Kamis, 05 Januari 2012

Gerimis yang Liris

Lelaki itu bersikeras mengatur ritme degup jantungnya yang tak teratur. Ia tidak pernah merasa segugup ini sebelumnya. Halaman parkir restoran Griya Dahar seperti sepetak tanah dengan medan perang di depannya. Ya, peperangan tanpa darah dan senjata, tanpa dendam dan permusuhan. Untuk kesekian kali lelaki itu mengusap keringat di dahinya. Ketika memasuki restoran ia makin gemetar. Jangan-jangan ia datang lebih dulu, pikirnya. Jika benar begitu, berarti dia telah menunggu, dan membuat perempuan menunggu adalah tindakan lelaki bodoh, lelaki malang itu mengutuk dirinya dengan alasan tak jelas. Bagaimanapun pertemuan nanti adalah pertemuan pertama setelah ia dan perempuan itu berpisah sekian lama. Sebuah perpisahan yang sejatinya sama sekali tak ia inginkan.

“Siang ini pesawatku sampai Solo,” kata lelaki itu pada si perempuan lewat telepon pagi itu.

“Memangnya kau tidak masuk kerja?”

“Aku ambil cuti. Sepertinya aku butuh waktu rehat yang panjang.”

“Apakah kau ingin jalan-jalan keliling Solo? Sedikit bernostalgia mungkin.”

“Barangkali begitu. Tapi...sebenarnya aku hanya ingin bertemu denganmu.”

“Benarkah?”

“Ya, tiba-tiba saja aku ingin bertemu denganmu.”

“Kanapa begitu?”

“Aku tidak tahu. Aku bahkan tak punya alasan.”

“Kangen?”

“Tidak jelas. Tapi rasanya mirip seperti itu.”

“Ha-ha-ha. Baiklah. Mungkin kita bisa bertemu setelah aku pulang kerja, sekitar pukul lima.”

“Tidak masalah. Bagaimana jika kita bertemu di Griya Dahar?”

“Tempat itu lagi?”

“Kenapa? Tidak suka?”

“Bukan begitu. Hanya saja, bukankah tempat itu cuma menyisakan kenangan pahit bagi kita? Kita pernah dua kali bertengkar di sana!”

“Justru itu. Aku ingin membuat kenangan manis di sana.”

“Em...Oke. Jika itu maumu. Aku ikut saja. Toh aku juga tak punya referensi tempat lain.”

“Benar kau tidak keberatan?”

“Tidak.”

“Terima kasih. Sampai jumpa nanti sore.”

“Ya. Sampai jumpa. Persiapkan sesuatunya serapi mungkin. Kau sering lupa dengan dompet dan hapemu.”

Telepon ditutup dan lelaki itu seketika terdiam. Setelah sekian tahun berpisah perempuan itu masih ingat jika ia kerap lupa dengan dompet dan hapenya. Pernah suatu hari, saat mereka masih suami istri, si lelaki teledor tidak membawa hape ketika menjemput si perempuan. Ketika masih di rumah lelaki itu mendapat SMS bahwa si perempuan akan menunggu di kedai kopi depan kantornya. Tentu saja lelaki itu bergegas menuju kedai kopi yang dimaksud. Nahas. Lantaran hapenya tertinggal ia tidak tahu jika perempuan itu menelepon dan berkirim SMS yang mengatakan bahwa ia tak jadi menunggu di kedai kopi, melainkan di mall samping kantornya. Sekalian ingin ia ajak suaminya belanja kebutuhan bulanan.

Oleh karena tidak mendapati perempuan itu di kedai kopi dan karena telah menunggu terlalu lama, lelaki itu pulang dan menggerutu sepanjang jalan pulang. Ternyata, istrinya telah sampai rumah. Ngomel-ngomel tak keruan. Lelaki yang sudah panas lebih dulu mendapati istrinya begitu kontan kian membara. Pertengkaran sengit tak terelakkan. Pertengkaran gara-gara hal sepele. Sayangnya itu terjadi berkali-kali.  

**

Sudah pukul lima kurang lima menit. Lelaki itu menuju pendopo tempat kursi dan meja makan. Kelak ia akan begitu susah melupakan tempat itu. Kursi yang unik, lampu yang eksotis, suasana Jawa masa lalu, dan kolam ikan kecil di tepian pendopo, di mana lampu yang eksotis tercermin di sana. Ia memanggil pelayan dan memesan coklat panas. Sekadar menenangkan diri dari rasa gugup. Sambil menunggu lelaki itu memandangi dapur di seberang pendopo yang ditata seperti warung-warung jadul di kampung. Ah, semua belum berubah, masih seperti dulu, lirihnya. Lalu ia pandangi gerobak es kuno bergambar dakocan hitam di antara dapur dan pendopo. Benar-benar belum berubah, ujarnya pelan.

Sudah pukul lima lewat. Perempuan itu belum tampak batang hidungnya. Di hadapan lelaki itu terhidang coklat panas. Setelah menunggu beberapa saat lelaki itu menyeruput coklatnya beberapa kali. Rasa gusarnya belum sepenuhnya hilang. Ia mengetukkan jari di meja dengan irama yang tak teratur. Dulu, ia merasa nyaman tiap kali duduk di kursi menjalin itu. Merasai nuansa hangat interior yang didominasi dari kayu daur ulang, bata merah dan batu alam. Unsur kayu dan gaya Jawa membuat ia merasa ada di Solo di zaman lampau.  Padu dan syahdu.

“Maaf aku datang terlambat,” tiba-tiba perempuan itu hadir di hadapan lelaki dan berujar dengan ketenangan yang terukur. Meski menampakkan rasa bersalah ia tak memohon sedemikian rupa untuk dimaafkan. Tak ada citra rengek kekanakan sama sekali.

“Oh, kau sudah datang rupanya. Aku tidak melihatmu tadi.”

Si perempuan tidak menjawab tapi malah tersenyum. Masih sama seperti dulu, senyumnya tetap manis, tetap dengan lesung pipit yang menggoda, kata hati si lelaki.

“Kau sudah lama menunggu?”

“Baru sepuluh menit.”

“Bagaimana kabarmu? Kau sehat, bukan?”

“Ya, sebagaimana kau lihat.”

“Penerbanganmu lancar?”

“Lancar, hanya saja tadi sedikit terlambat. Tapi tak mengapa. Bukankah itu sudah jadi ciri khas penerbangan kita?”

“He-he-he. Bisa saja kau ini.”

Lalu diam. Mereka seperti tiba-tiba kehilangan bahan pembicaraan. Setelah lama tidak bertemu, semua menjadi kaku. Mereka berusaha membuatnya cair tapi belum sepenuhnya berhasil. Kalaupun ada percakapan semuanya hanya basa-basi.

“Kau masih sering ke sini?”

“Sudah tidak lagi sejak terakhir kita ke sini.”

“Kau kangen Garang Asem Bambu tidak?”

“Hmmm...lumayan.”

“Bagaimana jika kita memesan Garang Asem Bambu. Seperti dulu.  Bukankah itu makanan favorit kita, yang hampir selalu kita pesan tiap kali ke sini?”

“Ya, itu dulu.”

“Aku pesan dua ya?”

“Sepakat.”

Keduanya kembali diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Namun kali ini perempuan itu mengawali percakapan.

“Kau masih bekerja di penerbit buku itu?”

“Ya, begitulah. Aku mencintai pekerjaan itu. Meski kadang aku merasa begitu tertekan oleh deadline demi deadline.”

“Kau tidak berubah: terlalu cinta dengan pekerjaan.”

“Ya, dan barangkali itu yang membuatmu meninggalkanku.”

“Sudah jangan diungkit-ungkit lagi masalah itu, yang sudah biarlah sudah.”

“Kau tahu, sejak kita berpisah aku masih suka mengingatmu jika aku kesepian. Kau juga kerap masuk di mimpi-mimpiku.”

“Ha-ha-ha. Kau merayuku seperti zaman kita pacaran dulu.”

“Aku tidak sedang merayu, aku sedang jujur padamu.”

“Sudahlah, kau tentu sudah punya calon, bukan?”

“Calon? Calon istri maksudmu?”

“Iya.”

“He-he-he. Aku masih sendiri sampai sekarang. Kan sudah aku bilang aku masih suka mengingatmu jika aku kesepian. Itu artinya aku...”

Belum sempat lelaki itu meneruskan perkataannya pelayan datang dengan dua Garang Asem Bambu dan Es Seger Puol. Dua-duanya adalah menu andalan restoran Griya Dahar. Garang Asem Bambu unik karena disajikan dalam bambu dengan dialasi daun pisang di dalamnya. Mereka amat menggemari olahan ayam dengan rempah, blimbing wuluh dan santan ini. Adapun  nasi disajikan dalam bentuk tumpeng kecil, bagian atasnya dibungkus daun pisang. Di sekitar tumpeng kecil itu terdapat lalapan, sambel, tahu tempe dan kerupuk. Sedang Es Seger Puol adalah campuran irisan buah segar, jeli dan susu, yang disajikan dengan jus sirsak. Melihat dua hidangan itu seketika terpanggil kenangan keduanya ketika masih bersama. 

“Aku tiba-tiba teringat tahun-tahun yang telah lewat,” ujar si perempuan.

“Nah, kau pun masih sulit untuk melupakan kenangan kita.”

“Aku mengenang kalau kita pernah bertengkar dua kali di sini.”

“Ssst...tak perlu dibahas lagi, kita di sini untuk memperbaiki kenangan, jadi mari membicarakan yang baik-baik saja. Eh, ngomong-ngomong kenalin aku dengan pacarmu yang sekarang dong.”

“Pacar? Idih, sorry ya, i’m single and very happy!” tukas si perempuan menirukan sebuah lirik lagu.

“Ah, mana mungkin kau masih sendiri.”

“Kalau aku sudah dengan yang lain tentu aku tak di sini menemuimu.”

Seperti permainan catur, lelaki itu serasa diskak mat. Benar juga, dia tentu tak akan menemuiku jika sudah dengan yang lain, bisik hati lelaki itu. Perempuan itu tersipu, merasa menang dan meneruskan menikmati Garang Asem Bambu. Lelaki itu pun begitu, merasa kalah dan melanjutkan makan.

Mereka telah selesai bersantap. Sesaat mereka saling pandang. Lalu tertawa bersama. Sungguh, ketika posisi mereka bukan siapa-siapa lagi, kecuali sebagai orang yang pernah jadi suami istri, mereka masih sedikit canggung.

“Oh iya, tadi di telepon kau bilang, ingin membuat kenangan manis di sini.”

“Ya, memang begitu, tapi mungkin aku terlalu tergesa menyebutnya kenangan manis. Manis atau tidak semua tergantung padamu.”

“Aku? Kenapa begitu?”

“Hmmf...begini, sebenarnya... aku ingin memintamu jadi istriku lagi.”

Perempuan itu, dengan tenang, menatap si lelaki. Ia mekarkan senyum. Tampak lesung pipitnya.

“Kau yakin dengan kata-katamu?”

“Seyakin ketika aku memutuskan datang dari Jakarta ke Solo untuk menemuimu.”

“Aku tidak pernah menyangka kau akan mengatakan ini sebelumnya. Pernikahan kita pernah gagal. Apakah tidak sebaiknya kau mencari perempuan lain?”

“Aku punya banyak rekan kerja perempuan, tapi tak ada yang menarik hatiku. Kau tahu aku menyukai perempuan yang cerdas dan cakap, itu baru kutemui di dirimu.”

“He-he-he, kau mencoba merayuku lagi-lagi. Kau tahu, sejujurnya aku menikmati kesendirianku ini. Hidup mandiri dan bebas.”

“Apakah itu artinya kau tak menerimaku kembali?”

“Bagaimana ya? Ha-ha-ha. Jangan mendesakku untuk segera memberi jawaban, beri aku waktu barang tiga atau empat hari. Menikah bukan perkara gampang, bukan?”

“Baiklah, aku akan bersabar menunggu jawabanmu.”

Setelah merasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi keduanya meninggalkan restoran Griya Dahar. Lelaki itu lantas memanggil taksi dan mengantarkan mantan istrinya itu pulang ke apartemen. Mereka masuk taksi tepat ketika gerimis turun. Sebuah gerimis di suatu sore.  Dalam taksi keduanya tak banyak bicara. Si lelaki teringat istrinya di Jakarta yang sedari tadi mengirim SMS dan tak dibalasnya. Dan si perempuan berharap suaminya tidak sedang di luar apartemen sehingga melihatnya sedang bersama mantan suaminya.

Gerimis sore hari mengantar dua dusta menuju senja yang tak begitu jingga. 

Cirendeu, April 2011

Tamu Agung

Hari ini adalah hari kelima belas puasa. Separuh perjalanan Ramadhan telah terlampaui. Jamaah sholat subuh dan tarawih sedikit demi sedikit mulai berkurang. Sayang sekali, semangat itu hanya di awal-awal belaka. Tapi untungnya, masih ada beberapa orang yang berkenan menghidupkan Ramadhan. Berkurangnya jamaah di masjid itu serupa selembar daun yang dimakan ulat, berlubang perlahan-lahan.

Sore ini aku harus ke masjid. Bersama warga kerja bakti untuk mempersiapkan pengajian Nuzulul Quran. Kerja bakti akan dimulai selepas sholat ashar. Pak Amin, ketua RT, memberi contoh baik dengan datang terlebih dulu. Tetapi, sebelum Pak Amin, adalah Pak Bowo, ketua RW, yang ternyata datangnya lebih awal dari siapa pun.

Angin berkesiur dari kebun pisang belakang masjid. Langit sedikit tersaput mendung. Dingin sekilas melintas dan kemudian meremangkan bulu kuduk. Ada tercium bau agak amis dari empang Haji Bambang yang letaknya bersebelahan dengan kebun pisang. Warga tenggelam dalam kesibukan. Terlihat antara yang muda dan yang tua seperti tak berjarak. Semua sama singsingkan lengan baju, sama berpeluh.

Seketika, suasana ini menimbulkan keharuan di kedalaman sanubariku. Betapa kebersamaan dan gotong royong masih dijunjung. Seolah tak seorang pun tergoda untuk menjadi individualis. Dalam kebersamaan tak ada duka. Kalau pun ada yang membuat hati bersedih akan tertupi dan bahkan terobati dalam kebersamaan. Terpujilah wahai sesiapa yang menghormati dan hidup dalam kebersamaan.

“Seperti biasa, dekat lebaran begini harga-harga sembako pada naik. Pusing saya.” Pak Anto mengawali percakapan seusai kerja bakti.

“Betul, Pak. Bahkan, saya baca di koran, harga ayam naik per menit. Edan tenan itu!” Pak Yono menimpali. 
“Kira-kira siapa ya yang mainin harga seperti itu? Tidak peduli wong cilik!” Mas Abas yang mahasiswa dan selalu kritis itu melempar pertanyaan. Tetapi, pertanyaan dari Mas Abas itu tak terjawab. Sebab memang tak ada yang bisa menjawab. Dan barangkali tak ada jawabannya.

Lantas satu per satu meninggalkan masjid. Menjaga agar tidak terlalu capek. Pasalnya, nanti malam pengajian Nuzulul Quran akan diisi ulama kondang yang gemar humor. Ia favorit semua warga. Sayang jika dilewatkan dengan mata berat menahan kantuk lantaran terlalu capek di siang atau sore harinya.

***

Sambil menunggu masuknya waktu maghrib aku duduk-duduk di kursi kayu di beranda. Ada segelas coklat panas di depanku. Ayah datang menghampiri. Ikut duduk di kursi kayu depanku. Sama sepertiku, ayah juga sudah rapi dengan baju koko, peci hitam dan sarung. Bersiap berangkat ke masjid.

 “Puasa kita sudah setengah perjalanan ya, Le?” ujar ayah. Tatapannya menerawang jauh. Seperti menjangkau sesuatu yang entah.

“Iya, Pak. Nanti malam ada pengajian Nuzulul Quran. Tadi saya ikut kerja bakti bersih-bersih masjid.”

“Oh iya ya, tadi ada kerja bakti. Kok kamu ndak bangunin bapak tho, Le?”

“Saya kasihan, bapak kelihatan capek banget.”

Lalu hening. Aku dan ayah sama-sama diam untuk beberapa saat.

“Le, coba ibu sama adikmu masih ada ya. Pasti rumah tak sesepi sekarang ini,” mimik muka ayah mendadak berubah sendu. 

“Puasa tahun kemarin mereka masih ada. Tapi puasa tahun ini…” ayah menghentikan perkataannya. Seperti tak kuasa melanjutkan.

Aku ikut larut dalam kenangan yang dibangun ayah. Mengenang ibu dan Dian, adik perempuanku satu-satunya. Selalu saja ada yang mendesak dan sesakkan dada tiap mengingat musibah yang menimpa ibu dan Dian. Sekuat apa pun aku menahan duka, aku tetap tak mampu mengelakkan perih yang menyerpih dalam kerapuhan batinku.

Saat itu adalah hari terakhir puasa. Aku sekeluarga belanja baju lebaran di toko baju yang tak terlalu besar di kotaku. Masing-masing mendapat jatah dua baju. Aku dan ayah sama-sama membeli kemeja dan celana panjang, serta baju koko dan sarung untuk sholat Ied. Demikian pula dengan Dian dan ibu. Mereka membeli baju gamis kotak-kotak dan mukena baru. Dian selalu getol mengajak ibu kompak dalam membeli baju. Motif baju mereka sama kotak-kotak, hanya dibedakan warna saja. Selesai belanja dan tiba di rumah tiba-tiba terbersit di benak ibu untuk membeli bebek di pasar. Tadi kelupaan, ujarnya. Bebek goreng sambel ijo merupakan hidangan kegemaran keluarga kami. Maka, pada buka puasa terakhir, ibu ingin memasak bebek goreng sambel ijo.

Ibu dan Dian pergi ke pasar dengan motor. Awalnya ayah menyarankan untuk memasak bahan-bahan yang sudah tersedia di kulkas. Tidak perlu repot-repot membeli bebek. Tapi ibu sedikit memaksa. Katanya, uang belanja masih mencukupi untuk sedikit ‘berpesta’ di buka puasa terakhir. Dengan sorot mata yang sulit kupahami ayah mengizinkan ibu dan Dian untuk pergi ke pasar.

Rupanya, larangan ayah adalah sebuah pertanda akan sebuah musibah. Motor yang dikendarai ibu dan Dian disambar truk! Keduanya terseret sejauh lima meter. Seketika ibu dan Dian meregang nyawa. Tidak bisa diceritakan lagi seperti apa luka-luka di sekujur tubuh ibu dan Dian. Karena hanya akan membuat gigil kesedihan jadi tak berkesudahan.

Aku harus terima. Kehilangan ibu dan adikku sehari sebelum lebaran. Hari lebaran di mana seharusnya seluruh keluarga berkumpul dalam suka cita dan kebahagian. Selamat jalan ibu. Selamat jalan Dian.
Lamunan kami tentang ibu dan Dian buyar oleh kumandang adzan. Ayah beristigfar beberapa kali. Kulihat ada tetes air mata yang luruh di sudut matanya. Kutahu, ayah belum sepenuhnya bisa tegar menghadapi kehilagan ibu dan Dian.

“Ayo ke masjid, Le. Kita sama-sama sedih atas kehilangan itu. Tapi kita tak boleh larut. Ayo, kita kita tata semua dari awal.” Kata-kata itu begitu sering diucapkan ayah. Lebih sebagai penguat hatinya.

“Iya, Pak. Barangkali bulan Ramadhan adalah saat-saat kita bangkit dan membenahi segala sesuatu.”

Ayah merangkul pundakku dengan senyum lebar. Sebuah rangkulan yang hangat. Seolah ayah sedang mengalirkan kasih sayangnya yang melimpah ruah dan tak kan ada habisnya itu kepadaku.

***

Pulang dari masjid ayah membaca Al-Quran. Aku duduk di kursi kayu di beranda. Kubaca beberapa ayat Al-Quran lalu aku mengahadap laptop. Meneruskan menulis novel. Ini kali adalah novel ketigaku. Novel pertama dan kedua tak terlalu laris di pasaran. Tapi royaltinya cukup lumayan untuk hidup sehari-hari. Belum nanti ditambah honor dari cerpen-cerpenku yang lumayan sering dimuat koran hari Minggu.

Suara petasan terdengar bersahutan dari pinggir jalan dan halaman rumah. Pijar-pijar kembang api juga mulai tampak. Dinyalakan oleh anak-anak lebih muda usia daripada yang menyalakan petasan. Segala-segala menjadi hangat dan semarak. Malam-malam bulan puasa memang selalu terasa lebih hidup.

Aku melamun dan terkenang Ramadhan ketika masih SMA dan kuliah dulu. Pernah, sekali waktu, aku melalui Ramadhan di luar kampung halamanku sendiri. Saat SMA aku dan teman-teman menjadi relawan di lokasi gempa Jogja yang luar biasa menghentak itu. Di sana kami mengajar anak-anak korban gempa. Kami belajar mengisi kultum tarawih, kami adakan kegiatan-kegiatan keagamaan untuk warga dan juga bakti sosial. Yang membuat haru dan tak terlupa adalah malam penutupan. Adik-adik kecil yang kami ajar di TPA menciptakan lagu khusus untuk kami dan menyanyikannya dengan khidmat. Selanjutnya, pawai obor yang mengular mengiringi kepulangan kami selepas tarawih malam itu. Aku tak pernah bisa melupakan hal itu.

Ada lagi kenangan puasa ketika masih mahasiswa dulu. Saat semester enam ada kewajiban Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari kampus. Kelompokku mengambil lokasi di Lembang, Bandung. Selain kabut, embun dan gigil, yang tak mungkin terlupa adalah Neneng. Gadis Sunda hitam manis yang menaruh hati padaku. Ia tak lain adalah anak pemilik rumah yang ditempati kelompokku.  Awalnya aku biasa saja. Tapi lama-lama aku tak kuasa membohongi diri. Lebih disebabkan karena aku begitu terpukau mendengar Neneng dan orang Sunda lain berbicara bahasa Sunda. Terdengar melodius dan unik.

Dari Neneng aku tahu kuliner-kuliner khas Lembang. Seperti ketan bakar, colenak, pisang keju dan nasi timbel. Itu lebih membuatku kian terperosok dalam pesona. Sayang, hubungan aku dan Neneng tidaklah lama akibat sebuah mitos bahwa orang Jawa tak berjodoh dengan orang Sunda. Setelah itu aku jadi kerap melantunkan tembang Melati dari Jayagiri milik Bimbo.

Boleh jadi kenangan-kenangan Ramadhan tadi hanyalah sebagai penghibur atas sepinya Ramadhan tahun ini tanpa ibu dan Dian.

Setelah sholat tarawih ayah menghampiriku.

“Le, bapak kok rasanya capek sekali ya tarawih tadi. Padahal biasanya kerja agak berat juga masih kuat.”

“Bapak sakit?”

“Tidak tahu juga. Bapak sepertinya tidak bisa hadir di pengajian Nuzulul Quran.”

“Iya. Sebaiknya bapak istirahat dulu,” ujarku dengan sedikit cemas.

Sesaat kemudian datang Pak De Heru dan Bu De Hani. Membawa bebek goreng. Untuk makan sahur, katanya. Ayah berterima kasih namun mukanya sedikit masam demi melihat lauk yang dibawa Pak De dan Bu De adalah bebek goreng. Lauk itu mengingatkan ayah kepada sesuatu yang menyedihkan.

***

Aku dan ayah makan sahur berdua. Kami mulai bisa membiasakan diri selalu berdua. Termasuk ketika makan sahur. Hanya saja ketika buka puasa aku dan ayah sepakat untuk buka di masjid bersama warga. Bukan untuk penghematan melainkan supaya di waktu paling membahagiakan bagi orang yang berpuasa itu kami tidak terlalu kesepian. Mungkin aku dan ayah adalah lelaki yang terlampau takut pada sepi.

Selepas makan sahur ayah membaca Al-Quran. Mengisi waktu menunggu azan subuh. Sedang aku mencuci piring dan gelas. Dari dapur aku mendengar suara ayah melemah dan berhenti. Sepertinya ayah ketiduran.
Aku hendak membangunkan ayah manakala azan subuh terdengar. Kupegang pergelangan tangannya dan sesaat hatiku berhenti berdetak. Aku sentuh lehernya dan aku tahu akan sesuatu. Aku tahu jika ayah sudah tiada. Aku juga tahu jika puasa tahun ini akan jauh lebih sunyi, jauh lebih sepi. Tanpa ibu, Dian dan ayah.

Telah sampai kepadaku tamu agung. Membawa kabar besar, kabar tentang kehilangan. 

Bumi Siliwangi, Agustus 2011

Senin, 02 Januari 2012

Malam Tahun Baru

Kota ini sudah ramai sejak tadi sore. Suara terompet sesekali terdengar. Makin bersahutan jelang tengah malam nanti. Penjaja aneka kembang api terlihat di mana-mana. Dagangan mereka laku keras. Kian malam kota kian semarak. Entah sejak kapan dan siapa yang merumuskan, jika malam tahun baru tiba musti dirayakan dengan berkumpul di pusat kota, meniup terompet dan menyalakan kembang api.
Seolah abai pada sekitar, seorang nenek renta dan rapuh tercenung sendirian. Hanya ada kesedihan dan kesunyian dalam hatinya. Ia bernama Mbah Asri. Nenek bertubuh ringkih yang mengundang empati siapa saja yang memandangnya.

Mbah Asri berjalan pelan menyusuri trotoar depan taman kota. Langkah gontainya terhenti tepat di depan gerbang taman. Ia pegang erat pagar besi taman. Seolah tak mau lepas. Nanar matanya menatap kolam ikan, jungkat-jungkit, ayunan, perosotan dan seluruh pepohonan rindang.  Hatinya berkecamuk. Ada pertempuran yang tak selesai di sana. Sesuatu yang tak diinginkannya datang tiba-tiba. Menyergap tentram jiwanya. Sesuatu yang mungkin akan ia namai luka. Tiap kali ia mengingat kejadian dua tahun silam.

**

“Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, terima kasih sudah berkumpul di sini. Pagi ini akan diadakan pindahan masal menuju rumah susun. Bapak-bapak dan ibu-ibu tidak akan tinggal di lingkungan kumuh ini lagi. Lingkungan baru yang akan bapak-bapak dan ibu-ibu tempati nanti tentu akan lebih sehat, lebih nyaman dan lebih bersih. Apabila pindahan masal ini berhasil berarti bapak-bapak dan ibu-ibu telah menyukseskan program Pemkot membangun taman kota di tempat ini. Pembangunan taman kota adalah upaya untuk mencegah global warming yang saat ini menjadi ancaman nyata bagi bumi,” jelas salah seorang yang berseragam safari.

“Saya tidak mau dipindah! Saya mau tetap di sini!”

Tiba-tiba seorang kakek memotong pidato orang itu. Wajahnya terbakar. Hidungya kembang kempis. Sontak orang yang berpidato kaget. Namun dengan tenang ia melempar senyum, menutupi kegugupan.

“Kek,” sapanya terdengar lembut, “saya yakin lingkungan baru pasti lebih baik. Lagi pula warga di sini tidak punya sertifikat tanah. Artinya, selama ini para warga menempati tanah ini secara ilegal!”

“Tapi saya lahir, besar, beranak-cucu di sini. Kakek dan bapak saya juga asli sini. Saya tidak mau pindah. Ini tanah saya!” Bersungut-sungut si kakek membela diri.

“Sudah, sudah. Kita bicarakan ini di luar forum saja. Yang sudah siap pindah langsung menuju mobil pick up. Kita berangkat bersama ke rumah susun.”

Dan segalanya berlangsung begitu cepat. Sebagaian besar warga ikut pindahan massal. Sementara kakek yang memberontak itu dihampiri beberapa orang petugas. Ia diajak menuju suatu tempat. Tengah malam, Mbah Joyo, kakek itu, pulang dalam keadaan babak belur, luka lebam di sekujur badan, nafasnya tersengal-sengal. Melihat itu, istrinya menangis hingga pagi.

**

Lamunan Mbah Asri dihentikan oleh suara kembang api yang meledak di udara. Kembang api warna merah. Serupa warna derita. Nenek itu lalu menyibak keramaian. Mencari bangku taman yang mungkin masih kosong. Tapi semua sudah penuh. Terutama oleh pasangan muda mudi yang memadu kasih. Orang-orang seperti tak acuh dengan kehadiran Mbah Asri. Mungkin mereka mengira pengemis yang mencari peruntungan di tengah keramaian tahun baru.

Mbah Asri menuju pojok gelap taman kota. Ada batu besar mengonggok di bawah pohon kecapi rindang. Di sana Mbah Asri duduk. Mendadak air matanya menganak sungai. Ia teringat bahwa di sinilah Mbah Joyo wafat, di tempat yang sekarang menjadi taman. Wafat dalam keadaan sebagai pesakitan. Sebagai orang yang tak berdaya apa-apa di hadapan orang-orang berseragam itu.

Suara terompet yang terlampau keras mengagetkan Mbah Asri. Ia menghela nafas panjang. Sementara itu, tak jauh dari tempat Mbah Asri duduk terpekur, orang-orang sedang bersiap menghitung mundur pergantian tahun. Mereka seolah bersiap menyambut harapan baru di tahun baru. Melupakan luka, kegagalan dan keterpurukan tahun lalu.

Akan tetapi Mbah Asri merasakan sesuatu yang beda. Ia justru merasakan sebentuk risau menindih perasaannya. Serupa perasaan tak berartinya hidup dan kesendirian yang asing.
Sepuluh, sembilan, delapan… Hitung mundur telah dimulai.

Diam-diam Mbah Asri mengambil sesuatu yang tersimpan di saku baju kumalnya.

Lima, empat, tiga, dua… Pukul dua belas malam tepat! Suara terompet dan letusan kembang api seperti beradu di udara. Semua bersorak dalam suasana gegap gempita. Tak ada yang tidak bersuka cita malam itu.

Kecuali Mbah Asri. Ia telah berhasil membuat sayatan di pergelangan tangannya dengan silet yang tadi dikeluarkannya diam-diam penuh perasaan. Tubuh ringkihnya roboh lalu menggelepar. Seorang tukang ojek yang hendak kencing di pojok gelap itu kontan berteriak mendapati jasad Mbah Asri tergolek menyedihkan.

Zaman mencatat: seorang nenek bunuh diri di taman ketika malam pergantian tahun lantaran tak kuat menanggung kenangan hitam dan kesunyian.

Sesaat gerimis turun. Berubah menjadi hujan yang rimbun.

Rajam

Hari ini akan menjadi hari yang bersejarah bagi dua cerpenis itu. Hari ini keduanya akan dirajam di Taman Fantasi, setelah sebelumnya disidangkan di Mahkamah Cerpenis. Keduanya didakwa telah melakukan plagiasi. Nandarsu, cerpenis asal Negara Timur, didakwa telah memplagiasi cerpen Ryonosuke Akutagawa yang berjudul Rashomon. Sedang cerpenis satu lagi, Ronijum, dihukum karena memplagiasi cerpen Blokeng, Ahmad Tohari.

Tubuh Nandarsu dan Ronijum ditanam dalam tanah hingga tinggal kelihatan kepalanya. Wajah keduanya pias. Berusaha tampak tegar tapi tak bisa. Wangi kematian menguar di sekitar Taman Fantasi. Satu persatu cerpenis berwajah garang hadir di Taman Fantasi. Cerpenis yang berprofesi sebagai PNS masih mengenakan seragam safarinya, sedang yang bekerja sebagai ustadz masih melekat ditubuhnya baju koko, sarung dan peci, tapi kebanyakan hadir dalam tampilan yang kucel: jins belel robek di dengkul, jaket lusuh dan kaos yang berhari-hari tak dicuci, serta tentu saja rambut gondrong.

Tanah lapang medan eksekusi itu dipagari anyaman bambu. Bagi yang tak memiliki Kartu Tanda Cerpenis (KTC) dilarang masuk. Ada seorang penjaga di pintu masuk. Tugasnya membagikan batu sekepalan tangan kepada para perajam dan memeriksa KTC. Di luar pagar pedagang jagung bakar, kacang rebus, gorengan, siomay, kopi, air mineral, nasi goreng dan rokok sudah berjubel. Warga sekitar Taman Fantasi juga berbondong-bondong hadir. Padahal ketika pilgub beberapa tahun lalu tak seramai ini.

“Aku sudah tak sabar ingin melempar batu ini ke muka Nandarsu dan Ronijum,” kata cerpenis dari Pulau Cicak sembari mengambil kotak snack dari seorang penerima tamu yang jelita. Lantas ia duduk di kursi merah yang telah disediakan panitia.

“Sama, aku juga mau melihat darah mengucur dari pelipis, mata dan kening dua cerpenis laknat itu,” timpal cerpenis dari Dataran Tinggi Kabut Kelabu, yang datang ke Taman Fantasi dengan cerpenis dari Pulau Cicak. Mereka naik pesawat yang sama. Tiket pesawat mereka ditanggung panitia.

Setelah Ketua Mahkamah Cerpenis membacakan putusan dan memeberi sepatah dua patah kata sambutan, ia meminta para hadirin untuk berdiri dan maju ke panggung arena perajaman. Dengan sigap para cerpenis menuju panggung kehormatan. Di depan panggung itu dua kepala menunggu dengan pasrah. Ketua Mahakamah Cerpenis memberi aba-aba regu pertama untuk melempar batu yang sudah mereka genggam. Ada sembilan regu yang akan merajam pada kesempatan kali ini.

Satu, dua, dan tiga. Batu-batu meluncur deras menyasar kepala Nandarsu dan Ronijum.  Tapi, ajaib! Sungguh ajaib! Batu-batu itu tak satu pun mengenai kepala keduanya. Berang melihat pemandangan itu, semua cerpenis dengan beringas melempar batu tanpa mengingat lagi ada di regu berapa mereka. Seketika mata para perajam terbeliak manakala melihat sekawanan burung menukik ke arah Ronijum dan Nandarsu. Entah dengan kekuatan seperti apa burung-burung hitam itu mengangkat tubuh Nandarsu dan Ronijum ke langit. Keduanya lantas menghilang.  Di telan langit yang mendadak mendung.

Nyaris semua perajam mendongakkan kepala ke langit. Bingung dan takjub. Mereka merasa kecewa sekali.
Tiba-tiba muncul para Penunggang Kupu-Kupu dengan kupu-kupu hitam bersayap lebar. Para Penunggang Kupu-Kupu sejatinya adalah para cerpenis yang telah berguru pada seorang dukun di selatan. Semua perajam, dengan bantuan para Penunggang Kupu-Kupu naik ke sayap kupu-kupu. Mereka melesat. Sayang, belum jauh mereka terbang, sayap kupu-kupu itu terbakar. Mereka jatuh, terjerembab. Dan untuk kedua kalinya, mereka merasa kecewa sekali.

Ciputat, 2011

Lingkaran Sunyi

Dengan sejumlah uang yang dimilikinya lelaki itu bersegera mengontrak sebuah toko kecil agak jauh dari rumahnya. Hari berikutnya, dibantu seorang teman di Jakarta ia menuju Blok M, membeli buku-buku murah dalam partai besar, bakal isi tokonya. Ia tahu jika di salah satu mall di Blok M ada pasar buku murah eks pasar buku murah Kwitang. Ia juga mampir ke Pasar Senen. Tapi buku yang ia dapat di Senen tak sebanyak di Blok M. Penerbit-penerbit besar ia sambangi pula, siapa tahu ada cuci gudang, pikirnya. Ia juga hendak mendatangi penerbit buku di Bandung. Namun ia agak malas bepergian lebih jauh lagi.

Maka, dengan rambut yang tidak dicuci entah berapa hari dan baju yang juga baunya tak karuan, ia membawa buku-buku dari Jakarta ke Solo, kota asalnya, dengan mobil pick up yang berhasil disewanya dengan harga cukup miring. Sepanjang perjalanan Jakarta-Solo ia tak berhenti merokok. Di Jakarta ia memang membeli satu slop Dji Sam Soe. Hal itu tentu membuat sopir tenang, karena tak akan pernah khawatir kehabisan amunisi. Perilaku merokok tak putus-putus itu juga dilakoni si lelaki ketika menumpang kereta Senja Bengawan. Ia naik dari stasiun Purwosari dan turun di stasiun Tanah Abang. Karena si lelaki hampir tak berhenti merokok, orang di sebelahnya geleng-geleng kepala. Arti gelengan kepala itu bisa macam-macam. Bisa karena kesal, kagum dan juga kasihan. Tapi sepertinya lebih banyak yang berarti kesal.

Mobil pick up yang bermuatan buku itu sampai di depan toko kecil yang dikontrak si lelaki. Tukang becak di dekat toko diminta bantuan oleh si lelaki untuk menurunkan kardus-kardus buku. Hampir bersamaan dengan datangnya buku dari Jakarta, rak-rak buku berbahan kayu mahoni juga datang ke toko buku kecil itu. Oleh kerjanya yang tak seberapa, tukang becak merasa kaget manakala selesai bekerja masing-masing mendapat selembar uang warna merah, yang masih mulus pula. Si lelaki, segembel apapun penampilannya adalah orang berada yang royal menghamburkan uang, kadang seeperti tak berpikir dulu sebelum mengeluarkan uang.

Untungnya ia tidak membuat banyak kesalahan dan kesia-siaan ketika membelanjakan uangnya.
Semalam suntuk, sambil ditemani rokok tentunya, ia menyusun buku-buku di rak buku sendirian. Kebanyakan buku sastra. Sedikit buku agama. Hampir tidak ada buku dengan judul memakai kata cinta. Keesokan paginya, ketika semua buku tersusun, ia segera mengambil tangga lalu memasang spanduk di bagian depan toko bukunya. Tertulis di spanduk:

TOKO BUKU “REPRESENTASI PATAH HATI”
Maaf, tidak menjual buku-buku tentang cinta yang cengeng.

Sebuah pilihan nama yang kurang bermutu tinggi dan hanya keluar dari seorang yang sedang galau. Galau yang akut.

Dipandangi sebentar spanduk itu. Setelah yakin dan merasa mantab ia segera masuk toko. Menutup pintu. Merokok sebatang lalu berangkat tidur. Di toko kecil itu ada satu ruang kecil di dekat kamar mandi yang sempit. Ruang kecil itu cukup untuknya menaruh kasur lipat, lemari baju dan meja tampatnya menulis. Ia baru bangun ketika adzan isya selesai berkumandang dari masjid yang tak jauh dari toko bukunya. Dengan kepala sedikit pening dan perasaan linglung ia menuju sudut toko, menuju dispenser. Menyeduh kopi. Kemudian menyalakan tivi yang ia letakkan di kotak besi atas dispenser, siapa saja yang ingin nonton harus mendongakkan kepala. Pegal leher!

Toko buku yang menjual buku-buku murah itu ia dirikan dengan biaya sendiri. Lokasinya bagus, dekat kampus. Jadi semakin ramai manakala ia menaruh meja dan kursi di depan toko, di bawah pohon klengkeng yang rimbun. Dimaksudkan sebagai tempat ngopi dan kongkow pengunjung toko bukunya. Maka ia juga berjualan kopi, rokok dan gorengan. Oleh karena orang-orang yang ngopi bisa bertahan hingga larut malam, si lelaki memutuskan untuk buka 24 jam. Di sekitar tokonya juga ada warnet 24 jam, warteg 24 jam, minimarket 24 jam dan apotek 24 jam.  Si lelaki memang doyan melek. Kebiasaannya, setelah begadang ia baru bisa tidur sekitar pukul tujuh atau delapan pagi. Guna melayani pembeli di siang dan sore hari, ia mengajak temannya yang pengangguran untuk menjaga toko buku. Gaji temannya itu lebih besar dari pelaku pekerjaan sejenis.

Suatu hari, iseng-iseng si lelaki menghitung pemasukan tiap bulannya. Dia tertawa keras-keras manakala keuntungan jual kopi jauh lebih tinggi dari keuntungan jual buku. Ia tidak akan berpikir kenapa tidak buka warung atau kedai kopi saja dari dulu dan tidak menjual buku. Sebab tidak ada bedanya antara untung dan rugi dari ‘bisnis’ buku dan kopi ini. Si lelaki sudah terlanjur kaya. Jadi semua ini hanya pelampiasan belaka. Iseng saja. Representasi patah hati.

Ya, kalau saja tidak patah hati, maka toko buku ini tidak akan pernah ada. Si lelaki masih bisa berpikir rasional atas musibah patah hatinya itu. Ia sangat terpukul, tapi ia tidak ingin menenggak bir, memecahkan barang-barang di rumahnya atau melakukan hal-hal tidak bermanfaat lain. Si lelaki memang segera mengambil uang di tabungan. Segera mencari toko kecil yang bisa dikontrak. Segera membeli banyak buku di Jakarta. Serta tak lupa membeli beberapa slop rokok kretek. Toko buku kecil itu tempatnya bersembunyi dari kenangan. Jika di rumah ia pasti akan ingat seseorang dari masa lampau itu. Jika pindah ke kos -sesepi apapun- ia justru akan banyak melamun dan teringat lagi, terkenang kembali. Sehingga pilihan buka toko buku dan kedai kopi kecil-kecilan itu sudah benar dan sangat baik. Uang di tabungan untuk buka toko buku ini sejatinya untuk persiapannya ambil kuliah S2. Namun ia berpikiran, ada yang lebih penting untuk ditangani daripada mendaftar S2, yakni hatinya yang patah.

Hari-hari pertama banyak ia gunakan untuk promosi. Lewat Facebook, Twitter, spanduk dan pamplet. Kegiatan promosi itu menyita pikiran dan tenaganya. Si lelaki menargetkan dalam tiga bulan ke depan tidak ada mahasiswa di kampus dekat toko bukunya yang tidak tahu toko buku Representasi Patah Hati. Ia menjadi sangat sibuk dalam minggu-minggu ini. Mendadak ia jadi sangat rajin menyambangi forum-forum diskusi, seminar-seminar atau acara-acara organisasi lain. Selain memang ingin berpartisipasi tujuan utamanya adalah untuk membagikan pamplet. Promosi. Saat hasilnya mulai kelihatan ia tersenyum dan bersyukur.

***

Suatu malam yang sejuk tanpa mendung, lelaki itu ditanya oleh temannya

 “Sejujurnya, aku ingin dengar ceritamu, bagaimana kau bisa patah hati dan jadi begini?”

Si lelaki tak langsung menjawab, tapi lebih dulu menghisap rokok dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya dalam bentuk lingkaran satu per satu. Tiba-tiba ia tertawa.

“Hahaha. Kau pasti akan menertawakanku,” si lelaki menyeruput kopinya, “kau berminat mendengar ceritaku? Jadi dulu aku sempat dekat dengan seorang perempuan, teman satu jurusan. Dia tidak cantik, tapi enak dipandang. Dia tidak pintar, tapi ramah. Aku lama-lama jatuh cinta. Tapi aku tidak tergesa-gesa. Aku sangat berhati-hati sekali. Sebelum menyatakan isi hati padanya aku bertanya pada salah seorang teman dekat perempuan itu. Kutanya, apakah kira-kira aku pantas dengannya?”

“Lalu apa jawabnya?”

Lagi-lagi si lelaki tak segera menjawab. Kali ini tatapannya menerawang, seperti menjangkau sesuatu yang entah, jari tangannya memutar-mutar rokok yang masih menyala.

“Katanya, sudah lama aku kenal dengan dia, aku tahu orang seperti apa yang dianggapnya teman dan yang lebih dari itu. Maaf, sepertinya kau tidak perlu berharap banyak.”

“Maksudnya, kau diminta mengurungkan cintamu?”

“Ya, kurang lebih begitu.”

“Jadi hanya karena itu kau lantas patah hati?”

“Ya, hanya itu.”

“Gila! Kau bahkan belum menyatakan cintamu secara langsung pada perempuan yang kau taksir?!”

“Ya, begitulah.”

“Ah, payah sekali! Kau belum layak patah hati sebenarnya.”

“Hei, aku sangat pantas patah hati! Jelas aku bukan tipe lelaki yang diinginkannya. Di matanya, aku terlalu bohemian barangkali, atau tak bemasa depan, atau entahlah.”

“Kawan, dengarkan aku, kau tidak salah mengambil langkah hati-hati dalam mencintai seseorang, tapi kau tahu, kau bahkan belum mengungkapapkan cintamu langsung pada orang yang kau cintai.”

“Coba kau pikir lagi, untuk apa aku menyatakan cinta jika sudah tahu jawabannya? Itu hanya akan melukaiku, membuatku makin jatuh.”

“Jangan inferior dan pesimis. Kau tak akan tahu jawabannya sebelum kau menyatakan langsung. Percayalah!”

“Sudahlah, kawan. Aku sudah menyerah. Kini aku ingin fokus mengurus toko buku ini saja, menikmati rasa patah hati ini, menghayatinya hingga sampai akar-akar terkecil.”

“Ah, terserah kau sajalah. Semoga kau temukan lagi cintamu yang lain. Untungnya kau tak minum Baygon atau gantung diri setelah patah hati. Masih jernih juga pikiranmu. Hehe.”

Si lelaki tak menyahut. Ia menghembuskan asap rokok kuat-kuat. Keduanya lalu tenggelam dalam diam. Malam kian kelam. Ada suara lolong anjing di kejauhan.

***

Si lelaki merasa setelah patah hati ia semakin terpacu untuk berbuat banyak hal guna mengalihkan energinya, juga melupakan perempuan itu. Tiap Jumat sore ia diminta mengajar ekskul jurnalistik di sebuah SMA. Sedang saban Sabtu sore ia jadi mentor di sebuah sekolah menulis, ia mengampu kelas sastra. Sedangkan Minggu pagi ia larut dalam diskusi Penyair Sembilan Kota di Facebook. Ia nikmati itu semua. Darah kepenulisan mengalir makin deras di nadinya. Hidupnya praktis hanya untuk mengurus toko buku, menulis berdiskusi, merokok dan minum kopi. Kebutuhan utama seperti makan dan mandi jelas masih dilakukannya pula.

Hingga di suatu siang ia berujar pada temannya yang juga menjaga toko buku.

“Aku ingin makan enak dan ingin mentraktir orang. Beruntunglah kau karena kau yang kujumpai saat ini.”
Dengan wajah sumringah keduanya makan di sebuah restoran sate kambing muda. Baru saja masuk, si lelaki memekik lirih.

“Amboi, coba kau lihat kasir yang dipojok itu. mawar sekali parasnya. Seperti partai politik hari ini, aku tak perlu ideologi untuk merindukannya. Seperti Pancasila di era orde baru, ingin kujadikan dia azas tunggal di hatiku,” kata si lelaki dengan wajah berbinar.

“Nah, mulai deh, mulai lebay. Kau itu begitu cepat jatuh cinta dan begitu cepat pula patah hati.”

“Persetan dengan teorimu. Aku ada ide untuk cari muka di depannya. Begini, aku akan memesan lebih banyak sate kambing untuk dibawa pulang dan kau berlagak ingin membayarinya, tapi aku segera mencegah dan membayar semua. Itu skenarionya. Oke?”

Keduanya tersenyum penuh arti. Dijalankan skenario itu. Si lelaki segera mencegah temannya yang ingin membayar dan lekas mengeluarkan uang untuk membayari semuanya. Kasir cantik itu berdiri dari duduknya hendak memberikan uang kembalian.  Alangkah terbeliak dua pasang mata itu tatkala melihat perut si kasir cantik itu ternyata buncit. Sedang hamil!

“Terima kasih. Sering-sering datang kemari ya, Mas,” katanya sambil tersenyum lebar.

Keduanya terdiam sesaat. Semua seperti berjalan dalam gerak lambat.

“Oh, aku patah hati lagi kawan,” bisik si lelaki kepada temannya.

“Tampaknya kau akan bikin toko buku lagi. Cabang kedua. Haha.”

Si lelaki merasa telah masuk dalam sebuah lingkaran hitam: lingkaran sunyi.

Surabaya-Ponorogo, September 2011

Senja yang Temaram

Aku menuju Sawangan ketika hari masih terlalu pagi. Di sekitar, ada angin lirih, udara basah dan langit terang. Juga ada gundah di hati. Semacam rasa galau yang tak selasai. Sesuatu yang menguras pikiran dan tetes-tetes air mata. Tapi bagaimanapun aku harus fokus membawa motor, jika tidak mau terjadi hal buruk di jalanan Ciputat-Sawangan. Meski kadang aku tiba-tiba merasa gamang dan pikiranku kemana-mana, seperti terlepas ruh dari raga. Kiri kanan yang kupandang sesaat menjadi kelabu. Mendadak aku khawatir dengan kesalamatanku sendiri.

Motor kukendarai sangat perlahan dan pada akhirnya aku sampai di empang sekaligus pemancingan umum milik Bang Pacun, di pinggiran Sawangan. Telaga Biru nama pemancingan itu. Siapa Bang Pacun sebaiknya kuceritakan di awal. Ia adalah alasan kenapa aku kemudian bergabung di organisasi pergerakan mahasiswa. Cerita yang senantiasa berkembang dari mulut ke mulut dan turun temurun dari senior ke junior adalah bahwa Bang Pacun, di semester 4 pernah datang ke ruang dekan lalu tanpa ba bi bu membakar jaket almamaternya, bentuk protes atas demonstrasi yang tidak direspon berkaitan dengan dugaan korupsi di dekanat. Atas kelakuannya itu ia diganjar skorsing satu semester. Ia tanggapi skorsing itu dengan senyum lebar. Lantas ia berujar: skorsing ini adalah awal pergerakan yang lebih berkobar! Benar saja, hari berikutnya gelombang massa datang jauh lebih besar. Mereka menduduki fakultas. Beberapa hari kemudian dekan mundur.

Kisah heroik Bang Pacun tidak berhenti di situ. Siapa pun tahu, jika kampus saya yang di Ciputat itu hawa perpolitikannya cukup panas. Jika masuk waktu Pemira, pemilu raya kampus, suasananya sudah seperti Pilkada. Banner dan pamflet bertebaran, buletin siluman bermunculan. Lobi politik sana-sini, propaganda datang silih berganti. Posisi politik Bang Pacun di fakultas sangat tidak menguntungkan. Ia bergerak bersama kelompok minoritas. Sementara fakultas selama ini ada dibawah kuasa satu kelompok besar yang langgeng. BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) abadi di genggaman mereka. Memang, atas nama demokrasi mereka menjanjikan jika menang di Pemira, orang-orang di luar partai mereka akan diajak mengurus BEM. Namun, atas nama kenyataan, itu tak pernah terjadi.

Sejarah perpolitikan di fakultas ketika itu mencatat dengan tinta emas bagaimana kelompok minoritas bisa memenangi Pemira. Tak lain, aktor politik kala itu adalah Bang Pacun. Ia memberi nama perubahan yang membangggakan itu dengan nama Revolusi Gorengan. Aneh memang. Tapi begitulah kenyataan bicara. Jadi, ceritanya, Bang Pacun jualan gorengan untuk membiayai kuliahnya. Ia memang citra mahasiswa mandiri. Ia menaruh kotak gorengan di tiap-tiap kelas. Saban sore ia harus menemui penanggung jawab gorengan perkelas untuk mengambil uang hasil jualan. Dari sana ia mulai dikenal banyak mahasiswa. Terlebih ia sering menggratiskan gorengan sisa di sore hari.

Berbekal popularitas dan retorika yang bagus ia dicalonkan untuk jadi ketua BEM Fakultas oleh partai minoritas. Adapun BEM incumbent melihat naiknya Bang Pacun jadi ketua BEM ini sebagai ancaman yang nyata. Mereka sadar lawannya kali ini adalah orang yang cukup berpengaruh, populer dan berisi. Maka terwujudlah apa yang selama ini diidamkan organisasi minoritas itu, salah satu kader mereka jadi Ketua BEM Fakultas. Sayang, itu hanya terjadi sekali. Tahun-tahun berikutnya kuasa kembali dipegang kelompok besar. Atas kekalahan politik yang diderita tahun-tahun berikutnya itu Bang Pacun berkomentar: makanya, salah satu dari kalian harus ada yang jadi tukang gorengan kalau mau menang.

Kami tersenyum kecut mendengar selorohnya itu.

Kekaguman berikutnya pada Bang Pacun adalah perhatiannya yang besar pada anak-anak jalanan. Tak aneh jika kemudian ia lebih sering ditemui di kolong-kolong jembatan daerah Pasar Minggu, Tanah Abang, Senen, Jatinegara dan tempat-tempat lain, kantong-kantong anak jalanan. Ia kuliah sembari jadi relawan mengurus anak jalanan. Pernah ia berkelahi dengan pengurus masjid sampai hidungnya berdarah lantaran anak jalanan dilarang untuk sholat di masjid.  Kata pengurus masjid, anak jalanan ke masjid pasti mau maling sandal. Bang Pacun tidak terima itu. Adu mulut tak dielakkan. Pengurus masjid naik pitam. Satu tonjokan menghantam hidung Bang Pacun. Tapi ia tak membalas. Hanya berkata: sebenarnya inilah yang mempersulit jalanmu ke surga, kawan, belajarlah lagi kesalehan ritual dan kesalehan sosial.

Begitulah Bang Pacun. Sosok yang kini berdiri di hadapanku dengan celana pendek serta kaos buntung habis mengurus empang. Pilihan mengelola empang ini ia lakukan setelah ia menolak tawaran untuk masuk di Depatemen Sosial.

Masih belepotan lumpur, sekonyong-konyong ia menghampiri dan langsung memelukku.

“Kemana saja selama ini? Kangen betul aku!”  

“Maaf, Bang. Kegiatan lain membuatku jadi jarang sowan. Tapi aku belum lupa kok jalan ke sini.”

“Hahaha. Ya sudah, ayo kita ke saung. Kau masih suka kopi item tanpa gula kan?”

“Tentu saja, Bang. Apalagi kalau ada singkong goreng. Tambah mantab itu. Hehe.”

“Tenang. Di tempatku stok singkong tak pernah kosong. ”

Sementara Bang Pacun ke dapur aku duduk di tepian saung, menyapukan pandang ke sekitar empang. Hari Minggu begini cukup banyak pemancing. Kulihat ada lima orang di kolam mujair, tiga orang di kolam bawal. Selembar daun jatuh di empang yang paling luas, berputar mengikuti pusaran air. Suara angin terdengar seperti desah yang lirih. Di areal seluas 1 hektar dengan pepohonan rimbun di mana-mana, menghirup udara menjadi sebuah anugrah. Lega di rongga dada. Kontras dengan udara di Ciputat. Harus diakui, Sawangan ralatif masih teduh dan adem. Lebih-lebih di pinggiran Sawangan seperti di empang Bang Pacun. Inilah tempat sempurna untuk mengistirahatkan diri, melupakan masalah dan menulis puisi.

Ada suara kecipak ikan dari kolam di bawah saung ini. Di kejauhan kulihat seorang pemancing menyentakkan joran pancing. Ikan bawal ukuran sedang menggelepar di ujung benang pancing. Tampak menggairahkan. Kubayangkan jika ikan itu dibakar. Disantap dengan sambal kecap dan lalap. Ah, nafsu makanku langsung terbit. Namun jika teringat akan dia dan kejadian itu mendadak aku jadi tak punya nafsu makan.

“Bagaimana kabar kampus? Apa kau masih diajar dosen-dosen yang tak berkualitas itu? Yang diangkat jadi dosen karena berkawan akrab dengan orang dekanat.” Bang Pacun datang dengan dua cangkir kopi dan sepiring singkong goreng.

“Hahaha. Sekarang sudah agak mendingan, Bang. Orang-orang kita beberapa juga sudah ada yang jadi dosen. Seperti Kang Heryanto dan Teh Rina, senior 2001 dan 2002. Sudah barang pasti orang kita diangkat karena memang kompeten dan bukan karena faktor kedekatan.”

“Bagus lah. Aku tahu jejak rekam Heryanto dan Rina. Mereka memang tipe akademis organisatoris yang tekun. Loyalis sekaligus idealis.”

Aku dan Bang Pacun menikmati singkong goreng dan kopi di saung tepi empang. Kesiur angin pagi membasuh kulit. Daun-daun menari. Matahari perlahan meninggi. Air coklat di empang yang luas seperti sehamparan susu coklat bikinan ibu di rumah. Ada cericit burung di reranting pohon. Aku baru tersadar jika pagi ini begitu mendamaikan.

Di tanah rantau ini aku tak punya saudara. Hanya saja teman-teman di kelas, di organisasi dan di komunitas lekas jadi saudara karena kedekatan emosional yang cepat terbentuk. Begitu pun dengan Bang Pacun, seniorku di organisasi pergerakan itu sudah seperti abangku sendiri. Tak aneh jika ada masalah aku kerap lari kepadanya. Selain memang empang sekaligus pemancingan yang dimilikinya ini selalu menawarkan rasa tentram yang penuh.

“Bang, sebenarnya aku ke sini sedang ada masalah.”

“Ada apa lagi? Kau kehabisan uang? Masalah kampus? Atau masalah cewek?”

“Yang ketiga, Bang. Masalah cewek.”

“Hahaha. Kau ini masih saja begitu. Kalau orasi saja berapi-api, tapi sama cewek keok.”

“Begitulah, Bang. Wanita itu memang racun dunia. Hehe.”

“Memang kau sedang berhubungan dengan siapa?”

“Belum berhubungan, Bang. Baru mau memulai. Sama Nadia. Tapi saya merasa sudah ditolak sebelum menembak.”

“Haha. Eh, Nadia yang kau maksud yang bendahara umum itu? Yang satu tingkat di bawah kau?”

“Iya, Bang. Sudah dekat sakali aku sama dia. Eh, mendadak dia acuh tak acuh dan agak pendiam, justru ketika aku tak bisa membohongi perasaanku padanya.”

“Ah, anak muda yang galau,” Bang Pacun diam sebentar, mengambil nafas panjang, lantas berkata,  “sepertinya kau belum dengar satu kabar rupanya. Kabar ini memang baru beredar di kalangan senior. Tapi kau harus tahu. Soalnya ini berkaitan juga dengan Nadia.”

“Memang ada kabar apa?”

“Begini, kau pasti tahu kasus suap wisma atlet, ternyata ayah Nadia tersangkut juga kasus itu. Meski saat ini belum tampak di permukaan. Konon ayahnya sekarang ada di luar negeri. Jadi jangan aneh jika Nadia akhir-akhir ini tampak murung dan jarang kelihatan di kampus. Sinyal-sinyal yang kau kirimkan juga tidak bakal diterima dengan sempurna olehnya. Membicarakan cinta saat ayah tersandung korupsi buka sesuatu yang tepat.”

Aku tertegun dan tak percaya atas penjelasan yang disampaikan Bang Pacun. Wajahku pias dan tak dapat berkata-kata.

“Sudah, begini saja, kalau kau memang dekat dengan Nadia, berikan dia support. Kuatkan dia. Oya, aku tinggal dulu, ada pemancing yang mau menimbang ikan. Tenangkan dulu pikiranmu di sini. Sebentar lagi kita makan siang, kau tentu masih ingat rasa bawal bakar madu bikinanku kan? Hehehe.”

Aku hanya tersenyum dan mengangguk lemah. Kurasa aku seperti orang kurang darah. Lemas sekujur badan. Aku rebah di tikar pandan. Tapi bangun lagi. Kuseruput kopi. Rasa pahitnya kucecap. Singkong goreng tidak menerbitkan nafsu lagi, sama sekali. Aku rebah lagi. Banun lagi. Ah, Nadia.

Aku menyantap bawal bakar madu dengan malas. Ketika makan, aku dan Bang Pacun relatif tidak banyak bicara. Bang Pacun paham. Setelah makan Bang Pacun meninggalkanku sendiri di saung. Hari begitu cepat menjadi senja. Para pemancing sudah meninggalkan pemancingan. Tempat yang yang luas ini mendadak sepi. Namun masih lebih sepi ruang hatiku. Oh Tuhan, kenapa jalan hidup selalu tak tertebak begini? Andai saja Nadia tidak mempedulikanku dan tidak menangkap sinyal-sinyal dariku karena ia mencintai lelaki lain, itu tak jadi soal. Namun jika ia sedang dalam masalah lantaran ayahnya terlibat kasus suap aku jadi jatuh iba. Pantas saja sifatnya yang periang perlahan-lahan seperti hilang.

Aku terkenang pertemuan pertamaku dengan Nadia di acara penerimaan kader. Aku terkenang Nadia yang mulai dekat denganku karena sama-sama suka menulis. Aku terkenang Nadia yang mencintai senja. Nadia yang tidak berani naik kereta dan tidak suka pedas. Nadia yang betah berlama-lama di toko buku. Nadia yang bercita-cita mendirikan sekolah gratis kolong jembatan buat anak jalanan. Nadia yang...ah, sudah, sudah, sudah.

Terlukis di ufuk barat langit jingga. Bang Pacun, istri dan dua anakanya sedang bercanda di teras rumah mungilnya. Fajar dan Embun, anak-anak Bang Pacun umur 4 dan umur 6, bermanja-manja di pangkuan ibunya. Gerimis turun dan segera berubah jadi hujan. Namun hanya sebentar. Air sisa hujan menetes dari bariasan daun kelapa kering yang jadi pengganti genteng di atas saung. Aku terhisap pusaran kesunyian.
Tiba-tiba aku bergumam: sebuah senja yang temaram, meredup seperti cinta yang muram.
Di kejauhan sayup-sayup terdengar sebait lagu: aku tak bisa luluhkan hatimu, dan aku tak bisa menyentuh cintamu.

Malam ini aku akan tidur di sini, dan sepertinya akan menulis banyak puisi sepanjang malam.

Gang Jati, 21 September 2011

Kuda Cahaya

Mulanya tidak ada yang percaya dengan cerita kuda cahaya. Kata mereka, kuda seperti itu hanya ada di kisah masa lampau, ketika Nabi naik ke langit ketujuh dengan buroq, kuda yang bentuknya belum ada di gambaran manusia. Sedang di zaman sekarang ini sudah tidak mungkin ada kuda cahaya. Karena memang tidak lagi ada Nabi. Kalaupun ada, sudah barang pasti itu Nabi palsu. Dan Nabi palsu tidak akan dikaruniai mukjizat, apalagi mukjizat berupa kuda cahaya, kuda dengan kecepatan laju yang tak pernah bisa dibayangkan itu.

Tapi di Desa Winong ini topik perbincangan sedang didominasi perihal kuda cahaya. Adalah Mbah Halim, jamaah sepuh Masjid Besar Winong yang jadi buah bibir beberapa hari ini.

“Setahuku, kemarin Mbah Halim salat Maghrib di masjid kita, eh bagaimana bisa sebelum Isya’ ia sudah mengisi pengajian di desa sebelah yang jaraknya hampir sepuluh kilo itu?” Mbah Joko membuka obrolan.

“Ah, jangan-jangan kau salah orang kali!”

“Mataku masih belum rabun, aku juga sangat hapal motif sorban yang biasa dipakai Mbah Halim.”

“Kendaraan tercepat pun tidak bisa membawa kita ke desa sebelah secepat itu.”

 “Jangan-jangan ia punya ilmu membelah diri.”

“Bukan. Bukan ilmu membelah diri,  tapi ia memelihara kuda cahaya.”

“Ha?! Kuda cahaya? Seperti apa kuda cahaya itu? Apakah itu serupa kuda terbang yang bersayap?”

“Kuda cahaya tidak bersayap. Ia berwarna putih berkilauan. Oleh karena kecepatannya yang tanpa ampun, tentu ia tidak memijak tanah manakala membawa tuannya. Ia melesat membelah mega-mega, melintasi cakrawala, tampak berpijar menyusuri kaki langit.”

“Ah, itu jelas dongeng. Ini sudah zaman modern. Tak ada kuda macam itu.”

“Kau boleh percaya boleh tidak.”

Begitulah suara orang-orang di warung kopi membincangkan Mbah Halim. Percakapan seperti itu juga tidak sulit ditemui di pasar, di balai desa, di sekolah dan di tempat-tempat orang berkumpul. Bagaimanapun cerita kuda cahaya itu menyita perhatian sebagaian besar warga desa.

Di sisi lain, Mbah Halim seperti tidak mendengar apa-apa. Ia masih menjalani hari-hari seperti apa adanya. Selepas solat subuh berjamaah di Masjid Besar Winong ia akan mengurus pekarangannya yang luas. Membersihkan daun-duan gugur, menyiangi rumput liar, dan menyiram bunga-bunga. Baru kemudian ia akan sarapan. Dijauhkannya daging binatang kaki empat dan kaki dua dari piring makannya. Namun ia tetap mengonsumsi ikan. Katanya, kalau mau otak tetap tajam harus banyak makan ikan, terutama ikan laut.
Sepanjang hari ada saja yang bisa Mbah Halim kerjakan. Jika tidak membaca buku-buku agama, Mbah Halim kadang memperbaiki perkakas rumah yang rusak. Untuk membaca buku Mbah Halim tidak membutuhkan kaca mata. Penglihatannya masih sangat baik. Mungkin ini akibat dari kejeliannya menjaga pola makan.

Selain kegiatan ringan di rumah, selebihnya Mbah Halim banyak menghabiskan waktu di masjid. Jika tidak hujan lebat, dalam lima waktu salat ia bisa dijumpai di masjid. Atau sesekali mengisi ceramah jika diminta.
Di rumah, ia hanya tinggal dengan anak ketiga dan keempatnya yang masih duduk di bangku SMA. Anak pertama dan kedua kuliah di sebuah universitas negeri di luar kota. Isterinya meninggal empat tahun yang lalu. Hal inilah yang kemudian jadi gunjingan orang-orang. Bagaimana mungkin Mbah Halim mampu menyekolahkan empat anaknya sementara ia hanya bersandar pada uang pensiun? Taruhlah misalnya dua anaknya yang kuliah mendapat beasiswa penuh, hampir mustahil jika Mbah Halim tidak mengirim uang bulanan. Anaknya yang di SMA juga tidak mungkin tidak butuh biaya. Lalu, dari mana ia dapat uang?
Maka, berhembuslah berita jika Mbah Halim melakukan pesugihan. Kuda cahaya yang selama ini dipercaya sebagian orang sebagai hewan peliharaan Mbah Halim yang secara rutin membawa Mbah Halim ke sebuah gunung di daerah utara sebagai pusat pesugihan. Mbah Joko yang membawa kabar itu untuk kali pertama di obrolan di warung kopi Lik Mardi.

“Memang benar jika Mbah Halim itu rajin ke masjid, tapi menurutku ada sesuatu yang tak masuk akal. Mengingat ia hanya dapat uang pensiun namun bisa menghidupi keempat anaknya. Hidupnya juga terlihat begitu makmur.”

“Rezeki kan Allah yang mengatur.”

“Tapi ini agak tidak logis.”

“Bukankah Mbah Halim juga kerap memberi ceramah?”

“Berapa sih honor tukang ceramah?”

“Tidak banyak memang.”

“Nah itu dia! Saya curiga dia punya pesugihan.”

“Jangan menduga yang tidak-tidak! Apalagi sama Mbah Halim. Bisa kualat!”

“Ini cuma bentuk waspada kita saja. Kalau ada warga yang tidak benar ya kita ingatkan. Apalagi pesugihan itu kan syirik. Katanya dosa syirik itu tak terampuni. Yang berdosa memang satu orang, tapi yang kena azab bisa orang sekampung!”

“Tapi saya kira Mbah Halim tidak sebodoh itu. Mengamalkan pesugihan itu kan pasti harus pakai tumbal salah satu anggota keluarga. Tidak mungkin ia mengorbankan salah satu anaknya, demi harta yang hanya bersifat fana, seperti yang sering ia sampaikan di ceramahnya.”

“Ya, sudah, kita lihat saja nanti. Siapa yang benar, siapa yang salah.” 

Mbah Joko berlalu dari warung kopi Lik Mardi. Orang-orang yang tadi ikut ngobrol atau sekadar mencuri dengar kembali melakukan kegiatannya masing-masing. Barangkali Mbah Joko tidak menyadari jika di antara orang-orang di warung kopi Lik Mardi perlahan-lahan mulai memandang buruk Mbah Halim. Mereka mulai berpikir jika rajinnya Mbah Halim ke masjid dan mahirnya memberi ceramah hanya polesan belaka. Topeng yang menutupi bopeng.

***

Usai sholat Isya’ sejumlah warga berkumpul di Masjid Besar Winong untuk membahas masalah renovasi dan perluasan Masjid Besar Winong. Sekaligus perolehan infaq dari warga dan tokoh masyarakat. Semua warga terkejut saat panitia renovasi menyampaikan bahwa sampai saat ini penyumbang terbesar adalah Mbah Halim. Sedangkan, Mbah Halim lebih terkejut lagi. Ia sudah minta ke panitia untuk merahasiakan jumlah infaqnya untuk renovasi masjid. Namun ia tak habis pikir kenapa bisa bocor juga.

Tak ayal, terdengar kasak-kasuk dari jamaah. Terutama jamaah perempuan di belakang. Isu tentang Mbah Halim melakukan pesugihan menguar lagi. Seperti bau bangkai tikus yang tercium dari got di depan rumah. Beberapa warga yang percaya kebenaran isu itu mengurut dada sambil mengucap istigfar.

“Kok bisa ya uang hasil pesugihan buat nyumbang masjid?”

Masih pada malam yang sama, warga tiba-tiba dikejutkan dengan suara ringkik kuda dari arah rumah Mbah Halim. Keras sekali. Sekonyong-kenyong sejumlah warga keluar rumah. Ketika itu jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Suasana mendadak jadi riuh. Sebentar kemudian jadi gaduh. Pak RT memberanikan diri mengetuk pintu rumah Mbah Halim. Warga banyak yang berkumpul di rumah Mbah Halim.

“Mbah, Mbah Halim, bisa keluar rumah sebentar Mbah?”

Dengan wajah tenang Mbah Halim keluar dari rumah.

“Ada apa ini? Kok ramai sekali?”

“Begini Mbah, warga terganggu dengan suara ringkik kuda. Suara itu berasal dari rumah Mbah Halim. Padahal kita semua tahu Mbah Halim tidak memelihara kuda.”

“Saya tadi juga mendengar suara ringkik kuda. Tapi ada yang janggal, suara ringkik kuda itu agak aneh. Saya lama mengurus kuda ketika muda. Saya yakin itu bukan suara kuda.”

“Lalu suara apa?”

“Saya tidak tahu!”

“Mbah Halim jangan berkilah! Akui saja kalau sampeyan memelihara kuda cahaya! Sampeyan juga melakukan pesugihan! Buktinya banyak, semua warga juga sudah tahu itu. Ayo ngaku saja!” Mbah Joko yang tiba-tiba menyeruak dari kerumunan warga bersungut-sungut menuding ke arah Mbah Halim yang masih berdiri tenang di depan rumahnya.

“Saya tahu saat ini semua warga sedang membicarakan saya. Tapi itu semua adalah fitnah belaka. Saya tidak punya kuda cahaya. Saya juga tidak melakukan pesugihan!”

“Bohong! Bohong!” warga yang mulai geram berteriak penuh amarah. Teriakan itu tak urung membangunkan warga lain yang terlelap dan lantas ikut bergabung.

“Memang benar saya dan ayah saya adalah tukang mengurus kuda, tapi saat ini saya tidak punya kuda, apalagi kuda cahaya!”

“Penipu! Penipu!” Warga mulai tak terkendali. Mereka nyaris berlaku brutal. Pak RT coba menenangkan. Ia angkat bicara. Sedikit membentak.

“Sudah begini saja, besok kita adakan sumpah pocong! Daripada semua berlarut-larut. Sehabis salat Jumat kita gelar sumpah pocong di Masjid Besar Winong. Kita adakan sumpah antara Mbah Halim dengan salah seorang yang percaya jika Mbah Halim memelihara kuda cahaya dan melakukan pesugihan. Sekarang saya tanya, siapa di antara kalian yang percaya jika Mbah Halim memelihara kuda cahaya dan melakukan pesugihan?”

Serentak warga yang ada di sana mundur teratur. Nyali mereka ciut demi mendengar sumpah pocong. Namun ada seorang di antara mereka yang tidak mundur: Mbah Joko.

“Sampeyan siap Mbah Joko?” Tanya Pak RT. Mbah Joko sedikit pias.

“Siap,” jawabnya dengan agak gemetar.

“Mbah Halim siap?”

Pertanyaan itu dijawab dengan anggukan pasti.

***

Masjid Besar Winong penuh sesak siang itu. Acara sumpah pocong adalah acara yang langka. Maka mereka tak akan melewatkan kesempatan kali ini. Mbah Halim sudah bersiap di sudut masjid. Tak henti ia merapal zikir dan terus memutar tasbih. Akan tetapi sosok Mbah Joko tak juga muncul. Satu jam, dua jam, hingga tiga jam ditunggu Mbah Joko tetap tak kelihatan. Ternyata rumahnya sepi dan terkunci. Warga pulang dengan kecewa. Bebarapa dari mereka menemui Mbah Halim untuk minta maaf.

Mbah Halim sudah menduga jika semua akan berakhir seperti ini. Ia bukan tak mengenal Mbah Joko. Ia bahkan sangat mengenalnya. Ayah Mbah Joko dulu adalah pimpinan PKI tingkat desa yang dihabisi oleh ayah Mbah Halim yang seorang tentara. Ada dendam yang tak selesai.

Ciputat, Oktober 2011

Musim Rambutan

Aku dan adikku memetik buah berwarna hijau kemerahan itu dengan riang. Tidak peduli sekujur badan kami jadi gatal karenanya. Di pohon yang cukup kokoh itu kami bergelantungan. Untungnya kami ini orang-orang kurus, jadi tak kerepotan memanjat pohon. Setelah terkumpul sekitar satu karung rambutan, barulah kami menghentikan pekerjaan. Dan satu hari ini kami pesta rambutan. Sorenya, kamar mandi jadi rebutan. Sakit perut karena kebanyakan rambutan jadi kebiasaan buruk kami.

Malam hari, mendadak aku teringat abah dan umi. Musim rambutan begini biasanya aku dan abah yang akan memanjat dan memetik rambutan. Lalu, adikku yang menyiapkan karung di bawah untuk menampung buah rambutan. Buah mungil berambut itu tidak hanya kami santap apa adanya begitu saja, umi yang piawai memasak membuat manisan rambutan. Aku paling suka manisan rambutan bikinan umi. Sayang abah dan umi sudah tiada. Semuanya jadi kenangan semata. Ada yang menetes perlahan, dan itu air mata.

Aku menengok kamar adikku. Ia sudah tidur. Segelas kopi akan jadi temanku melamun di teras rumah. Kulirik jam dinding. Pukul sebelas. Sudah cukup larut ternyata.

Di teras aku memandangi pohon rambutan yang tumbuh merimbun di halaman rumah. Di antara remang lampu, dapat kulihat bulatan-bulatan kecil warna hijau bakal buah rambutan. Beberapa minggu kemudian, bulatan kecil itu tentu akan menjadi buah yang siap dipetik. Kecuali ada angin atau kalong yang menjatuhkannya. Meski gagal menjadi buah rambutan yang utuh, bakal buah itu tak pernah membenci sesiapa yang menjatuhkannya. Sebab ia tahu akan berbaur dengan tanah dan menyuburkannya. 

Kenikmatan makan buah rambutan pada musim rambutan bukan jadi milik keluargaku semata. Orang-orang di Gang Jati, tempatku tinggal ini rata-rata memiliki pohon rambutan. Jadi, tiap datang musim rambutan tampak pemandangan menarik di Gang Jati: gerumbul merah buah rambutan menyembul di antara dominasi warna hijau tua daun rambutan.

Pernah di suatu subuh yang sepi, aku berjalan menyusuri Gang Jati. Kucium wangi pohon-pohon rambutan di awal datangnya musim rambutan. Wangi yang menguar dan memenuhi rongga hidungku itu sampai kini tak bisa kulupakan. Meski juga tak bisa kujabarkan dengan kata-kata seperti apa wangi itu.

**

Aku dibangunkan dari lamunan ketika kudengar suara lolongan anjing di kajauhan. Jam berdentang satu kali. Seorang tukang nasi goreng melintas depan rumah. Ternyata Mas Ratno, tukang nasi goreng langganan abah. Gerobaknya kosong. Jualannya ludes malam ini.

“Mas, tunggu sebentar,” kataku. Ia yang cukup mengenalku tersenyum dan menyahut.

“Sudah habis, Bang.”

“Saya tidak mau beli nasi goreng, tapi mau kasih rambutan. Tadi panen.”

“Waduh, terima kasih sekali, Bang.”

Sekantung rambutan dariku disambut dengan senyum lebar Mas Ratno. Ia menjabat tangaku erat. Wajah polosnya menyiratkan ucapan terima kasih yang tulus. Selalu ada kebahagiaan saat berbagi. Dan yang paling mungkin kubagi adalah rambutan, di musim rambutan. Abah selalu mengajari anak-anaknya untuk gemar berbagi. Jika datang musim rambutan, saudara di Bekasi dan Tangerang pasti dapat jatah sekantung besar rambutan.

Saat aku berjalan pelan hendak kembali masuk rumah, kulihat sesuatu yang mengusik penglihatanku. Sebuah tulisan. Ya, tulisan di batang pohon rambutan. Sebenarnya tulisan itu sudah agak samar, tapi aku masih mampu membacanya. Setidaknya mengenangnya. Karena memang aku yang menuliskannya. Kuraba tulisan itu, mengusapnya perlahan. Ah, masa kecil yang usang.

Aku mengingat semuanya. Pertemuan di musim rambutan yang riuh itu, jabat tangan malu-malu itu, juga pertemanan yang singkat itu. Juga kuingat ia yang jatuh dari pohon rambutan setelah memaksa ingin ikut memanjat dan memetik rambutan. Dan aku selalu tak tega melihat bekas luka di pelipisnya.

Tiba-tiba aku disentak oleh sebuah ingatan yang mendadak terkuak. Dulu aku dan dia pernah menanam sesuatu di bawah pojon rambutan ini! Buru-buru aku masuk rumah dan mengambil cangkul. Dengan semangat yang memenuhi dada aku menggali dan terus menggali. Dapat! Mataku berbinar-binar menatap kaleng biskuit bekas yang kini berkarat. Saat kubuka kaleng biskuit itu seketika tanganku gemetar lalu luruh air mata. Mainan robot Ultraman dan boneka kecil itu terlihat kusam. Kubaca tulisan dibalik tutup kaleng yang mulai pudar: tak boleh saling melupakan. Masih kuingat, tulisan itu kutulis dengan cat hitam milik abah. Ada juga namaku dan namanya di tutup kaleng bekas itu.

Karena angin malam bertambah dingin aku lekas masuk kamar. Kuletakkan mainan robot Ultraman dan boneka kecil itu di meja kamar. Aku terlelap bersama kenangan dan rindu.

**

Pagi-pagi kudengar suara berisik di ruang tamu. Oh, sudah pukul sembilan rupanya. Aku bangun kesiangan. Ternyata pamanku datang dari Bekasi. Ia tiba-tiba nyelonong masuk kamarku tanpa salam.

“Wah, ini anak muda bangunnya siang baget! Rezeki lu dipatok ayam tahu rasa! Ada yang mau ketemu lu noh. Staf gue di kantor, katanya sih kenal ama lu. Buruan gih samperin!”

Dalam keadaan masih mengantuk aku turun dari ranjang, “siapa?”

“Udah sono temuin dulu.”

Aku menuju ruang tamu. Kulihat gadis berambut panjang dikuncir ekor kuda. Dahiku mengernyit, mata kukucek berkali-kali.”

“Sari?!”

Ia tersenyum tenang dan kemudian berujar.

“Selamat pagi, Bimo. Masih suka bangun kesiangan seperti dulu?”

Astaga! Betapa aku gagap membaca tanda-tanda yang ditunjukkan Tuhan. Tulisan di pohon rambutan yang mendadak kuingat kembali, juga ‘harta karun’ di bawah pohon rambutan yang semalam kugali ternyata menuntukku pada pertemuan ini.

Ya, gadis kecil itu telah berubah jadi sesosok perempuan manis di hadapanku. Namanya Sari, teman masa kecilku. Dia hanya sebulan tinggal di Gang Jati. Tapi kami akrab sekali. Jauh lebih akrab ketimbang dengan teman lamaku. Sehari sebelum ia berangkat ke Palembang bersama keluarganya untuk pindah ke sana, aku dan Sari menulis nama kami di pohon rambutan serta menanam mainan kesayangan kami di bawah pohon rambutan.

Aku tahu suatu saat ia pasti akan kembali. Benar saja, kini ia telah kembali, di musim rambutan tahun ini. 

Gang Jati, Desember 2011

Kopi Aliya

Aku yakin, ada banyak orang sepertiku, yang selalu merasa gelisah dan merasa belum lengkap jika sebuah pagi tidak diawali dengan ritual minum kopi. Pada mulanya, ketika masih SD dulu, aku memperhatikan ayahku yang tiap malam duduk di depan meja kerjanya dengan meyanding segelas besar kopi. Ibuku yang membuat kopi itu. Kopi hitam. Dan aku, yang kala itu masih suka meniru, ikut-ikutan minta dibikinkan kopi sebagai teman belajar. Jadilah ibuku membuat dua gelas besar kopi hitam tiap selesai sholat magrib, untukku dan untuk ayahku. Ayahku khusyuk dengan pekerjaannya, sembari sesekali menyeruput kopi. Demikian pula aku yang membolak-balik buku pelajaran sambil tiap beberapa saat meraih gelas kopi untuk meminumnya sedikit demi sedikit.

Kebiasaan minum kopi itu masih berlanjut hingga aku mahasiswa. Tidak ada lagi kopi ibu. Sebab aku sekarang berada di tanah rantau. Aku lebih memilih kopi sachet yang siap seduh, yang tersedia hampir semua di warung. Lebih praktis dan takarannya pas. Maka tiap pagi, tiap alarm di hapeku berbunyi, aku akan terbangun untuk sembahyang subuh. Lantas menuju dispenser yang terletak di pojok dapur kamar kosku. Aku selalu menikmati saat-saat di mana aku membuka sachet dan kemudian menaburkan bubuk kopi ke dalam cangkir bening oleh-oleh ayah dari Belgia. Aku juga suka sekali mendengar suara air panas dari dispenser yang mengguyur bubuk kopi dalam cangkir. Rasanya damai menyimak suara kucuran air itu. Dan aku selalu menghirup wangi kopi dengan mendekatkan cangkir ke hidungku sebelum selanjutnya mengaduk kopi perlahan-lahan.

Aku duduk di beranda kos. Secangkir kopi di depanku. Dari lima orang penghuni kos, baru aku yang bangun. Tetangga di sekitar kos juga belum keluar rumah. Hanya satu dua yang terlihat menyapu halaman. Selain suara srek srek ibu-ibu menyapu, ada kicau burung yang menjadikan pagi lebih riuh. Aku tak tahu itu jenis burung apa, yang aku tahu mereka membuat sarang di pohon rambutan yang tumbuh rimbun di samping kosku.

Di beranda aku menunggu tukang koran. Ada buku di tanganku. Pasalnya tukang koran kerap datang kesiangan. Dan aku tak mau minum kopi sambil melamun. Oleh karenanya, buku adalah teman setia minum kopi pagi hari. Aku tak mau buku yang berat. Cukup novel atau kumpulan cerpen, buku kumpulan puisi boleh juga. Tapi kumpulan puisi baik di baca malam hari, saat semua sudah terlelap dan suasana sekitar senyap.

Jika sudah membaca koran dan minum kopi, maka pagiku sudah lengkap. Beraktifitas apapun jadi bergairah. Berangkat ke ruang kuliah juga tak begitu malas, meski kutahu dosen yang mengajar hari itu tidak berkualitas dan plintat-plintut. Tapi sudahlah, toh sebentar lagi ia juga akan pensiun. Satu hal pasti, telingaku sudah menangkap suara sendok beradu degan piring. Itu suara tukang lontong sayur. Pakai telur lima ribu, tanpa telur tiga ribu. Jika bosan lontong sayur bisa beli bubur ayam Mang Ari atau nasi uduk Mpok Leha. Tinggal pilih, mau sarapan apa pagi ini.

***

Untuk pertama kali aku minum kopi di sebuah tempat yang istimewa. Rumah Kopi namanya. Kata temanku, yang merekomendasikan tempat ini, di sinilah kopi-kopi terbaik diracik oleh para barista berpengalaman. Malam ini, dalam rangka syukuran wisudaku, aku mentraktir teman-teman karib di Rumah Kopi ini. Meja kami dekat dengan tempat barista meramu kopi. Seorang barista berambut panjang dikucir menyita perhatianku. Ada peluh yang mengalir di pelipisnya. Ia menyekanya.

"Aliya, Kopi Aceh dua," teriak seorang pelayan. Barista berambut panjang itu mengangguk sambil tersenyum. Oh, aku tahu, namaya Aliya. Nama yang mewah.

Kami pulang pukul sebelas. Teman-temanku mungkin tidak mendapat kesan apa-apa atas kongkow kami malam ini, selain rasa senang karena sudah kutraktir. Sedang aku, masih terbayang Aliya, barista yang jika tertawa gigi kelincinya terlihat lucu dan menggemaskan.

***

Aku nyaris tak ingat Aliya lagi. Kesibukanku sebagai wartawan baru di sebuah majalah mingguan membuatku banyak melupakan hal-hal kecil. Hingga pada sebuah kesempatan aku mendapat tugas meliput konferensi pers di Rumah Kopi. Sebuah LSM sedang merilis rapot merah dua tahun pemerintahan SBY. Usai liputan aku menikmati hidangan yang memang sudah disediakan untuk wartawan. Dan aku melihat Aliya di pojok sana. Ah, tawa itu. Gigi kelinci yang menggemaskan itu.

Usai acara kuberanikan diri untuk mendekati Aliya, kutahu ia sedang senggang. Tak kusangka ia begitu terbuka, dan obrolan kami malam itu hangat mengalir. Aku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Aliya tidak menolak. Kini, aku tahu bahwa Aliya belum punya kekasih, apalagi suami.

Kami tak pernah bilang cinta. Tapi rasa itu nyata dan mewujud dalam tindakan. Mungkin kami mengamini sebuah lagu lawas: kalau kau benar-benar sayang padaku, kalau kau benar-benar cinta, tak perlu kau katakan semua itu, cukup tingkah laku. Maka, kini ketemui tiap pagi Aliya datang ke kamar kosku. Membuat kopi, untuk mengawali pagiku. Sering kali ketika Aliya datang aku masih tertidur. Mungkin malamnya habis begadang dengan kawan-kawan wartawan atau terlalu capai liputan. Tetapi aku selalu terbangun saat Aliya mendekatkan cangkir kopi ke hidungku. Wangi kopi itu menyegarkan. Mendadak aku teringat dan kangen ibu di kampung.

Hingga kini, aku tak tahu bagaimana Aliya bisa membuat kopi sedahsyat ini. Ia berkata, itu cuma paduan, kopi, gula dan creamer. Aku tak percaya. Ia pasti punya semacam ramuan rahasia. Dengan sedikit gombal, ia bilang padaku: bukan kopinya yang enak, tapi dengan siapa kau meminumnya yang bikin enak. Gombalan jadul. Namun aku suka.

Sesekali Aliya juga memasak di dapur kosku. Ia vegetarian. Jadi hanya menyantap sayur. Satu hal yang baru kusadari, Aliya piawai memasak. Ia memasak sayur yang dibelinya di pasar tradisonal dengan rasa yang berbeda dari yang biasa kurasakan. Sup bikinan Aliya terasa aneh di lidah, tapi lezat. Begitu juga tumis kangkung atau kacang panjang yang ia masak. Semua enak dan baru bagi lidahku.  

***

Hari Sabtu yang melelahkan. Seharian aku keliling dari satu pelosok ke pelosok lain untuk wawancara sejumlah tokoh, terkait kasus bom, terkait terorisme. Baru pada pukul lima sore aku bisa merebahkan badan. Dalam lamunan aku berpikir, benarkah terorisme itu ada? Apakah pengebom itu ada? Dan tegakah Tuhan menciptakan mahkluk yang akan menghacurkan saudaranya sendiri dengan cara meledakkan bom? Entahlah!
Sebuah pesan masuk. Kubaca sekilas. Aliya ingin datang ke kosku. Ia akan membawa jagung dan ubi untuk dibakar. Ia menawarkan pesta kebun. Di belakang kosku memang ada kebun milik tetangga yang tak terlalu luas. Tentu aku iyakan ajakan Aliya. Aku juga kangen kopinya yang beberapa hari ini tak kuhirup lantaran kesibukan liputan.

 Kayu bakar sudah kususun. Perlahan api mulai melalap kayu. Aku mengolesi jagung yang dibawa oleh Aliya dengan mentega. Sementara itu Aliya menyeduh dua gelas kopi. Tak berubah. Kopi Aliya tetap lezat dan melenakan. Siapapun yang meminumnya akan merasakan ketentraman yang jauh lebih besar ketimbang minum kopi lain. Sembari mengipasi jagung kubilang pada Aliya.

“Tiap minum kopi bikinanmu aku terkenang ibu di rumah.”

“Kau sedang kangen berat. Dua lebaran kau tak pulang.”

“Barangkali begitu.”

“Ya. Bisa jadi.”

“Sosok ibu yang mampu jadi tempatku bernaung kudapati di dirimu.”

“Benarkah?”

“Aku tidak sedang berdusta.”

“Syukurlah.”

Dan Aliya tertawa saja. Menampakkan gigi kelincinya. Ia tipe wanita yang tak terlalu suka pujian.
Kami menikmati betul pesta kebun ini. Di langit, bulan separuh. Udara sejuk saja. Tidak ada mendung jadi tak terasa gerah. Sambil memegangi gelas kopi Aliya bertanya padaku.

“Kau pernah berpikir ingin mati muda tidak?”

“Tidak. Kenapa memang?"

“Aku tiba-tiba ingin mati muda.”

“Hati-hati kalau bicara!”

“Sungguh. Aku ingin mati muda. Kau tahu, menurutku mati muda itu seksi. Lihatlah Chairil dan Gie. Mereka mati muda dan dikenang. Seksi! Haha.”

“Gila. Kau mabuk ya?”

“Sembaragan! Mana doyan aku alkohol?”

“Kau sudah menulis buku? Atau mengarang lagu seperti Pak Presiden? Belum kan? Berkarya dulu, mati kemudian.”

“Haha. Kau tak tahu saja, aku sudah punya tiga novel. Novel biografis. Pertama tentang ibuku, ayahku lalu yang sedang kuselesaikan tentang nenekku. Sudah menulis tiga novel sudah boleh mati kan? Haha”

“Hmmm...”

“Aku sebenarnya sudah cukup dikenang sebagai barista saja. Dan sejujurnya ada satu hal yang merisaukanku jika aku mati muda.”

“Apa itu?”

“Pada siapa aku mewariskan resep rahasia bikin kopi yang kumiliki?”

“Hei, hei, sudahlah, kau serius sekali membicarakan soal kematian. Malam Minggu begini baik kita bergembira saja. Jagung itu tampaknya sudah siap santap.”

“Hehe. Oke. Baiklah. Aku tiba-tiba membayangkan jika aku mati muda. Jangan risaukan.”

Malam bertambah malam. Suara kemeratak api memakan kayu sesekali terdengar. Aliya tidur di pahaku. Wajahnya damai. Sekonyong-konyong perasaanku jadi kosong. Semacam hampa yang merongga. Udara jadi dingin tapi diimbangi hangat api unggun.

Aku baru tersadar jika Aliya tak lagi bernafas saat aku ingin membangunkannya. Dari mulutnya keluar busa. Ah, ini racun! Sedikit panik aku raih gelas kopi Aliya, kuciumi bau cangkir. Oh, Aliya, kenapa kau memilih bunuh diri begini? Jadi, soal mati muda yang kau utarakan tadi bukan omong kosong. Air mataku deras namun tak terisak.

Kubawa raga tanpa nyawa ke rumah sakit. Polisi kuhubungi. Di tengah kekalutan aku menemukan secarik kertas kusam di bawah tumpukan baju tempat aku biasa menyimpan dompet. Di kertas yang terlipat rapi itu terbaca sebuah tulisan: Kopi Aliya. Wahai, inikah resep kopi Aliya. Aku berdebar hendak membukanya. Menganak sungai air mataku.

Sudah kubuka lipatan kertas itu. Hanya ada satu kata di sana. Tapi aku terpaku dan tak bisa berkata-kata.

Ciputat, Desember 2011 

Demonstran

Sajak Aku karya Chairil Anwar meluncur deras dari mulutnya. Melewati microphone, tersalur di kabel panjang dan menggelegar di kotak pengeras suara. Menjelma gelora di dada puluhan demonstran bermata kosong. Tersebab mereka datang ke depan gedung megah di tengah ibu kota ini dengan hati yang masih tertinggal di rumah masing-masing. Adalah sebungkus nasi padang dan rokok sepuluh batang penggerak kaki-kaki mereka siang ini. Juga selembar uang Rp 20.000 yang akan dibagikan setelah demonstrasi semu ini usai.

“Kawan-kawan, penindasan di Indonesia sampai hari ini belum juga selesai. Kemerdekaan yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 hanyalah simbolik belaka. Kenyataannya, kita belum merdeka 100 %! Kawan-kawan, perusahaan angkuh di hadapan kita ini sudah terang-terangan menyerobot tanah rakyat di Sawangan. Di tanah itu akan didirikan pabrik. Seribu dalih mereka gunakan untuk mengelak dari tuduhan penyerobotan. Mereka nyata-nyata telah melakukan penindasan terhadap rakyat. Betul tidak, kawan-kawan?!”

“Betuuuul!” suara demonstran bayaran itu seperti ingin meruntuhkan langit. Meski mereka tak tahu apa yang dibicarakan orator sekaligus korlap (koordinator lapangan) bernama Setyo itu. Yang penting mereka berteriak kencang. Karena memang itulah fungsi keberadaan mereka di sini.

“Baiklah kawan-kawan , mari kita berikan yel-yel kita untuk perusahaan Chevico yang tak punya malu ini!”
Secara serampak demonstran bayaran bernyanyi lantang, “dua lima jigo, dua lima jigo, jadi seratus, Chevico bego, Chevico bego, biarin mampus!” Yel-yel itu mereka ulang sampai tujuh kali. Berhenti ketika suara mereka mulai serak. Seakan mengerti kondisi demonstran, aqua gelas segera dibagikan. Dan langsung disambar dalam waktu singkat.

“Revolusi belum selesai, kawan-kawan! Apakah kalian siap untuk sebuah revolusi?”

“Siiiiiap!”

“Lempar tomat busuk! Hancurkan penindasan!”

Seketika tomat busuk yang sudah dipesan pada pedagang sayur di pasar sejak dua hari yang lalu itu berterbangan menyasar gedung. Suasana cepat berubah. Sedikit menghangat, cenderung panas. Pagar besi gedung Chevico diguncang-guncang demonstran. Polisi yang sedari tadi berjaga segera ambil tindakan. Menghalau para demonstran. Oleh karena memang mereka itu demonstran bayaran, maka didekati polisi mereka segera bubar. Setyo, korlap hari ini, berusaha memanasi lagi demonstran. Tapi sayang, usahanya tidak menemu hasil. Mungkin bayarannya kurang.  

Setelah empat orasi berikutnya dibawakan dengan tak kalah gegap gempita, demonstrasi diakhiri. Tak lupa mereka memberi sedikit ancaman bahwa minggu depan akan kembali lagi dengan massa yang lebih besar. Selanjutnya, empat mobil kopaja yang mengangkut demonstran, yang hanya terisi separuhnya, melaju meninggalkan gedung Chevico. Di dalam kopaja itulah lembar-lembar dua puluh ribuan diberikan pada pencari massa untuk kemudian dibagikan. Tentu saja pencari massa, tanpa sepengetahuan yang lain, dapat jatah lebih besar.

***

“Mas, bagaimana ini, acara kurang sehari tapi kita belum dapat tempat?” seorang kader muda bertanya pada Setyo sore itu. Setyo sejatinya adalah seorang ketua komisariat sebuah organisasi pergerakan mahasiswa yang juga menggeluti usaha percetakan. Akhir pekan ini organisasi tersebut akan mengadakan penerimaan anggota baru. Acara itu biasa diadakan di sebuah villa di Puncak.

“Coba, Mas, hubungi lagi rekanan Mas Setyo yang di partai, di DPR atau yang pengusaha itu,” desak si kader muda.

“Sudah. Aku sudah hubungi semua. Tapi coba aku cek sekali lagi. Mungkin ada yang terlewat.”

Sesaat hening. Lalu terdengar pekik.

“Aha! Aku melewatkan Bu Marsha. Coba aku telepon dia!”

Setyo berjalan menjauh, mencari tempat yang tenang untuk menelepon. Di kejauhan tampak wajah Setyo sumringah, namun sesaat berubah jadi keruh. Entah apa isi pembicaraan Setyo dan Bu Marsha.

“Bagaimana, Mas? Bisa kita pakai villa Bu Marsha?”

“Kau tahu apa yang barusan dikatakan Bu Marsha?”

“Apa, Mas?”

“Pakai saja villa saya, happy-happy lah di sana, tapi baru bisa dipakai Sabtu pagi. Hari Jumat villa masih dipakai orang Arab.”

“Terus?”

“Masalahnya, Bu Marsha menanyaiku dengan sebuah pertanyaan yang menohok. Katanya, Setyo, apa benar kau yang mendemo Chevico kemarin? Jangan begitulah, Setyo, saya itu notaris utama di Chevico. Kalau ada apa-apa selesaikan baik-baik lah. Nah, mendengar kata Bu Marsha itu aku seperti diskak. Aku tak pernah tahu kalau Bu Marsha, klienku yang loyal itu juga orang Chevico, notaris lagi!”

Kader muda itu cuma diam tapi tertawa dalam hati. Keduanya lantas berpisah.

Di kamar, Setyo duduk terkulai memandangi foto ukuran 10 R di hadapannya. Itu foto gedung DPR yang diduduki mahasiswa pada Mei 1998.  Kakak laki-lakinya adalah aktivis ‘98, yang diculik hingga sekarang tak ada kabar. Sedang Setyo? Ia malu sekali. Berkaca pada kenyataan hidupnya kini. Sebagai demonstran bayaran. Demonstran yang tiarap karena salah mendemo kolega sendiri.

Cirendeu, 11/10/2011