Senin, 02 Januari 2012

Malam Tahun Baru

Kota ini sudah ramai sejak tadi sore. Suara terompet sesekali terdengar. Makin bersahutan jelang tengah malam nanti. Penjaja aneka kembang api terlihat di mana-mana. Dagangan mereka laku keras. Kian malam kota kian semarak. Entah sejak kapan dan siapa yang merumuskan, jika malam tahun baru tiba musti dirayakan dengan berkumpul di pusat kota, meniup terompet dan menyalakan kembang api.
Seolah abai pada sekitar, seorang nenek renta dan rapuh tercenung sendirian. Hanya ada kesedihan dan kesunyian dalam hatinya. Ia bernama Mbah Asri. Nenek bertubuh ringkih yang mengundang empati siapa saja yang memandangnya.

Mbah Asri berjalan pelan menyusuri trotoar depan taman kota. Langkah gontainya terhenti tepat di depan gerbang taman. Ia pegang erat pagar besi taman. Seolah tak mau lepas. Nanar matanya menatap kolam ikan, jungkat-jungkit, ayunan, perosotan dan seluruh pepohonan rindang.  Hatinya berkecamuk. Ada pertempuran yang tak selesai di sana. Sesuatu yang tak diinginkannya datang tiba-tiba. Menyergap tentram jiwanya. Sesuatu yang mungkin akan ia namai luka. Tiap kali ia mengingat kejadian dua tahun silam.

**

“Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, terima kasih sudah berkumpul di sini. Pagi ini akan diadakan pindahan masal menuju rumah susun. Bapak-bapak dan ibu-ibu tidak akan tinggal di lingkungan kumuh ini lagi. Lingkungan baru yang akan bapak-bapak dan ibu-ibu tempati nanti tentu akan lebih sehat, lebih nyaman dan lebih bersih. Apabila pindahan masal ini berhasil berarti bapak-bapak dan ibu-ibu telah menyukseskan program Pemkot membangun taman kota di tempat ini. Pembangunan taman kota adalah upaya untuk mencegah global warming yang saat ini menjadi ancaman nyata bagi bumi,” jelas salah seorang yang berseragam safari.

“Saya tidak mau dipindah! Saya mau tetap di sini!”

Tiba-tiba seorang kakek memotong pidato orang itu. Wajahnya terbakar. Hidungya kembang kempis. Sontak orang yang berpidato kaget. Namun dengan tenang ia melempar senyum, menutupi kegugupan.

“Kek,” sapanya terdengar lembut, “saya yakin lingkungan baru pasti lebih baik. Lagi pula warga di sini tidak punya sertifikat tanah. Artinya, selama ini para warga menempati tanah ini secara ilegal!”

“Tapi saya lahir, besar, beranak-cucu di sini. Kakek dan bapak saya juga asli sini. Saya tidak mau pindah. Ini tanah saya!” Bersungut-sungut si kakek membela diri.

“Sudah, sudah. Kita bicarakan ini di luar forum saja. Yang sudah siap pindah langsung menuju mobil pick up. Kita berangkat bersama ke rumah susun.”

Dan segalanya berlangsung begitu cepat. Sebagaian besar warga ikut pindahan massal. Sementara kakek yang memberontak itu dihampiri beberapa orang petugas. Ia diajak menuju suatu tempat. Tengah malam, Mbah Joyo, kakek itu, pulang dalam keadaan babak belur, luka lebam di sekujur badan, nafasnya tersengal-sengal. Melihat itu, istrinya menangis hingga pagi.

**

Lamunan Mbah Asri dihentikan oleh suara kembang api yang meledak di udara. Kembang api warna merah. Serupa warna derita. Nenek itu lalu menyibak keramaian. Mencari bangku taman yang mungkin masih kosong. Tapi semua sudah penuh. Terutama oleh pasangan muda mudi yang memadu kasih. Orang-orang seperti tak acuh dengan kehadiran Mbah Asri. Mungkin mereka mengira pengemis yang mencari peruntungan di tengah keramaian tahun baru.

Mbah Asri menuju pojok gelap taman kota. Ada batu besar mengonggok di bawah pohon kecapi rindang. Di sana Mbah Asri duduk. Mendadak air matanya menganak sungai. Ia teringat bahwa di sinilah Mbah Joyo wafat, di tempat yang sekarang menjadi taman. Wafat dalam keadaan sebagai pesakitan. Sebagai orang yang tak berdaya apa-apa di hadapan orang-orang berseragam itu.

Suara terompet yang terlampau keras mengagetkan Mbah Asri. Ia menghela nafas panjang. Sementara itu, tak jauh dari tempat Mbah Asri duduk terpekur, orang-orang sedang bersiap menghitung mundur pergantian tahun. Mereka seolah bersiap menyambut harapan baru di tahun baru. Melupakan luka, kegagalan dan keterpurukan tahun lalu.

Akan tetapi Mbah Asri merasakan sesuatu yang beda. Ia justru merasakan sebentuk risau menindih perasaannya. Serupa perasaan tak berartinya hidup dan kesendirian yang asing.
Sepuluh, sembilan, delapan… Hitung mundur telah dimulai.

Diam-diam Mbah Asri mengambil sesuatu yang tersimpan di saku baju kumalnya.

Lima, empat, tiga, dua… Pukul dua belas malam tepat! Suara terompet dan letusan kembang api seperti beradu di udara. Semua bersorak dalam suasana gegap gempita. Tak ada yang tidak bersuka cita malam itu.

Kecuali Mbah Asri. Ia telah berhasil membuat sayatan di pergelangan tangannya dengan silet yang tadi dikeluarkannya diam-diam penuh perasaan. Tubuh ringkihnya roboh lalu menggelepar. Seorang tukang ojek yang hendak kencing di pojok gelap itu kontan berteriak mendapati jasad Mbah Asri tergolek menyedihkan.

Zaman mencatat: seorang nenek bunuh diri di taman ketika malam pergantian tahun lantaran tak kuat menanggung kenangan hitam dan kesunyian.

Sesaat gerimis turun. Berubah menjadi hujan yang rimbun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar