Selasa, 07 Februari 2012

Hitam Serupa Dendam

Juki mengacungkan golok. Berjalan tergesa menuju rumah Otong. Matanya merah. Nafasnya memburu. Di langit matahari bersinar di bukan main. Panas luar biasa. Keringat mengalir perlahan dari pelipis Juki. Ia semakin terpacu. Bau busuk selokan yang ia lewati bagai angin lalu belaka. Bising suara pabrik juga serupa desis ular saja di telinga Juki.

Di kepalanya cuma terbayang leher Otong. Tak ada yang lain.

Tadi pagi istri Juki, Romlah namanya, blak-blakan mengaku telah berselingkuh dengan Otong.

”Aku membalas perselingkuhanmu dengan Hindun, sekretarismu itu!” Nada bicara Romlah meninggi.

”Perselingkuhan macam apa yang aku lakukan dengan Hindun? Tak pernah ada bukti kau tunjukkan. Kau itu terlalu berprasangka Romlah! Cemburu buta!” Juki tak mau kalah tinggi nada suaranya.

Beberapa tetangga mengintip dari balik jendela. Di antara mereka geleng-geleng kepala. Namun ada juga yang tersenyum kecut. Hampir seperti mencibir.

”Masih mau mengelak? Ha?! Perlu aku carikan saksi buat membongkar kebusukanmu? Yang paling terakhir, kamu memberi Hindun kado di hari ulang tahunnya!” Romlah menuding-nuding ke arah Juki. Daster butut yang dikenakannya mulai basah oleh keringat.

”Aku memberi kado ulang tahun ke semua temanku. Mau laki-laki atau perempuan sama saja. Itu wajar dilakukan kepala divisi untuk membangun hubungan baik dengan semua anak buahnya. Apa yang salah?”
Romlah manggut-manggut. Senyumnya getir. Ia seperti telah bersiap memuntahkan lahar panas.

”Ow...begitu. Tapi kadomu untuk Hindun itu berupa puisi! Bah! Pasti kamu beri bumbu-bumbu gombal penuh rayuan. Macam anak SMA lagi kasmaran saja kamu ini. Untuk Hindun kamu tulis puisi, sedang sebaris kalimat pun belum kamu tulis untukku!”

Juki untuk sementara waktu terdiam. Tersudut. Dahinya mengernyit. Berpikir.

Juki memang penulis. Kerap cerpen dan puisinya dimuat di koran. Honor dari tulisannya lumayan untuk tambahan beli beli sembako.

”Lalu kau jadikan itu alasan untuk bisa jalan-jalan ke Bogor sama Otong, begitu? Naik motor barunya itu, iya?”

”Bagus banget ya, aku capek lembur di kantor, kau malah jalan-jalan ke Bogor dari pagi sampai sore. Untumg Mpok Uci kasih tahu. Kalau nggak pasti bakal keterusan!” Juki melancarkan serangan balasan.

”Cuma boncengan kan nggak masalah. Dari pada kamu sama Hindun, huh, pasti sudah main gila!”

”Hei, kalau ngomong diayak dulu ya! Gak ada bukti jangan asal tuduh aja!”

”Ah...capek aku! Kamu memang pandai berkelit, jago akting!” Romlah mengambil langkah cepat menuju kamar. Pintu dibanting. Dikunci dari dalam.

**

Kini Juki berdiri di teras rumah Otong. Digedornya pintu rumah kontrakan satpam bank swasta itu.

”Otong! Keluar kau!” Juki berkacak pinggang dengan golok di tangan.

”Orangnya lagi nggak di rumah, Bang!” sahut tetangga Otong.

”Kemana?”

”Kurang tahu, Bang. Ngomong-ngomong itu golok buat apa?”

”Buat gorok leher Otong!” kata Juki sembari berlalu meninggalkan rumah kontrakan Otong. Tetangga Otong tadi cuma terbengong-bengong sambil bergidik.

Berjalan pelan Juki menuju tanah lapang. Ia duduk di bawah pohon rambutan yang teduh. Pikiranya mengembara kemana-mana. Sedang angin sepoi yang nakal memainkan rambut belah tengahnya. Wangi rumput menggelitik hitung.

Juki teringat Romlah, istri yang sejujurnya amat ia sayangi dan banggakan. Juki mengenal Romlah ketika sama-sama bekerja di pabrik tekstil. Romlah adalah primadona. Tidak cantik sesungguhnya. Namun jika dipandangi berlama-lama tak kan ada bosannya.

Juki lah yang memenangkan hati Romlah. Ternyata Romlah tidak tahan dengan kata-kata manis. Juki yang berbakat menulis itu gencar menyerangnya dengan kata-kata indah. Puncaknya, Juki berkata cinta di istirahat makan siang. Suara riuh rendah membuat muka Romlah memerah. Sambil malu-malu kucing, Romlah menyatakan penerimaannya. Tiga bulan kemudian mereka menikah.

Nasib Juki membaik setelah menikah. Ia diangkat sebagai kepala divisi pengepakan di pabrik tekstil tempatnya bekerja. Sedang Romlah tetap di posisi semula.

Di tengah galau hatinya Juki tersenyum. Ia bisa memaafkan Romlah kali ini. Dihapus sudah ingatan tentang Otong yang mengajak romlah jalan-jalan ke Bogor. Juki berpikir, aku harus adil. Bukankah aku juga telah berselingkuh dengan Hindun? Tiap usai jam kantor, kerap Juki berbohong kepada Romlah bahwa dia akan lembur. Jika ada lembur mereka tidak pulang bersama seperti biasa. Adapun yang dimaksud lembur oleh Juki adalah bersyik masyuk dengan Hindun di sudut gudang yang sepi. Rasanya impas jika istriku membalas perselingkuhanku, sebaiknya aku berbaikan saja, bisiknya.

**

Sepulang kerja Juki ingin membelikan makanan kegemaran Romlah. Tadi Romlah pulang lebih dulu, sedang Juki masih punya banyak tanggungan pekerjaan sehingga pulang telat. Di ujung gang sebelum tikungan ke rumahnya, Juki membeli bakso urat kesukaan Romlah. Mudah-mudahan bakso ini bisa mencairkan ketegangan dengan istriku, kata hati Juki.

Langkah ringan Juki mengantarnya sampai depan rumah. Belum sampai Juki masuk rumah ia melihat sepeda motor yang tak asing. Sial, itu motor Otong! Berani betul dia, pekik Juki lirih.

Juki tidak mau gegabah. Mengendap-endap ia mengintip dari jendela. Tampak di mata Juki, Romlah keluar dari kamar. Ia mengenakan kaos dan calana pendek. Otong dan Romlah lantas bercakap-cakap. Hangat. Tiba-tiba tangan Otong menjawil dagu Romlah. Dengan tersipu Romlah menghalau tangan Otong. Juki berkobar. Ia masuk, tak sabar.

”Assalamu’alaikum,” sapa Juki. Ia bermuka tegang tapi berusaha tenang.

”Wa...wa...Wa’alaikumsalam,” Otong dan Romlah menjawab hampir bersamaan. Gugup keduanya melihat siapa yang datang.

”Romlah, kamu ternyata benar-benar tak menghormati aku.” Dengan paras yang tenang Juki berujar. Di sudut hatinya ada gelombang yang menggulung-gulung.

Romlah diam seribu bahasa. Otong ketakutan tapi coba angkat bicara.

”E...Bang Juki jangan salah paham, kedatangan saya...”

”Sudahlah. Aku mengamati kalian sedari tadi, dari balik jendela,” potong Juki cepat. Kini Romlah dan Otong mengunci mulut. Tertangkap basah sudah.

”Romlah, aku baru saja hendak berbaikan denganmu. Bakso urat ini tadinya akan kuberikan untukmu. Tapi sekarang aku malah ingin melempar bakso ini ke mukamu!”

”Maafkan Romlah, Bang.”

Juki dengan langkah tegap berjalan ke pintu depan, menguncinya. Sementara Romlah dan Otong terpaku di kursi tamu. Juki menuju dapur.

Sampai di ruang tamu, dari arah belakang sekonyong-konyong Juki mengguyurkan cairan berbau menyengat ke arah Otong dan Romlah.

”Apa-apaan ini, Bang?” Romlah terkejut, lalu bangkit menatap Juki.

Menyadari bau minyak tanah, Otong berlari ke arah pintu, ingin kabur. Cepat-cepat Juki menyabetkan goloknya. Kalap. Matanya merah api.

Otong mengerang. Juki menyalakan korek. Romlah berteriak. Juki mengikat  erat tangan keduanya dengan tambang. Dan api mulai meliuk-liuk. Membakar Romlah dan Otong yang terus berteriak.

Tak lama tetangga berdatangan. Asap membumbung dari arah rumah Juki menimbulkan kecurigaan. Pintu yang terkunci didobrak beramai-ramai. Warga mendapati Juki menangis tersengal-sengal. Seperti setengah gila.

Air berember-ember segera disiram ke arah Romlah dan Otong. Kain basah juga coba diselimutkan ke tubuh keduanya. Sejumlah pemuda dan bapak-bapak memaki Juki. Manakala situasi sedikit mereda, warga menggelandang Juki ke kantor polisi dan mengantar Otong dan Romlah ke rumah sakit.

**   

Orang kecil seperti Juki mudah saja untuk dijerat hukum dan dipenjarakan. Pasal mengenai usaha penghilangan nyawa berhasil mengirimnya ke prodeo.

Di hari pertamanya di penjara Juki mengalami kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya. Ketika itu suasana penjara begitu sunyi. Hari hampir pagi.  Sipir-sipir penjara terkantuk-kantuk di ujung lorong. Sesosok nenek berjubah merah dan berambut putih panjang terurai tiba-tiba saja berdiri tepat di hadapan Juki. Kontan Juki terjaga dan langsung terbelalak. Ia terduduk sekita. Namun ia tak mampu berteriak. Sesuatu yang tak ia mengerti menyekat tenggorokonnya.

”Tenanglah anak muda, aku bukan setan atau hantu yang akan menakutimu. Aku cuma ingin menunjukkan sesuatu padamu.”

Dengan ketenangan terukur nenek misterius itu merogoh dada Juki, mengambil hatinya! Juki bergidik ketakutan. Aneh ia tidak merasakan apa pun. Tidak nyeri tidak pula perih.

Nenek misterius menggenggam hati Juki dan menunjukkannya tepat di depan mata Juki.

”Inilah hatimu anak muda. Warnanya hitam. Pekat. Ini warna hitam yang serupa dendam. Dendam yang masih bercokol di hatimu, yang senantiasa kau rawat.”

Juki merasa mulutnya dibekap. Tak satu katapun bisa keluar. Ia pasrah sepenuhnya. Nenek misterius memasukkan kembali hati Juki ke tempatnya. Setelah tugasnya selesai nenek misterius menghilang secepat kedipan mata.

Keesokan paginya penjara digegerkan dengan raungan Juki yang seperti tak mau berhenti. Lelaki malang itu telah menjadi gila. Ia mendadak phobia dengan warna hitam. Tiap kali melihat sesuatu yang hitam warnanya Juki akan berteriak tidak keruan. Ya, warna hitam yang serupa dendam. 

Ciputat, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar