Selasa, 07 Februari 2012

Kereta Penghujung Juni

Apa yang dapat diharap dari keterlambatan?

Dalam derap yang batuk-batuk, bus tua ini mengakrabi rambat detik-detik, jalanan sekarat dan debu racun warna sunyi. Di dalamnya sepasang kekasih. Ya, sepasang kekasih yang meremas tiket kereta dan merapal pinta. Semoga Tuhan sedang ingin bercanda siang itu. Memainkan jarum jam untuk mengorek-orek telinga. Beku waktu! Atau mungkin untuk menggelitik lubang hidung hingga bersinnya mampu menyibak karnaval mobil, bajaj, motor, gerobak, serta macam aral. Laju kencang seorang. Sayang, Tuhan sedang asyik main catur! Hmmmf! Sepasang kekasih masih merapal pinta, meremas tiket kereta.

Tersadar mereka bahwa waktu enggan diskusi. Malas melambat. Alroji berwarta tentang hitungan-hitungan yang putar angka. Roda-roda hilang ruang nafas. Tubercholosis abadi. Sepasang kekasih didekap serengkuh sedih. Rintih tersekat di pelupuk lelah. Sudahlah! Atas alasan apa sesal dibenam dalam? Pegang ini tangan dan ranumkan senyum. Biar aku memberimu tebakan. Meski kedengaran kekanakan, kuyakin kau terkecoh. Tanyaku: satu kali satu. Jawabmu: satu. Tanyaku: ini namanya? (menunjuk kuku). Jawabmu: kuku. Tanyaku: sapi minum? Jawabmu: susu. Ha-ha-ha. Derai tawaku menyelinap di lengking klakson. Tampangmu lucu, bertanya-tanya, apa yang salah? Mas, sapi ya minum air, masak minum susu? Memerah.

Ini kali drama dikawal peluh. Di Senen, segala-segala acuh. Sepasang kekasih. Jinjing tas besar, koper besar, hati belum besar. Lalu sangsi, inikah Jakarta? Peluit ditiup-tiup Tuhan, mengawasi lari sprint sepasang kekasih menyebrang ke stasiun. Simpul, inilah mula, lusa-lusa ada lebih maha. Bentur nestapa. Debur lara. Ala Jakarta. Purna. Awan di timur melukis mendung bentuk kereta beru berangkat dengan dua bangku kosong tersisa. Bangku milik sepasang kekasih. Lelah meremas tiket kereta, lupa lirik rapal pinta. Adakah yang akan membawa pulang rindu ini, sementara sore dan saku telah segersang ini?

Sepasang kekasih musti pulang. Handai tolan dikampung menanti busung serta tepuk dada mereka. Para penjinak Ibu Kota. Menggarami harap bermusim-musim. Namun menyerah pada buru nafas. Hitam tidak. Putih bukan. Apapun, sepasang kekasih telah ditunggu. Calo-calo telah dengan sengaja pula dibariskan depan loket, jelang bertolak kereta. Guru matematika mereka seolah hanya mengajarkan perkalian. Bolos pelajaran PMP. Sepasang kekasih terpelajar adanya. Dari TK hingga SMA belajar giat taat ibu bapak. Dihafalkan nomor kursi di tiket calo. Lima menit lagi roda kereta beradu rel tak berujung. Sepasang kekasih beli tiket berdiri.

Oh, mataku mulai tak kuasa didesak bau pengap kereta, keluh orang-orang tua, tangis bayi, teriak parau para asongan. Berkaca-kaca. Gemuruh. Kecamuk. Tanganmu mengusap kepalaku. Padahal kau sendiri tahu, air mataku hanya mampu dicegah dengan pelukmu. Kasihan aku melihat kucur peluhmu yang lupa belum kau usap. Masai rambut gondrong itu –berapa kali aku memintamu potong rambut?- ingin sekali kusisir dengan jemariku. Wahai! Kami anak rantau belum mengenal nikmat leseh di lantai kereta. Menggelar koran bekas serupa gelandangan. Sebentuk belantara yang tak tercantum di peta! Dan tak kan pernah tercantum.


Jika ada yang tersisa di hati sepasang kekasih adalah perih menyelimut sekujur. Kamu merasa begitu berdosa. Aku tahu itu. Tak bisa menjagaku di kota ini dengan sebaik penjagaan. Mengatur perpulangan tak becus. Manajemen waktu buruk. Tak henti, hatimu mengutuki dirimu sendiri. Kau garuk kepala. Entah gatal entah tidak. Kertas buram yang diremas dengan dua tangan. Kurang lebih begitu wajah yang kau sodorkan depanku. Jangan paksa aku menangis disini. Kau berdiri dan aku duduki kursi orang. Pemilik kursi datang diusir lah aku. Sama berdiri kita sekarang. Berdiri bersama nanar mata menatap, sepasang kekasih mengehela nafas dalam. Dalam sekali. Sakit sekali.

Merangsek ke depan. Siapa tahu nomor kursi di tiket calo ada di depan. Seorang ibu paruh baya. Seorang bapak dengan anaknya. Di depannya tiga kursi baru terisi satu. Seorang ibu paruh baya pula. Ragu, sepasang kekasih menduduki kursi kosong. Hendak sampai stasiun kedua was-was menyergap. Boleh jadi ini kursi jatah penumpang dari stasiun berikut. Lalu lalang orang. Makin sesak. Habis ruang. Akan tetapi, menyembul percik terang dari gelap jendela. Tak bakal digeser sepasang kekasih dari kursi tempat mereka duduk. Terima kasih calo yang gemar perkalian! Terima kasih obrolan dua bapak di kursi seberang yang beri kepastian.

Tiba-tiba tangisku pecah di pundakmu. Setelah sekian menit coba kutahan lajunya. Menyerah, pipiku dibasuh kesedihan. Beberapa kali kuseka air mata.. Aku tahu kamu bingung. Kikuk hendak memelukku. Karena sedari tadi ibu separuh baya dan bapak-anak kerap memperhatikan kita. Ingin kuhibur dan tenangkanmu. Seperti bertanya, apa yang terjadi dengan sepasang kekasih ini. Aku dengar`kamu menceritakan kisah lucu, tak berhasil menghiburku. Menanyakan keluarga dan orang rumah belum dapat mengalihkan perhatianku dari kepedihan ini.

Dan kau pun terdiam. Tampak merenungi dosa. Aku menebak pikiranmu ngembara. Lantaran manakala aku sudah tenang dari tangis dan mau kau ajak bicara, kau menatap sawah-sawah yang menyembunyikan senja. Mencari biru langit menyibak kapas awan putih. Leleh perlahan air matamu. Apa yang membuatmu sebegitu melankolis di kereta sesak penghujung juni ini aku tak paham. Terkaanku segala muara padaku, tanggung jawabmu, juga cabang bersulur dipikiran. Aku menghargai itu, kekasihku. Sini, kuseka air matamu dengan tisu alfatihah ku. Jangan lepas tanganku sampai kita tiba di stasiun terakhir.

Sepasang kekasih tak pernah tahu jika angin malam yang masuk dari jendela, membawa serbuk jahat yang kan membuat mereka demam berhari-hari. Menyantap bekal yang ku siapkan, sedikit mengusir perih perpulangan. Nasi dingin dan daging tongkol pedas obat mujarab sakit kita. Setelahnya, kau sibuk mebujukku untuk turun di Stasiun Madiun, bukan Jebres, lantas sedari subuh hingga matahari sepenggalah kusinggah rumahmu. Aku berusaha menolak, kupastikan ayah menjemputku di Jebres. Kau bimbang juga. Takut aku tak dijemput tepat waktu. Stasiun Jebres lebih dulu disapa daripada Madiun. Mana tega aku tak menungguimu sampai ayahmu menjemput? katamu. Tapi apa kemudian kereta akan meninggalkanku di Jebres. Ah, aku percaya pada angin subuh yang tak pernah ingkar janji, yakinmu.

Runyam. Hapemu sakaratul maut. Aku justru sekarang yang kebingungan, bagaimana bisa berkomunikasi dengan ayahmu yang kan jemput kau di Madiun, jika sampai Jebres kita berpisah. Benar. Pada seorang pemuda tak dikenal kau yakin menitipkanku padanya. Menunggui ayahku. Kau tampak berat melambaikan tangan. Bibirku dingin kala mengecup punggung tanganmu. Dari celah jendela masih sempat kulihat kau yang sepanjang perjalanan menghadirkan hangat melambai pelan padaku. Kemudian, rembang petang menghirupmu. Lenyap di kejauhan.

Sepasang kekasih pulang dengan kereta, meremas duka, merapal nestapa
.
Ciputat, 20 Agustus 2009, 02:52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar