Selasa, 07 Februari 2012

Jogja Jakarta

Di stasiun, di mana kereta datang dan pergi. Aku berusaha menyibak apa yang disembunyikan di balik sayu matanya. Ya, sebentuk rasa takut kehilangan dan enggan berpisah terbaca jelas di pelupuk mata yang mulai berkaca-kaca itu. Sedari tadi duduknya juga tak tenang. Berkali-kali dia menengok ke kiri dan ke kanan, entah apa yang dicarinya. Dan kereta dari barat pun merapat, para penumpang berhamburan. Kucoba memecah diam.

" Kau sudah mantap pergi ke Jogja kan, Dik?" tanyaku.

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Mas, sudah yakin mau ke Jakarta? Mas, benar-benar tidak ingin memenuhi wasiat bapak ibu kita?" dia justru balik
bertanya.

"Dik...bukannya begitu, tapi aku tahu jalan mana yang harus kutempuh. Jalan terbaik untukku, untuk kita. Biarkan aku menyusuri lorong-lorong Jakarta dan aku akan merelekanmu meninggalkan kota ini, menuju Jogja."

Senyap. Detik-detik merayap. Sunyi. Diam menyelinap lagi-lagi.

"Tapi kulihat kau masih risau tampaknya. Kau ragu?" keningku berkerut, pertanyaanku dijawabnya dengan gelengan kepala.

"Aku takut, Mas," suaranya parau, tatap matanya kosong.

"Kamu takut Jogja?"

"Bukan, aku takut tak bisa bertemu lagi dengan Mas. Setelah wafatnya bapak dan ibu, siapa lagi yang kupunya di dunia ini selain Mas. Aku juga takut, jika-jika Mas tak lagi bisa melihat purnama. Bukankah Fitha teman Mas yang di Jakarta itu pernah bercerita demikian? Gedung-gedung telah menutup langit, katanya. Jika tidak bisa melihat purnama lagi, Mas pasti akan melupakanku. Aku masih ingat, setiap malam bulan purnama kita sering duduk di atas batu besar tepi sungai sambil menatap bulan. Mas, selalu bilang bahwa aku adalah purnama itu. Yang hanya akan hilang jika pagi menjelang," ujarnya seraya terisak.

Kuseka air matanya yang merintik bagai gerimis sore hari. Disandarkannya kepalanya di bahuku. Kami larut dalam maha duka yang belum pernah kami alami sebelumnya.

"Sudahlah Dik, tak ada yang perlu kau risaukan. Aku janji, namamu tak akan pernah lekang dari setiap doa yang kurentang. Toh lebaran tahun depan, kita masih bisa pulang ke desa. Menjenguk tempat dimana angin dan embun senantiasa menjaga hari-hari kita. Nanti kita memetik mawar lagi di hutan belakang rumah seperti hari kemarin. Atau mungkin kau ingin mencari ikan sepat kesukaanmu di sungai ujung desa seperti waktu
kita kecil dulu? Tapi pastinya, kita akan pergi ke kaki bukit tempat kita biasa menangkap capung untuk nyekar di makam Bapak dan Ibu kita. Aku akan menyimpan semua kenangan, Dik," sungguh-sungguh aku berujar.

Tangisnya semakin sesenggukan. Pelukannya semakin dirapatkan. Aku membelai rambutnya seolah menyalurkan kekuatan. Kita memang sering tak berdaya ketika harus bertemu dengan perpisahan!

"Mas, mengapa kau tak ikut aku saja ke Jogja? Kau tega membiarkanku berkawan sunyi?"

"Dik, kau sendiri tahu, Lik Satrio selamanya tak akan pernah menerimaku. Terlebih setelah kejadian yang menimpa Marino anak sulungnya itu. Dia selalu menuduh akulah penyebab segalanya. Tinggallah barang beberapa tahun dengan keluarga Lik Satrio. Mereka masih mau menerimamu dan kau harus terus melanjutkan sekolah. Kelak jika aku sudah jadi orang aku akan membawamu kembali ke desa. Kita akan memulai segalanya dari awal lagi. Saat ini kita tak ubahnya sedang mengumpulkan melati-melati kecil yang akan kita rangkai dan kita kalungkan di leher kita esok hari.
Percayalah!"

Lantas kami tenggelam dalam diam. Tapi tangisnya belum sepenuhnya diam. Peluit kereta yang baru saja datang menjerit-jerit. Hatinya tak kalah menjerit.

"Itu keretamu datang, naiklah. Sebentar lagi keretaku juga akan segera datang. Hapus dulu air matamu."

"Mas...kita akan pergi...kita akan berpisah..." ia seolah tak percaya.

"Iya, dan kita akan kembali, kita akan bersama-sama lagi," tukasku mantap.

Kereta bertolak sudah. Langit tiba-tiba hilang cerah. Seorang pengamen datang menghampiriku. Petikan gitarnya mengiringi lagu Permintaan Hati milik Letto yang dinyanyikannya dengan segenap perasaan. Aku turut menggumamkan lagu ini bersamanya, lagu yang mungkin juga sedang disenandungkan Dik Ning dalam kereta.

Solo, 31 Januari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar