Senin, 02 Januari 2012

Demonstran

Sajak Aku karya Chairil Anwar meluncur deras dari mulutnya. Melewati microphone, tersalur di kabel panjang dan menggelegar di kotak pengeras suara. Menjelma gelora di dada puluhan demonstran bermata kosong. Tersebab mereka datang ke depan gedung megah di tengah ibu kota ini dengan hati yang masih tertinggal di rumah masing-masing. Adalah sebungkus nasi padang dan rokok sepuluh batang penggerak kaki-kaki mereka siang ini. Juga selembar uang Rp 20.000 yang akan dibagikan setelah demonstrasi semu ini usai.

“Kawan-kawan, penindasan di Indonesia sampai hari ini belum juga selesai. Kemerdekaan yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 hanyalah simbolik belaka. Kenyataannya, kita belum merdeka 100 %! Kawan-kawan, perusahaan angkuh di hadapan kita ini sudah terang-terangan menyerobot tanah rakyat di Sawangan. Di tanah itu akan didirikan pabrik. Seribu dalih mereka gunakan untuk mengelak dari tuduhan penyerobotan. Mereka nyata-nyata telah melakukan penindasan terhadap rakyat. Betul tidak, kawan-kawan?!”

“Betuuuul!” suara demonstran bayaran itu seperti ingin meruntuhkan langit. Meski mereka tak tahu apa yang dibicarakan orator sekaligus korlap (koordinator lapangan) bernama Setyo itu. Yang penting mereka berteriak kencang. Karena memang itulah fungsi keberadaan mereka di sini.

“Baiklah kawan-kawan , mari kita berikan yel-yel kita untuk perusahaan Chevico yang tak punya malu ini!”
Secara serampak demonstran bayaran bernyanyi lantang, “dua lima jigo, dua lima jigo, jadi seratus, Chevico bego, Chevico bego, biarin mampus!” Yel-yel itu mereka ulang sampai tujuh kali. Berhenti ketika suara mereka mulai serak. Seakan mengerti kondisi demonstran, aqua gelas segera dibagikan. Dan langsung disambar dalam waktu singkat.

“Revolusi belum selesai, kawan-kawan! Apakah kalian siap untuk sebuah revolusi?”

“Siiiiiap!”

“Lempar tomat busuk! Hancurkan penindasan!”

Seketika tomat busuk yang sudah dipesan pada pedagang sayur di pasar sejak dua hari yang lalu itu berterbangan menyasar gedung. Suasana cepat berubah. Sedikit menghangat, cenderung panas. Pagar besi gedung Chevico diguncang-guncang demonstran. Polisi yang sedari tadi berjaga segera ambil tindakan. Menghalau para demonstran. Oleh karena memang mereka itu demonstran bayaran, maka didekati polisi mereka segera bubar. Setyo, korlap hari ini, berusaha memanasi lagi demonstran. Tapi sayang, usahanya tidak menemu hasil. Mungkin bayarannya kurang.  

Setelah empat orasi berikutnya dibawakan dengan tak kalah gegap gempita, demonstrasi diakhiri. Tak lupa mereka memberi sedikit ancaman bahwa minggu depan akan kembali lagi dengan massa yang lebih besar. Selanjutnya, empat mobil kopaja yang mengangkut demonstran, yang hanya terisi separuhnya, melaju meninggalkan gedung Chevico. Di dalam kopaja itulah lembar-lembar dua puluh ribuan diberikan pada pencari massa untuk kemudian dibagikan. Tentu saja pencari massa, tanpa sepengetahuan yang lain, dapat jatah lebih besar.

***

“Mas, bagaimana ini, acara kurang sehari tapi kita belum dapat tempat?” seorang kader muda bertanya pada Setyo sore itu. Setyo sejatinya adalah seorang ketua komisariat sebuah organisasi pergerakan mahasiswa yang juga menggeluti usaha percetakan. Akhir pekan ini organisasi tersebut akan mengadakan penerimaan anggota baru. Acara itu biasa diadakan di sebuah villa di Puncak.

“Coba, Mas, hubungi lagi rekanan Mas Setyo yang di partai, di DPR atau yang pengusaha itu,” desak si kader muda.

“Sudah. Aku sudah hubungi semua. Tapi coba aku cek sekali lagi. Mungkin ada yang terlewat.”

Sesaat hening. Lalu terdengar pekik.

“Aha! Aku melewatkan Bu Marsha. Coba aku telepon dia!”

Setyo berjalan menjauh, mencari tempat yang tenang untuk menelepon. Di kejauhan tampak wajah Setyo sumringah, namun sesaat berubah jadi keruh. Entah apa isi pembicaraan Setyo dan Bu Marsha.

“Bagaimana, Mas? Bisa kita pakai villa Bu Marsha?”

“Kau tahu apa yang barusan dikatakan Bu Marsha?”

“Apa, Mas?”

“Pakai saja villa saya, happy-happy lah di sana, tapi baru bisa dipakai Sabtu pagi. Hari Jumat villa masih dipakai orang Arab.”

“Terus?”

“Masalahnya, Bu Marsha menanyaiku dengan sebuah pertanyaan yang menohok. Katanya, Setyo, apa benar kau yang mendemo Chevico kemarin? Jangan begitulah, Setyo, saya itu notaris utama di Chevico. Kalau ada apa-apa selesaikan baik-baik lah. Nah, mendengar kata Bu Marsha itu aku seperti diskak. Aku tak pernah tahu kalau Bu Marsha, klienku yang loyal itu juga orang Chevico, notaris lagi!”

Kader muda itu cuma diam tapi tertawa dalam hati. Keduanya lantas berpisah.

Di kamar, Setyo duduk terkulai memandangi foto ukuran 10 R di hadapannya. Itu foto gedung DPR yang diduduki mahasiswa pada Mei 1998.  Kakak laki-lakinya adalah aktivis ‘98, yang diculik hingga sekarang tak ada kabar. Sedang Setyo? Ia malu sekali. Berkaca pada kenyataan hidupnya kini. Sebagai demonstran bayaran. Demonstran yang tiarap karena salah mendemo kolega sendiri.

Cirendeu, 11/10/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar