tiap pagi, tiap alarm di hapeku berbunyi, aku akan terbangun untuk sembahyang subuh. Lantas menuju dispenser yang terletak di pojok dapur kamar kosku. Aku selalu menikmati saat-saat di mana aku membuka sachet dan kemudian menaburkan bubuk kopi ke dalam cangkir bening oleh-oleh ayah dari Belgia. Aku juga suka sekali mendengar suara air panas dari dispenser yang mengguyur bubuk kopi dalam cangkir. Rasanya damai menyimak suara kucuran air itu. Dan aku selalu menghirup wangi kopi dengan mendekatkan cangkir ke hidungku sebelum selanjutnya mengaduk kopi perlahan-lahan.

Aku duduk di beranda kos. Secangkir kopi di depanku. Dari lima orang penghuni kos, baru aku yang bangun. Tetangga di sekitar kos juga belum keluar rumah. Hanya satu dua yang terlihat menyapu halaman. Selain suara srek srek ibu-ibu menyapu, ada kicau burung yang menjadikan pagi lebih riuh. Aku tak tahu itu jenis burung apa, yang aku tahu mereka membuat sarang di pohon rambutan yang tumbuh rimbun di samping kosku.

Di beranda aku menunggu tukang koran. Ada buku di tanganku. Pasalnya tukang koran kerap datang kesiangan. Dan aku tak mau minum kopi sambil melamun. Oleh karenanya, buku adalah teman setia minum kopi pagi hari. Aku tak mau buku yang berat. Cukup novel atau kumpulan cerpen, buku kumpulan puisi boleh juga. Tapi kumpulan puisi baik di baca malam hari, saat semua sudah terlelap dan suasana sekitar senyap.

Jika sudah membaca koran dan minum kopi, maka pagiku sudah lengkap. Beraktifitas apapun jadi bergairah. Berangkat ke ruang kuliah juga tak begitu malas, meski kutahu dosen yang mengajar hari itu tidak berkualitas dan plintat-plintut. Tapi sudahlah, toh sebentar lagi ia juga akan pensiun. Satu hal pasti, telingaku sudah menangkap suara sendok beradu degan piring. Itu suara tukang lontong sayur. Pakai telur lima ribu, tanpa telur tiga ribu. Jika bosan lontong sayur bisa beli bubur ayam Mang Ari atau nasi uduk Mpok Leha. Tinggal pilih, mau sarapan apa pagi ini.

***

Untuk pertama kali aku minum kopi di sebuah tempat yang istimewa. Rumah Kopi namanya. Kata temanku, yang merekomendasikan tempat ini, di sinilah kopi-kopi terbaik diracik oleh para barista berpengalaman. Malam ini, dalam rangka syukuran wisudaku, aku mentraktir teman-teman karib di Rumah Kopi ini. Meja kami dekat dengan tempat barista meramu kopi. Seorang barista berambut panjang dikucir menyita perhatianku. Ada peluh yang mengalir di pelipisnya. Ia menyekanya.

"Aliya, Kopi Aceh dua," teriak seorang pelayan. Barista berambut panjang itu mengangguk sambil tersenyum. Oh, aku tahu, namaya Aliya. Nama yang mewah.

Kami pulang pukul sebelas. Teman-temanku mungkin tidak mendapat kesan apa-apa atas kongkow kami malam ini, selain rasa senang karena sudah kutraktir. Sedang aku, masih terbayang Aliya, barista yang jika tertawa gigi kelincinya terlihat lucu dan menggemaskan.

***

Aku nyaris tak ingat Aliya lagi. Kesibukanku sebagai wartawan baru di sebuah majalah mingguan membuatku banyak melupakan hal-hal kecil. Hingga pada sebuah kesempatan aku mendapat tugas meliput konferensi pers di Rumah Kopi. Sebuah LSM sedang merilis rapot merah dua tahun pemerintahan SBY. Usai liputan aku menikmati hidangan yang memang sudah disediakan untuk wartawan. Dan aku melihat Aliya di pojok sana. Ah, tawa itu. Gigi kelinci yang menggemaskan itu.

Usai acara kuberanikan diri untuk mendekati Aliya, kutahu ia sedang senggang. Tak kusangka ia begitu terbuka, dan obrolan kami malam itu hangat mengalir. Aku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Aliya tidak menolak. Kini, aku tahu bahwa Aliya belum punya kekasih, apalagi suami.

Kami tak pernah bilang cinta. Tapi rasa itu nyata dan mewujud dalam tindakan. Mungkin kami mengamini sebuah lagu lawas: kalau kau benar-benar sayang padaku, kalau kau benar-benar cinta, tak perlu kau katakan semua itu, cukup tingkah laku. Maka, kini ketemui tiap pagi Aliya datang ke kamar kosku. Membuat kopi, untuk mengawali pagiku. Sering kali ketika Aliya datang aku masih tertidur. Mungkin malamnya habis begadang dengan kawan-kawan wartawan atau terlalu capai liputan. Tetapi aku selalu terbangun saat Aliya mendekatkan cangkir kopi ke hidungku. Wangi kopi itu menyegarkan. Mendadak aku teringat dan kangen ibu di kampung.

Hingga kini, aku tak tahu bagaimana Aliya bisa membuat kopi sedahsyat ini. Ia berkata, itu cuma paduan, kopi, gula dan creamer. Aku tak percaya. Ia pasti punya semacam ramuan rahasia. Dengan sedikit gombal, ia bilang padaku: bukan kopinya yang enak, tapi dengan siapa kau meminumnya yang bikin enak. Gombalan jadul. Namun aku suka.

Sesekali Aliya juga memasak di dapur kosku. Ia vegetarian. Jadi hanya menyantap sayur. Satu hal yang baru kusadari, Aliya piawai memasak. Ia memasak sayur yang dibelinya di pasar tradisonal dengan rasa yang berbeda dari yang biasa kurasakan. Sup bikinan Aliya terasa aneh di lidah, tapi lezat. Begitu juga tumis kangkung atau kacang panjang yang ia masak. Semua enak dan baru bagi lidahku.  

***

Hari Sabtu yang melelahkan. Seharian aku keliling dari satu pelosok ke pelosok lain untuk wawancara sejumlah tokoh, terkait kasus bom, terkait terorisme. Baru pada pukul lima sore aku bisa merebahkan badan. Dalam lamunan aku berpikir, benarkah terorisme itu ada? Apakah pengebom itu ada? Dan tegakah Tuhan menciptakan mahkluk yang akan menghacurkan saudaranya sendiri dengan cara meledakkan bom? Entahlah!
Sebuah pesan masuk. Kubaca sekilas. Aliya ingin datang ke kosku. Ia akan membawa jagung dan ubi untuk dibakar. Ia menawarkan pesta kebun. Di belakang kosku memang ada kebun milik tetangga yang tak terlalu luas. Tentu aku iyakan ajakan Aliya. Aku juga kangen kopinya yang beberapa hari ini tak kuhirup lantaran kesibukan liputan.

 Kayu bakar sudah kususun. Perlahan api mulai melalap kayu. Aku mengolesi jagung yang dibawa oleh Aliya dengan mentega. Sementara itu Aliya menyeduh dua gelas kopi. Tak berubah. Kopi Aliya tetap lezat dan melenakan. Siapapun yang meminumnya akan merasakan ketentraman yang jauh lebih besar ketimbang minum kopi lain. Sembari mengipasi jagung kubilang pada Aliya.

“Tiap minum kopi bikinanmu aku terkenang ibu di rumah.”

“Kau sedang kangen berat. Dua lebaran kau tak pulang.”

“Barangkali begitu.”

“Ya. Bisa jadi.”

“Sosok ibu yang mampu jadi tempatku bernaung kudapati di dirimu.”

“Benarkah?”

“Aku tidak sedang berdusta.”

“Syukurlah.”

Dan Aliya tertawa saja. Menampakkan gigi kelincinya. Ia tipe wanita yang tak terlalu suka pujian.
Kami menikmati betul pesta kebun ini. Di langit, bulan separuh. Udara sejuk saja. Tidak ada mendung jadi tak terasa gerah. Sambil memegangi gelas kopi Aliya bertanya padaku.

“Kau pernah berpikir ingin mati muda tidak?”

“Tidak. Kenapa memang?"

“Aku tiba-tiba ingin mati muda.”

“Hati-hati kalau bicara!”

“Sungguh. Aku ingin mati muda. Kau tahu, menurutku mati muda itu seksi. Lihatlah Chairil dan Gie. Mereka mati muda dan dikenang. Seksi! Haha.”

“Gila. Kau mabuk ya?”

“Sembaragan! Mana doyan aku alkohol?”

“Kau sudah menulis buku? Atau mengarang lagu seperti Pak Presiden? Belum kan? Berkarya dulu, mati kemudian.”

“Haha. Kau tak tahu saja, aku sudah punya tiga novel. Novel biografis. Pertama tentang ibuku, ayahku lalu yang sedang kuselesaikan tentang nenekku. Sudah menulis tiga novel sudah boleh mati kan? Haha”

“Hmmm...”

“Aku sebenarnya sudah cukup dikenang sebagai barista saja. Dan sejujurnya ada satu hal yang merisaukanku jika aku mati muda.”

“Apa itu?”

“Pada siapa aku mewariskan resep rahasia bikin kopi yang kumiliki?”

“Hei, hei, sudahlah, kau serius sekali membicarakan soal kematian. Malam Minggu begini baik kita bergembira saja. Jagung itu tampaknya sudah siap santap.”

“Hehe. Oke. Baiklah. Aku tiba-tiba membayangkan jika aku mati muda. Jangan risaukan.”

Malam bertambah malam. Suara kemeratak api memakan kayu sesekali terdengar. Aliya tidur di pahaku. Wajahnya damai. Sekonyong-konyong perasaanku jadi kosong. Semacam hampa yang merongga. Udara jadi dingin tapi diimbangi hangat api unggun.

Aku baru tersadar jika Aliya tak lagi bernafas saat aku ingin membangunkannya. Dari mulutnya keluar busa. Ah, ini racun! Sedikit panik aku raih gelas kopi Aliya, kuciumi bau cangkir. Oh, Aliya, kenapa kau memilih bunuh diri begini? Jadi, soal mati muda yang kau utarakan tadi bukan omong kosong. Air mataku deras namun tak terisak.

Kubawa raga tanpa nyawa ke rumah sakit. Polisi kuhubungi. Di tengah kekalutan aku menemukan secarik kertas kusam di bawah tumpukan baju tempat aku biasa menyimpan dompet. Di kertas yang terlipat rapi itu terbaca sebuah tulisan: Kopi Aliya. Wahai, inikah resep kopi Aliya. Aku berdebar hendak membukanya. Menganak sungai air mataku.

Sudah kubuka lipatan kertas itu. Hanya ada satu kata di sana. Tapi aku terpaku dan tak bisa berkata-kata.

Ciputat, Desember 2011 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar