Senin, 02 Januari 2012

Musim Rambutan

Aku dan adikku memetik buah berwarna hijau kemerahan itu dengan riang. Tidak peduli sekujur badan kami jadi gatal karenanya. Di pohon yang cukup kokoh itu kami bergelantungan. Untungnya kami ini orang-orang kurus, jadi tak kerepotan memanjat pohon. Setelah terkumpul sekitar satu karung rambutan, barulah kami menghentikan pekerjaan. Dan satu hari ini kami pesta rambutan. Sorenya, kamar mandi jadi rebutan. Sakit perut karena kebanyakan rambutan jadi kebiasaan buruk kami.

Malam hari, mendadak aku teringat abah dan umi. Musim rambutan begini biasanya aku dan abah yang akan memanjat dan memetik rambutan. Lalu, adikku yang menyiapkan karung di bawah untuk menampung buah rambutan. Buah mungil berambut itu tidak hanya kami santap apa adanya begitu saja, umi yang piawai memasak membuat manisan rambutan. Aku paling suka manisan rambutan bikinan umi. Sayang abah dan umi sudah tiada. Semuanya jadi kenangan semata. Ada yang menetes perlahan, dan itu air mata.

Aku menengok kamar adikku. Ia sudah tidur. Segelas kopi akan jadi temanku melamun di teras rumah. Kulirik jam dinding. Pukul sebelas. Sudah cukup larut ternyata.

Di teras aku memandangi pohon rambutan yang tumbuh merimbun di halaman rumah. Di antara remang lampu, dapat kulihat bulatan-bulatan kecil warna hijau bakal buah rambutan. Beberapa minggu kemudian, bulatan kecil itu tentu akan menjadi buah yang siap dipetik. Kecuali ada angin atau kalong yang menjatuhkannya. Meski gagal menjadi buah rambutan yang utuh, bakal buah itu tak pernah membenci sesiapa yang menjatuhkannya. Sebab ia tahu akan berbaur dengan tanah dan menyuburkannya. 

Kenikmatan makan buah rambutan pada musim rambutan bukan jadi milik keluargaku semata. Orang-orang di Gang Jati, tempatku tinggal ini rata-rata memiliki pohon rambutan. Jadi, tiap datang musim rambutan tampak pemandangan menarik di Gang Jati: gerumbul merah buah rambutan menyembul di antara dominasi warna hijau tua daun rambutan.

Pernah di suatu subuh yang sepi, aku berjalan menyusuri Gang Jati. Kucium wangi pohon-pohon rambutan di awal datangnya musim rambutan. Wangi yang menguar dan memenuhi rongga hidungku itu sampai kini tak bisa kulupakan. Meski juga tak bisa kujabarkan dengan kata-kata seperti apa wangi itu.

**

Aku dibangunkan dari lamunan ketika kudengar suara lolongan anjing di kajauhan. Jam berdentang satu kali. Seorang tukang nasi goreng melintas depan rumah. Ternyata Mas Ratno, tukang nasi goreng langganan abah. Gerobaknya kosong. Jualannya ludes malam ini.

“Mas, tunggu sebentar,” kataku. Ia yang cukup mengenalku tersenyum dan menyahut.

“Sudah habis, Bang.”

“Saya tidak mau beli nasi goreng, tapi mau kasih rambutan. Tadi panen.”

“Waduh, terima kasih sekali, Bang.”

Sekantung rambutan dariku disambut dengan senyum lebar Mas Ratno. Ia menjabat tangaku erat. Wajah polosnya menyiratkan ucapan terima kasih yang tulus. Selalu ada kebahagiaan saat berbagi. Dan yang paling mungkin kubagi adalah rambutan, di musim rambutan. Abah selalu mengajari anak-anaknya untuk gemar berbagi. Jika datang musim rambutan, saudara di Bekasi dan Tangerang pasti dapat jatah sekantung besar rambutan.

Saat aku berjalan pelan hendak kembali masuk rumah, kulihat sesuatu yang mengusik penglihatanku. Sebuah tulisan. Ya, tulisan di batang pohon rambutan. Sebenarnya tulisan itu sudah agak samar, tapi aku masih mampu membacanya. Setidaknya mengenangnya. Karena memang aku yang menuliskannya. Kuraba tulisan itu, mengusapnya perlahan. Ah, masa kecil yang usang.

Aku mengingat semuanya. Pertemuan di musim rambutan yang riuh itu, jabat tangan malu-malu itu, juga pertemanan yang singkat itu. Juga kuingat ia yang jatuh dari pohon rambutan setelah memaksa ingin ikut memanjat dan memetik rambutan. Dan aku selalu tak tega melihat bekas luka di pelipisnya.

Tiba-tiba aku disentak oleh sebuah ingatan yang mendadak terkuak. Dulu aku dan dia pernah menanam sesuatu di bawah pojon rambutan ini! Buru-buru aku masuk rumah dan mengambil cangkul. Dengan semangat yang memenuhi dada aku menggali dan terus menggali. Dapat! Mataku berbinar-binar menatap kaleng biskuit bekas yang kini berkarat. Saat kubuka kaleng biskuit itu seketika tanganku gemetar lalu luruh air mata. Mainan robot Ultraman dan boneka kecil itu terlihat kusam. Kubaca tulisan dibalik tutup kaleng yang mulai pudar: tak boleh saling melupakan. Masih kuingat, tulisan itu kutulis dengan cat hitam milik abah. Ada juga namaku dan namanya di tutup kaleng bekas itu.

Karena angin malam bertambah dingin aku lekas masuk kamar. Kuletakkan mainan robot Ultraman dan boneka kecil itu di meja kamar. Aku terlelap bersama kenangan dan rindu.

**

Pagi-pagi kudengar suara berisik di ruang tamu. Oh, sudah pukul sembilan rupanya. Aku bangun kesiangan. Ternyata pamanku datang dari Bekasi. Ia tiba-tiba nyelonong masuk kamarku tanpa salam.

“Wah, ini anak muda bangunnya siang baget! Rezeki lu dipatok ayam tahu rasa! Ada yang mau ketemu lu noh. Staf gue di kantor, katanya sih kenal ama lu. Buruan gih samperin!”

Dalam keadaan masih mengantuk aku turun dari ranjang, “siapa?”

“Udah sono temuin dulu.”

Aku menuju ruang tamu. Kulihat gadis berambut panjang dikuncir ekor kuda. Dahiku mengernyit, mata kukucek berkali-kali.”

“Sari?!”

Ia tersenyum tenang dan kemudian berujar.

“Selamat pagi, Bimo. Masih suka bangun kesiangan seperti dulu?”

Astaga! Betapa aku gagap membaca tanda-tanda yang ditunjukkan Tuhan. Tulisan di pohon rambutan yang mendadak kuingat kembali, juga ‘harta karun’ di bawah pohon rambutan yang semalam kugali ternyata menuntukku pada pertemuan ini.

Ya, gadis kecil itu telah berubah jadi sesosok perempuan manis di hadapanku. Namanya Sari, teman masa kecilku. Dia hanya sebulan tinggal di Gang Jati. Tapi kami akrab sekali. Jauh lebih akrab ketimbang dengan teman lamaku. Sehari sebelum ia berangkat ke Palembang bersama keluarganya untuk pindah ke sana, aku dan Sari menulis nama kami di pohon rambutan serta menanam mainan kesayangan kami di bawah pohon rambutan.

Aku tahu suatu saat ia pasti akan kembali. Benar saja, kini ia telah kembali, di musim rambutan tahun ini. 

Gang Jati, Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar